Sabtu, 30 Oktober 2010

ILMU HADITS DAN RUANG LINGKUPNYA[1] Oleh: Hafidhuddin Z. Abto


A.      Terminologi Ilmu Hadits
Tertulis dalam al-Mu’jam al-Wasith,[2] ilmu hadits adalah ilmu untuk mengetahui segala perkataan Nabi s.a.w., dan segala perbuatan dan keadaan. Sedang dalam definisi yang lain, Jalaluddin as-Suyuthiy (849 H.-911 H.) dalam Tadrib ar-Rawiy, mem-beri definisi sebagai,[3]

ﻋﻟﻡ ﻴﺑﺤﺚ ﻔﻴﻪ ﻋﻦ ﻛﻴﻔﻴﺔ ﺍﺗﺼﺎﻞ ﺍﻷﺤﺎﺩﻴﺚ ﺑﺎﻠﺮﺳﻮﻞ ﺍﷲ ﺼﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻮﺴﻠﻢ ﻣﻥ ﺤﻴﺚ ﻣﻌﺮﻔﺔ ﺃﺤﻮﺍﻞ ﺮﻮﺍﺗﻬﺎ ﻀﺒﻄﺎ ﻮﻋﺩﺍﻟﺔ ﻤﻥ ﺤﻴﺚ ﻜﻴﻔﻴﺔ ﺍﻟﺳﻧﺩ ﺍﺘﺻﺎﻻ ﻮﺍﻧﻘﻃﺎﻋﺎ ﻮﻏﻴﺮ ﺫﻠﻙ

“Ilmu yang membahas tentang cara-cara persambungan hadits sampai kepada Rasul s.a.w., dari segi ihwal para perawinya, kedhabithan, ke’adilan dan segi cara bersambung dan terputusnya sanad dan sebagainya.”
Definisi yang diberikan di atas merupakan definisi ilmu hadits menurut ulama’ klasik (mutaqaddimin).
Sedangkan menurut Ibnu Hajar al-‘Asqalaniy (773-852 H.) ialah,[4]

ﻤﻌﺮﻔﺔ ﺍﻠﻘﻮﺍﻋﺪ ﺍﻠﺗﻰ ﻴﺗﻮﺼﻞ ﺒﻬﺎ ﺇﻠﻰ ﻤﻌﺮﻔﺔ ﺍﻠﺮﻮﻱ ﻮﺍﻠﻤﺮﻮﻱ

“Mengetahui kaedah-kaedah yang dijadikan sambungan untuk mengetahui keadaan perawi dan yang diriwayatkan.”
Definisi pertama, yang selanjutnya dikembangkan oleh ulama’ belakangan (muta’akhkhirin), ilmu hadits ini dipecah menjadi dua, riwayah dan dirayah. Definisi  yang dibuat oleh ulama’ klasik sendiri dimasukkan ke dalam definisi ilmu hadits dirayah oleh ulama’ belakangan.[5]
B.      Klasifikasi Ilmu Hadits
Telah dijelaskan sebelumnya, pada masa ulama’ mutaqqaddimin hanya dikenal term ilmu hadits yang mencakup seluruh kajian yang dibahas, mulai dari sanad hingga matan hadits; kedhabithan, ke’adilan dan seterusnya; kaedah-kaedah periwayatan dan lain sebaginya. Namun, di masa ulama’ muta’akhkhirin sudah mulai dibentuk menjadi dua bagian, hal ini dilakukan hanya untuk membedakan kapasitas ilmu hadits, jika pada masa ulama’ klasik hanya mengenal ilmu hadits atau ushul al-hadits, era ulama’ muta’akhkhirin ilmu hadits kemudian secara garis besar dibedakan menjadi dua bagian, yaitu ilmu riwayah hadits dan ilmu dirayah hadits.
Dalam kajian sekarang ini, kalangan peneliti dan pembelajar ilmu hadits, bergelut seputar ilmu dirayah hadits. Kendati pun demikian adanya, tidak jarang juga di antara para pembelajar dan para ulama’ yang membahas dan meneliti seputar periwayatan yang Rasul s.a.w., sabdakan berabad-abad lamanya. Ulama’ hadits menggunakan dua term dalam memahami ilmu hadits, yaitu:
a.       Ilmu Hadits Riwayah
Terdapat beberapa pendapat yang ditawarkan oleh pakar hadits terkait definisi yang diberikan, menurut Dr. ‘Ajaj al-Khathib dalam kitabnya, Ushul al-Hadits,[6]

ﻋﻠﻡ ﺍﻠﺫ ﻴﻘﻮﻡ ﻋﻠﻰ ﻨﻘﻞ ﻣﺎ ﺃﺿﻴﻒ ﺇﻠﻰ ﺍﻠﻨﺒﻲ ﺼﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻮﺴﻠﻢ ﻤﻥ ﻘﻮﻞ ﺃﻮ ﻔﻌﻞ ﺃﻮ ﺗﻘﺮﻴﺮ ﺃﻮ ﺼﻔﺔ ﺨﻠﻘﻴﺔ ﺃﻮ ﺨﻠﻘﻴﺔ  ﻨﻘﻼ ﺪﻘﻴﻘﺎ ﻤﺣﺮﺮﺍ......

“Ilmu yang yang mengkaji pengutipan secara cermat dan akurat, sesuatu yang disandarkan kepada Nabi s.a.w., berupa per-kataan, perbuatan, sifat pembawaan atau sifat pribadi.”
Sedangkan menurut Ibnu al-Akfaniy, yang dikutip oleh as-Suyuthiy,[7]

ﻋﻠﻡ ﻴﺸﺘﻤﻞ ﻋﻠﻰ ﺃﻘﻮﺍﻞ ﺍﻠﻨﺒﻲ ﺼﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻮﺴﻠﻢ ﻮﺃﻔﻌﺎﻠﻪ ﻮﺮﻮﺍﻴﺘﻬﺎ ﻮﻀﺒﻄﻬﺎ ﻮﺘﺣﺮﻴﺮ ﺃﻠﻔﺎﻇﻬﺎ..........

“Ilmu yang mencakup segala perkataan Nabi s.a.w., dan segala perbuatan, periwayatannya, pemeliharaannya maupun penulisan atau pembukuan lafal-lafalnya.”
Dari kedua definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa objek kajian ilmu hadits riwayah atau ilmu riwayah hadits menurut hemat penulis adalah Rasulullah s.a.w., sebagai sumber rujukkan, yakni matan hadits. Bila dibahasakan yaitu bagaimana cara menerima, menyampaikan kepada orang lain dan memindahkan atau mendawankan (penulisan atau pengkodifikasi) atau pribadi Rasul s.a.w., dari segi sabdanya, perbuatannya dan seterusnya.
Uraian yang penulis berikan tersebut merujuk pada simpulan dari dua definisi di atas; berbunyi, ﻋﻠﻡ ﻴﺸﺘﻤﻞ ﻋﻠﻰ ﺃﻘﻮﺍﻞ atau menurut Ibnu al-Akfaniy, yang dikutip as-Suyuthiy, ﻋﻠﻡ ﺍﻠﺫﻱ ﻴﻘﻮﻡ ﻋﻠﻰ. Kedua definisi ini berbeda dengan yang dikemukakan oleh Dr. Shubhiy dan Dr. ‘Itr menurut keduanya,[8] ilmu hadits riwayah bukan pada upaya pengutipan bebas dan cermat bagi segala sesuatu yang bersandar kepada Nabi s.a.w., yang dikutip berupa ucapan, perbuatan, pengakuan atau sifat Nabi, namun juga yang bersandar pada para sahabat serta tabi’in.
Bisa jadi yang dimaksudkan di sini oleh Dr. Shubhiy ialah mengingat mereka semua (sahabat serta tabi’in) masuk dalam ranah kajian pengutipan riwayat-riwayat yang diterima oleh mereka, melalui Rasulullah sebagai jalan periwayatannya hingga sampai ke kita saat ini, wajar bila pada tataran sahabat dan tabi’in perlu untuk kembali dikaji secara intensif pengutipan (yang benar secara cermat dan akurat) yang mereka lakukan. Pengutipan di sini adalah berupa pernyataan yang mereka menyandar-kan berita itu kepada Rasul dengan segala sandarannya.
b.       Ilmu Hadits Dirayah
Definisi terminologisnya, menurut Syaikh ‘Izzuddin bin Jama’ah, sebagaimana dikutip as-Suyuthiy[9] dan at-Tarmasiy dalam kitabnya, Manhaj Dzawiy an-Nazhr ditulis dalam bentuk nazhm,[10]

ﻋﻟﻡ ﺍﻠﺣﺩﻴﺚ ﺫﻮ ﻘﻮﺍﻧﻴﻦ ﺗﺤﺩ - ﻴﺩﺮﻯ ﺑﻬﺎ ﺃﺤﻮﺍﻝ ﻣﺗﻦ ﻮﺳﻧﺩ - ﻮﻛﻴﻔﻴﺔ ﺍﻟﺗﺤﻣﻝ ﻮﺍﻷﺩﺍﺀ ﻮﺼﻔﺎﺖ ﺍﻟﺮﺠﺎﻝ ﻮﻏﻴﺮ ﺫﻟﻙ -[11]  .......

“Ilmu Hadits (Dirayah) ialah ilmu yang memiliki undang-undang atau kaedah-kaedah dengannya untuk mengetahui keadaan matan dan sanad; cara menerima dan meriwayatkan, sifat-sifat perawi dan selain itu.”
Pendapat lain diterangkan Ibnu al-Akfaniy, sebagaimana yang dikutip oleh Dr. M. ‘Ajaj al-Khathib dan as-Suyuthiy,[12]

ﻋﻟﻡ ﻴﻌﺮﻒ ﻤﻨﻪ ﺤﻘﻴﻘﺔ ﺍﻟﺮﻮﺍﻴﺔ ﻮﺸﺮﻮﻂﻬﺎ ﻮﺃﻨﻮﺍﻋﻬﺎ ﻮﺃﺤﻛﺎﻣﻬﺎ ﻮﺤﺎﻞ ﺍﻟﺮﻮﺍﺓ ﻮﺸﺮﻮﻂﻬﻢ ﻮﺃﺼﻨﺎﻒ ﺍﻟﻣﺮﻮﻴﺎﺖ ﻮﻣﺎ ﻴﺘﻌﻟﻖ ﺒﻬﺎ...

“Ilmu untuk mengetahui hakikat periwayatan,[13] syarat-syarat,[14] macam-macam,[15] hukum-hukum[16] serta keadaan para perawi,[17] syarat-syarat mereka, macam-macam periwayatan[18] dan persoalan-persoalan yang berkaitan dengannya.[19]
Dapat disimpulkan dari kedua definisi di atas, objeknya adalah perawi sebagai sumber penelitian atau lebih spesifik masuk ke ranah keadaan matan, sanad dan rawi hadits. Bila ditanyakan kenapa dibedakan, ada ilmu riwayah hadits dan ilmu dirayah hadits?…jawabnya, karena wilayahnya berbeda, sesuai dengan definisi ‘Ulum al-Hadits.
Ilmu hadits dirayah (dirayah hadits) nama lainnya yaitu ilmu musthalah al-hadits, mushthalah ahl al-atsar,[20] ‘ilmu ushul al-hadits dan ‘ulum al-hadits.[21]
Dari kedua definisi dan penjelasan di atas, bisa penulis katakan dalam bahasa yang sederhana dan mudah dicerna, ilmu dirayah hadits lebih bersifat teoritis dalam kajian naskah-naskah atau literatur-literatur kitab-kitab hadits dengan menggunakan disiplin ilmu yang sudah dikembangkan dan diterapkan oleh para ulama’, berupa kaedah-kaedah. Sedang ilmu riwayah hadits bersifat praktis; aplikasi dari teoritis (dirayah) atau memberikan informasi apa yang sudah kita tetapkan dari jalan dirayah, yang bertujuan memelihara kemurnian syari’at Islam melalui sabda-sabda Nabi s.a.w.
C.      Cabang-Cabang Ilmu Hadits
Pada umumnya beragam ulama’ berpendapat mengenai banyaknya cabang-cabang ilmu hadits (mencakup riwayah dan dirayah), as-Suyuthiy misalnya, mengatakan ilmu hadits itu jumlahnya banyak tidak terbilang.[22] Al-Hazimiy berkata, “Ilmu hadits mencakup banyaknya sampai 100 macam, tiap-tiap macam daripadanya itu ilmu yang independen.” Al-Hakim an-Naisaburiy (w. 405 H.) menyebutkan sampai 52 macam, tersebut di dalam kitabnya Ma’rifat ‘Ulum al-Hadits. Abu ‘Amr ‘Utsman bin ash-Shalah asy-Syahruzuriy,[23] dikenal dengan Ibnu ash-Shalah (w. 643 H.) menyebutkan ada 65 macam.[24]
Adapun kesemua macam ilmu hadits itu kaitannya pada matan dan sanad, bukan berarti semua cabang-cabang atau macam-macam itu berdiri sendiri dan tidak terikat dengan cabang lainnya, tidaklah demikian sebab satu sama lain saling ber-hubungan. Ada yang hanya membahas pada sanad dan rawi, matan saja, sanad dan matan. Berikut penjelasan secara ringkas:
1.       Pangkal pembahasan pada sanad dan rawi
a.       Ilmu Rijal al-Hadits (ﻋﻟﻡ ﺭﺟﺎﻞ ﺍﻟﺤﺪﻴﺚ)
Ialah ilmu yang membahas para perawi hadits (sahabat, tabi’in dan tabi’ at-tabi’in) dalam kapasitasnya sebagai perawi hadits. Perintis ilmu ini ialah al-Bukhari (w. 256 H.). Ibnu Sa’ad (w. 230 H.) banyak menjelaskan dalam bukunya, Thabaqat.[25] Akan datang pembahasannya.
b.       Ilmu Thabaqat ar-Ruwah (ﻋﻟﻡ ﻄﺒﻘﺎﺖ ﺍﻟﺮﻮﺍﺓ)
Ialah ilmu yang membahas tentang keadaan rawi berdasarkan peng-kalsifikasian keadaan rawi-rawi secara tertentu. Al-Waqidiy (130 H.-209 H.) adalah orang yang pertama kali menyusun kitab dalam bidang ilmu ini. Namun, susunan yang dipercaya isinya oleh para ulama’ adalah kitab yang disusun oleh muridnya, yakni Muhammad bin Sa’ad bin Mani’ az-Zuhriy (168 H.-230 H.) berjudul Thabaqat Ibn Sa’ad. Penolakan terhadap kitab Thabaqat al-Waqidiy tidak lain karena sifat al-Waqidiy yang bermudah-mudahan dan sering membuat kuat sanad hadits, ini pendapat sebagian ulama’. Ilmu ini merupakan bagian dari ilmu sebelumnya, yakni ilmu rijal al-hadits.[26]
c.       Ilmu Tarikh Rijal al-Hadits (ﻋﻟﻡ ﺘﺎﺭﻴﺦ ﺭﺟﺎﻞ ﺍﻟﺤﺪﻴﺚ)
Ialah ilmu yang membahas (mengkaji) tentang rawi yang terdapat pada sanad hadits guna mengetahui sejarah kehidupannya; perihal tanggal lahir, keturunan atau silsilah, para guru hadits mereka dan jumlah hadits yang diriwayat-kannya beserta murid-muridnya.[27]
Sesungguhnya ilmu yang dibicarakan ini termasuk dalam bahasan ilmu rijal al-hadits juga, sebagaimana ilmu thabaqat ar-ruwah.
d.       Ilmu Jarh wa at-Ta’dil (ﻋﻟﻡ ﺠﺭﺡ ﻭﺍﻟﺘﻌﺪﻴﻝ)
Ialah ilmu yang membahas mengenai para perawi, seputar masalah yang membuat mereka tercela atau bersih dalam menggunakan lafal-lafal tertentu, sebagaimana menurut Dr. Shubhiy ash-Shalih.[28]
Perintis ilmu ini adalah ‘Abdullah bin ‘Abbas (w. 68 H.) dan Anas bin Malik (w. 93 H.) dari kalangan sahabat. Ada di antara ulama’ yang memasukkan ilmu ini pada pokok pembahasan yang berpangkal pada sanad dan matan, dengan dua alasan:[29]
Pertama, berhubungan dengan cara-cara periwayatan hadits, sahnya periwayatan, keadan perawi dan kadar kredibili-tasan mereka. Ulama’ menamakannya dengan, ﺍﻟﻧﻘﺪ ﺍﻟﺨﺎﺮﺠﻲ (kritik yang datang dari luar hadits).
Kedua, berhubungan dengan sanad dan matan hadits, sah atau tidak makna yang terdapat di dalamnya dan bagaimana jalan keshahihannya dan ketidak shahihannya. Dinamakan juga dengan, ﺍﻟﻧﻘﺪ ﺍﻟﺪﺍﺨﻟﻲ (kritik yang datang dari dalam hadits).
2.       Pangkal pembahasan pada matan
a.       Ilmu Gharib al-Hadits (ﻋﻟﻡ ﻏﺮﻴﺐ ﺍﻟﺤﺪﻴﺚ)
Ialah ilmu yang membahas mengenai makna kalimat atau lafal-lafal yang terdapat pada matan hadits, yang sukar diketahui maksudnya dan tidak umum dipakai orang Arab, karena mengandung nilai sastra yang sangat tinggi. Sedangkan perintis ilmu ini adalah Abu ‘Ubaidah Ma’mar bin al-Mutsanna at-Tamimiy (w. 210 H.) dan Abu al-Hasan an-Nadhr bin Syumail al-Maziniy (w. 203 H.).[30]
b.       Ilmu Asbab Wurud al-Hadits (ﻋﻟﻡ ﺃﺴﺑﺎﺏ ﻮﺮﻮﺪ ﺍﻟﺤﺪﻴﺚ)
Ialah ilmu yang membahas sebab-sebab latar belakang lahirnya hadits, serta musabab hadits tersebut lahir (muncul).[31]
Ulama’ yang pertama kali menyusun kitab dalam bidang ilmu ini adalah Abu Hafash ‘Umar bin Muhammad bin Raja’ al-‘Ukbariy (w. 309 H.), guru Abu Ya’la Muhammad bin al-Husain (380 H.-458 H.) dan Ibrahim bin Muhammad atau dikenal dengan nama, Ibnu Hamzah al-Husainiy (w. 1120 H.).[32]
Penyebab hadits-hadits Rasul s.a.w., itu lahir ditentukan oleh beberapa hal, yaitu:[33] a) sebagai mubayyin untuk menjelaskan atau memahami ayat-ayat al-Qur’an; atau dalam termnya, tafsir al-Qur’an bi as-sunnah; b) sebagai penjelasan terhadap matan hadits yang lain; c) adanya peristiwa yang muncul, sehingga perlu diterangkan oleh Rasulullah; d) ada persoalan, berupa pertanyaan dari para sahabat Nabi s.a.w. Namun, tidak semua hadits ada sebabnya kenapa hadits itu muncul.
c.       Ilmu Tawarikh al-Mutun (ﻋﻟﻡ ﺘﻮﺍﺭﻴﺦ ﺍﻟﻤﺘﻭﻦ)
Ialah ilmu yang membahas mengenai kapan dan saat apa suatu hadits itu dituturkan atau diperbuat oleh Rasulullah s.a.w. Perintis ilmu ini ialah Sirajuddin Abu Hafsh ‘Amr al-Bulkiniy. [34]
d.       Ilmu an-Nasikh wa al-Mansukh (ﻋﻟﻡ ﺍﻟﻨﺎﺴﺦ ﻭﺍﻟﻤﻨﺴﻮﺥ)
Ialah ilmu yang membicarakan tentang hadits-hadits yang kontradiktif yang tidak mungkin dikompromikan. Hukum hadits yang satu menghapus (menasikh) hukum hadits lain (mansukh). Yang datang dahulu disebut mansukh dan yang muncul belakangan dinamakan nasikh.[35]
Menurut Prof. M. Syuhudi Isma’il, ulama’ yang dianggap ahli dalam ilmu ini adalah asy-Syafi’i[36] (w. 204 H.), Ahmad bin Ishaq ad-Dinariy (w. 318 H.), Muhammad bin Musa al-Hazimiy (w. 584 H.).[37]
e.       Ilmu Talfiq al-Hadits (ﻋﻟﻡ ﺘﻟﻔﻴﻖ ﺍﻟﺤﺪﻴﺙ)
Ialah ilmu yang membahas mengenai cara-cara mengumpulkan dua hadits yang menurut zhahirnya, maknanya ber-lawanan. Dua hadits yang maknanya berlawanan disebut mukhtalif al-hadits (ﻤﺨﺗﻟﻒ ﺍﻟﺤﺪﻴﺙ). Sedangkan cara-cara untuk mengkompromikannya disebut dengan talfiq al-hadits.[38]
Orang yang pertama kali menulis disiplin ilmu ini yaitu asy-Syafi’i dengan karyanya, Ikhtilaf al-Hadits. Kemudian bermunculan ulama’-ulama’ se-telahnya, yakni Ibnu Qutaibah (w. 276 H.), Abu Yahya bin Zakariya bin Yahya as-Sajiy (w. 307 H.) dan Ibnu al-Jauziy (w. 598 H.).[39]
f.        Ilmu at-Tashhif wa at-Tahrif (ﻋﻟﻡ ﺍﻟﺘﺼﺤﻴﻒ ﻮﺍﻟﺘﺤﺭﻴﻒ)
Ialah ilmu yang membahas hadits-hadits yang berubah titik huruf dan berubah bentuk syakal atau harakat hurufnya.[40] 
Hadits yang diubah titiknya disebut dengan mushahhaf (ﻤﺼﺤﻒ), sedang hadits yang diubah bentuk harakatnya disebut dengan muharraf (ﻤﺤﺭﻒ).
Mahmud ath-Thahhan dan al-‘Iraqiy, tulis pembagian tashhif (kesalahan penuturan) menjadi tiga bagian, yaitu:[41]
1.       Segi tempatnya, terbagi dua: a) tashhif fi al-matn; b) tashhif fi al-isnad.
2.       Segi keadaannya, terbagi dua: a) tashhif al-bashr; b) tashhif as-sam’i.
3.       Segi lafal dan makna, terbagi dua: a) tashhif fi al-lafzhi; b) tashhif fi al-ma’na.
Ulama’ yang menyusun disiplin ilmu ini ialah ad-Daruquthniy (w. 385 H.), judul kitabnya, at-Tashhif li ad-Daruquthniy dan Abu Ahmad al-‘Askariy (w. 283 H.) dengan kitabnya, at-Tashhif wa at-Tahrif.[42]
3.       Pangkal pembahasan pada sanad dan matan
a.       Ilmu ‘Ilal al-Hadits (ﻋﻟﻡ ﻋﻟﻞ ﺍﻟﺤﺪﻴﺚ)
Ialah ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata yang dapat merusak keshahihan hadits. Ulama’ yang menulis ilmu di bidang ini dan ahli dalam ilmu ini adalah Ibnu al-Madaniy (161 H.-234 H.) dalam kitabnya, al-‘Ilal, Ahmad bin Hanbal, al-Bukhari, Ibnu Abi Hatim, Ya’qub bin Abi Syaibah dan ad-Daruquthniy.[43]
b.       Ilmu al-Fann al-Mubhamat (ﻋﻟﻡ ﺍﻟﻔﻦ ﺍﻟﻤﺑﻬﻤﺎﺖ)
Ialah ilmu yang membahas tentang nama-nama orang yang tidak disebutkan di dalam sanad dan matan hadits.[44] Dalam hal ini Dr. Nuruddin ‘Itr, sebagaimana ia mengutip pendapat Ibnu ash-Shalah mengklasifikasi nama-nama yang mubham ini menjadi empat, yaitu:[45] 1) nama yang dilambangkan dengan kata, ﺭﺠﻞ atau ﺍﻤﺭﺃﺓ. Jenis ini yang paling samar; 2) lambang kata, ﻔﻼﻦ ﺇﺒﻦ atau ﻔﻼﻦ ﺇﺒﻨﺔ atau ﺍﻟﻔﻼﻨﻲ ﺇﺒﻦ ; 3) ﻔﻼﻦ ﻋﻢ atau ﻔﻼﻦ ﻋﻤﺔ dan; 4) lambang kata,  ﻔﻼﻨﺔ ﺰﻮﺝ atau ﻔﻼﻦ ﺰﻮﺠﺔ.
Perintis ilmu ini yaitu al-Khathib al-Baghdadiy, kemudian diringkas oleh an-Nawawiy dalam kitabnya, al-Isyarat ila Bayan Asma’i al-Mubhamat.[46]
Dalam menetapkan cabang-cabang ilmu hadits yang bertumpuh pembahasan kepada tiga objek kajian di atas dan klasifikasinya itu merupakan ilmu-ilmu dari beberapa ilmu yang harus dimiliki, untuk lebih rinci Shalahuddin al-Adlabiy yang ia nukil dari karyanya al-Hakim an-Naisaburiy terkait kajian ini betapa banyaknya ilmu-ilmu dalam bidang cabang ilmu hadits yang bertumpuh pada objek sanad, tidak kurang dari 33 macam ilmu hadits, begitu juga objek kajian pada matan (teks) suatu hadits tidak kurang terdapat 15 bidang keilmuan. Uraian lebih lanjut akan dijelaskan pada bab berikutnya.
D.      Faedah Urgensi Mempelajari Ilmu Hadits
Banyak sekali faedah dan manfa’at yang diperoleh dalam mempelajari ilmu hadits (dirayah maupun riwayah), tetapi yang sangat urgen di antaranya, sebagai berikut:
1.       Ilmu hadits Riwayah,[47]
a.       Memelihara hadits secara berhati-hati dari segala kesalahan dan kekurangan dalam periwayatan.
b.       Memelihara kemurnian syari’at Islam, karena sunnah atau hadits adalah sumber hukum Islam setelah al-Qur’an.
c.       Menyebarluaskan sunnah kepada seluruh umat Islam, sehingga sunnah dapat diterima oleh seluruh umat manusia.
d.       Mengikuti dan meneladani akhlak Nabi s.a.w., karena tingkah laku dan akhlaknya secara terperinci dimuat dalam hadits.
e.       Melaksanakan hukum-hukum Islam serta memelihara etika-etikanya, karena seseorang tidak mungkin mampu memelihara hadits sebagai sumber hukum syari’at Islam tanpa mempelajari ilmu hadits riwayah ini.
2.       Ilmu hadits Dirayah, [48]
a.       Mengetahui term-term yang disepakati ulama’ hadits dalam penelitian hadits. Demikian juga dapat mengenal nilai-nilai dan kriteria hadits mana yang hadits dan mana yang bukan hadits.
b.       Mengetahui kaedah-kaedah yang disepakati para ulama’ dalam menilai, menyaring (filterisasi) dan mengklasifikasikan ke dalam beberapa macam baik dari segi kuantitas, maupun kualitas sanad dan matan hadits, sehingga dapat menyimpulkan mana hadits yang diterima (maqbul) dan mana yang ditolak (mardud).
c.       Mengetahui usaha-usaha dan jerih payah yang ditempuh para ulama’ dalam menerima dan menyampaikan periwayatan hadits, kemudian menghimpun dan mengkodifikasinya ke dalam berbagai kitab hadits.
d.       Mengenal tokoh-tokoh ilmu hadits, baik dirayah maupun riwayah yang mempunyai peran penting dalam perkembangan pemeliharaan hadits sebagai sumber syari’at Islam, sehingga hadits terpelihara dari pemalsuan tangan-tangan kotor yang tidak bertanggung jawab. Seandainya terjadi hal tersebut merekapun dapat mengungkap dan meluruskan yang sebenarnya.
e.       Mengetahui hadits yang shahih, hasan, dha’if, muttashil, mursal, munqathi’, mu’dhal, maqlub, masyhur, gharib, ‘aziz, mutawatir, ahad dan seterusnya. []
E.      Sejarah Perkembangan dan Kodifikasi Ilmu Hadits
Secara historis perkembangan ilmu hadits tidak bisa dilepaskan juga dengan perkembangan hadits. Para ulama’ coba menguraikan secara tersusun sejarah dan perkembangan ilmu hadits. Antaranya adalah Dr. Nuruddin ’Itr. Sistematis sejarah perkembangan ilmu hadits yang disusunnya melalui beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut:[49]
1.       Tahap pertama, Masa Kelahiran Ilmu Hadits. Berlangsung pada masa sahabat sampai penghujung abad ke-1 H.
2.       Tahap kedua, Masa Penyempurnaan. Berlangsung dari awal abad ke-2 H.-abad ke-3 H., dengan ditandai dengan sejumlah peristiwa yang timbul.[50]
3.       Tahap ketiga, Masa Pengkodifikasiannya Secara Terpisah. Berlangsung sejak abad ke-3 H.-pertengahan abad ke-4 H.
4.       Tahap keempat, Masa Penyusunan Kitab-Kitab Induk dan Penyebarannya. Bermula pada pertengahan abad ke-4 H., dan ber-akhir pada abad ke-7 H.
5.       Tahap kelima, Masa Kematangan dan Kesempurnaan Pengkodifikasian. Ber-mula pada abad ke-7 H.-abad ke-10 H.
6.       Tahap keenam, Masa Kebekuan dan Kejumudan. Terjadi dari abad ke-10 H.-awal abad ke-14 H.
7.       Tahap ketujuh, Masa Kebangkitan Kedua. Berlangsung pada permulaan abad ke-14 H.
Penulis akan uraian kembali ketujuh tahap yang telah dibuat atau disusun oleh Dr. ’Itr tersebut secara sistematis runtut [secara ringkas menjadi empat tahap yang saling terikat satu sama lain. Pada intinya bila dijabarkan kembali menjadi tujuh tahap sebagaimana yang disebut di atas], berdasarkan abad ke-… dan tahun …, pada masa Nabi s.a.w., hingga masa tabi’in, kiranya para pembaca bisa memahami maksud dan tujuan yang disampaikan. Sebelumnya perlu penulis berikan satu kata kunci bahwa, ini membicarakan perkembangan dan pengkodifikasian ilmu hadits bukan hadits, akan tetapi perkembangannya (ilmu hadits) tidak dapat dipisahkan dengan sejarah perkembangan dan pertumbuhan hadits-hadits Nabi s.a.w. Berikut penjelasannya:
a.       Awal dan pertengahan abad ke-1 H. (tahun 13 s.H.-11 H.), zaman Nabi s.a.w., dan Sahabat.
Tidaklah banyak uraian pada awal abad ke-1 H., ini, karena perkembangan ilmu hadits dipenghujung abad ke-1 H. (ketika Nabi wafat, tahun 10 H./632 M.). Perlu diketahui saja pada saat itu permulaan era hijrah, yakni tahun 622 M., tepatnya tanggal 16 Juli (versi orientalis) atau tanggal 1-1-1 H./3 bulan sebelum hijrah (versi Thabari). Ini menunjukkan bahwa perkembangan hadits,[51] jelasnya ilmu hadits selalu mengiringi masa Rasul s.a.w., sekalipun belum dinyatakan secara eksplisit.
Sekalipun pada masa Nabi s.a.w., tidak dinyatakan adanya ilmu hadits, tetapi para peneliti hadits memperhatikan adanya dasar-dasar dalam al-Qur’an dan hadits Nabi s.a.w. Umpama contoh, anjuran pemeriksaan berita yang datang dan perlunya persaksian yang ‘adil. Lihat dan pahami Q.S. al-Hujurat: 6, Q.S. al-Baqarah: 282, Q.S. ath-Thalaq: 2, yang kesemuanya menyatakan tentang persaksian bila datang berita dari penyampai berita.[52] Artinya, ada kehati-hatian dalam meriwayatkan berita (hadits), yang mana sikap kehati-hatian ini masuk dalam kapasitas ilmu hadits.
Ada beberapa faktor yang mendukung pemeliharaan hadits masa itu, yaitu: a) kejernihan hati dan kuatnya daya hafal; b) minat yang kuat terhadap agama; c) kedudukan hadits dalam agama Islam. Sebagaimana telah maklum bahwa hadits merupakan sendi asasi yang telah membentuk pola pikir para sahabat serta sikap perbuatan dan etika mereka; d) para sahabat akan menjadi pengganti Nabi s.a.w., dalam mengemban amanah dan menyampaikan risalah, jelas hal ini Nabi s.a.w., mengetahuinya; e) metode yang dilakukan Nabi s.a.w., dalam menyampaikan hadits darinya; f) adanya penulisan hadits.[53]
Pada masa selanjutnya, pertengahan abad ke-1 H. (tahun 12-98 H.)[54] zaman sahabat Nabi, seperti Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib. Setelah kepulangan atau wafatnya Rasulullah (8 Juni 632 M., versi orientalis), sahabat Nabi sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits, karena masih tertuju kosentrasi pada al-Qur’an, sikap kehati-hatian ini, disebabkan hadits Rasul tidak berkembang pesat, begitu pula ilmu hadits. Dikenal juga dengan term atau sebutan taqlil ar-riwayah. Bergejolaknya yaitu pada masa ‘Ali bin Abi Thalib banyak ber-munculan hadits-hadits palsu, sebagai serangan terhadap musuh. Maka ketika ada hadits yang diriwayatkan seseorang, perlu adanya saksi, sumpah dan sanad. Singkatnya ilmu hadits baru timbul secara lisan, secara eksplisit pada zaman sahabat.[55]
b.       Akhir abad ke-1 H. (tahun 99 H.-101 H.), serta awal dan pertengahan abad ke-2 H., zaman Tabi’in.
Pada akhir abad ke-1 H., yaitu zaman pemerintahan ‘Umar bin ‘Abd al-’Aziz (61 H.-101 H.), dia selaku khalifah (yang ke-8) dari daulah Bani Umayyah,[56] yang mempunyai ide untuk menulis hadits.[57] Ilmu hadits di masanya telah timbul secara tertulis, tetapi belum terpisah dengan ilmu lain. Dia juga memerintahkan kepada setiap gubernur yang ada pada setiap daerah, Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm (w. 117 H.) selaku gubernur Madinah yang mendapat intruksi langsung dari Khalifah ‘Umar bin ‘Abd al-’Aziz, berhasil mengumpulkan hadits yang tersebar dari para penghafal. Ulama’ yang termasuk dalam hal ini adalah Imam Muhammad bin Muslim bin Syihab az-Zuhriy (50 H.-125 H.), dia orang pertama dalam sejarah yang menghimpun ilmu hadits,[58] menurut pendapat Imam Malik (93 H.-179 H.) dia orang yang pertama menulis hadits.[59] Dia (az-Zuhriy) juga salah seorang tabi’in kecil. Daripada itu perkembangan penulisan hadits begitu pesat. al-hamdulillah.
Perlu disampaikan bahwa az-Zuhriy mampu menghafal al-Qur’an hanya dalam waktu 80 malam (3 bulan kurang 10 hari), demikian pernyataan al-Bukhari. Riwayat lain dituliskan bahwa pernah Hisyam meminta tolong kepada az-Zuhriy untuk menuliskan hadits-hadits Nabi, untuk keperluan anak-anak Hisyam. Lalu az-Zuhriy mendiktekan 400 hadits. Berselang jauh satu bulan Hisyam memberitahukan az-Zuhriy bahwa catatan hadits yang dimilikinya dari az-Zuhriy hilang, lalu Hisyam meminta kembali kepada az-Zuhriy agar mendiktekan kembali. Hal tersebut dikabulkan didiktekan kepada seorang penulis. Dan ternyata dua catatan hadits yang ditulis dalam waktu yang berbeda itu, tidak terdapat perbedaan sedikit pun.[60] Ini mengambarkan betapa kuatnya hafalan dan daya ingat az-Zuhriy.
c.       Pertengahan abad ke-2 H., zaman Tabi'in; hingga abad ke-3 H., zaman Tabi’ at-Tabi’in.
Pada pertengahan abad ke-2 H., hingga abad ke-3 H., ilmu hadits mulai di-tulis dan dikodifikasikan dalam bentuk yang sederhana, belum terpisah dari ilmu-ilmu lain, tetapi belum berdiri sendiri, masih bercampur dengan ilmu-ilmu lain atau berdiri secara terpisah. Misalnya terjadi pada kitabnya, Imam asy-Syafi’i (150-204 H.) yang berjudul ar-Risalah,[61] di mana kitab tersebut berisikan dan bercampur ilmu ushul fiqh dengan ilmu hadits; kitab yang lain karya Imam asy-Syafi’i juga, seperti al-Umm, berisikan dan bercampur fiqih dengan hadits Nabi s.a.w., dan solusi hadits-hadits yang kontra diberi nama Ikhtilaf al-Hadits, karya asy-Syafi’i.[62]
Abad ke-3 H., zaman Tabi’ at-Tabi’in merupakan masa kejayaan dan ke-emasan hadits, perkembangan penulisan ilmu hadits sangat pesat, karena perkembangan keduanya secara beriringan. Akan tetapi penulisan ilmu hadits masih terpisah-pisah belum menyatu dan menjadi ilmu yang berdiri sendiri ia masih dalam bentuk bab-bab saja. Beragam pandangan ulama’ dan ahli sejarah terhadap hal ini, Dr. Mushthafa  as-Siba’iy dan Dr. Ahmad ‘Umar Hasyim tulis orang yang pertama kali menulis ilmu hadits[63] adalah ‘Ali bin al-Madiniy (161 H.-234 H.), gurunya Imam al-Bukhari. Karya ‘Ali bin al-Madiniy yaitu Mukhtalif al-Hadits. Buku-buku ilmu hadits bermunculan, seperti Imam Muslim, menulis ilmu hadits pada muqaddimah buku Shahih-nya. Imam al-Bukhari menulis tiga tarikh, yaitu: 1) at-Tarikh al-Kabir; 2) at-Tarikh al-Ausath; dan 3) at-Tarikh ash-Shaghir. Imam at-Tirmidzi menulis al-Asma’ wa al-Kuna dan Kitab at-Tawarikh; dan Muhammad bin Sa’ad menulis ath-Thabaqat al-Kubra. Dan ada juga diantara mereka menulis riwayat khusus, seperti adh-Dhu’afa’-nya al-Bukhari dan an-Nasa’i dan lain-lain. Disayangkan kesemua buku yang penulis sebutkan belum berdiri sendiri menjadi satu ilmu, yakni ilmu hadits; itu juga terdiri dari bab-bab saja.
Artinya pada awal perkembangan ilmu hadits abad ke-3 H., ini dalam bentuk kodifikasi belumlah begitu sistematis dan berdiri sendiri. Bila diurutkan secara kronologisnya di awali oleh ‘Ali bin al-Madiniy – al-Bukhari – Muslim – at-Tirmidzi dalam mempelopori perkembangan dan penulisan ilmu hadits yang menjadi fan ilmu, walaupun masih tercampur dengan ilmu-ilmu lain, seperti data-data periwayatan sejarah. []
d.       Abad ke-4 H., hingga abad ke-14 H. zaman setelah Tabi’ at-Tabi’in.
Pada zaman ini, ilmu hadits mencapai puncak kematangannya. Ilmu hadits juga berdiri sendiri menjadi satu disiplin ilmu. Pada abad ini merupakan penggabungan dan penyempurnaan berbagai ilmu yang berkembang pada abad-abad sebelumnya secara terpisah dan berserakan. Yang pertama kali memunculkan ilmu hadits secara paripurna dan berdiri sendiri adalah[64] al-Qadhiy Abu Muhammad al-Hasan bin ‘Abd ar-Rahman bin Khalad ar-Ramahurmuziy[65] (w. 360 H.) dengan karyanya, al-Muhaddits al-Fashil baina ar-Rawiy wa al-Wa’iy. Kitab ini belum membahas seluruh persoalan dalam bidang ‘ulum al-hadits dan begitulah umumnya keadaan orang yang pertama kali menyusun kitab dalam bidang apapun.[66]
Sebagai gambaran isi kitab ar-Ramahurmuziy ini membahas tentang tata tertib rawi dan ahli hadits, teknik penerimaan dan penyampaian hadits, ke-sungguhan ulama’ dalam mengemban ilmu hadits dan persoalan-persoalan lainnya yang berkaitan.[67] Kitabnya ini sebenarnya merupakan kitab kontekstual, bukan atas pertimbangan term sebgai disiplin ilmu tertentu yang telah dikenal.
Setelah ar-Ramahurmuziy disusul oleh Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Abdullah al-Hakim an-Naisaburiy (w. 405 H.) dengan judul Ma’rifat ‘Ulum al-Hadits, kitab ini belum disusun secara sistematis, seperti halnya ilmu yang lain. Di dalam kitab al-Hakim ini sebagaimana tulis M. Syuhudi Isma’il menyebutkan, ilmu hadits mempunyai pembahasan yang berjumlah 50 cabang atau macam. Pengkelompokan cabang itu sendiri belum berdiri sendiri menjadi satu disiplin ilmu.[68] Mengenai klasifikasi cabang-cabang ilmu hadits menurut pokok-pokok masalah yang dibahas, lihat tabel 2.3.
Abu Nu’aim Ahmad bin ‘Abdullah al-Ashbahaniy (w. 430 H.), judul kitabnya al-Mustakhraj ‘ala Ma’rifat ‘Ulum al-Hadits, sebuah kitab istidrak al-Hakim, akan tetapi masih terdapat persoalan yang tertinggal belum dibahas, yang hal itu dapat ditemukan oleh orang yang kritis terhadap persoalan tersebut. Kitab ini membahas 52 cabang ilmu hadits dan telah dicetak di Mesir pada tahun 1937 M. Selanjutnya al-Khathib al-Baghdadiy (w. 463 H.) dengan judul Kitab al-Kifayah fi ‘Ilmi ar-Riwayah. Lalu diikuti penulis-penulis lainnya, seperti ‘Ulum al-Hadits oleh Abu ‘Amr ‘Utsman bin ‘Abd ar-Rahman asy-Syahrazuriy, yang dikenal dengan Ibnu as-Shalah (w. 643 H.), kitab ini merupakan kitab yang paling baik dalam bidang ‘ulum al-hadits.[69]
Perlu diketahui bersama, keistimewaan kitab Ibnu ash-Shalah ini adalah:[70]
a.       Kaedah dan pendapat yang dikemukakan para ulama’ dengan bijak ia tarik simpulan.
b.       Memberi batasan terhadap definisi-definisi yang ada sambil menguraikan-nya, juga menjelaskan definisi-definisi yang belum pernah dijelaskan sebelumnya.
c.       Mengometari pendapat para ulama’ berdasarkan hasil penelitian dan ijtihad penyusunnya.
Buku ini menjadi sempurna dengan ketiga keistimewaan yang dimiliki dan cepat dikenal di berbagai penjuru dunia dan pujian pun mengalir, sehingga murid-murid penyusunnya mempublikasikan gurunya itu dengan sebutan Shahih Kitab ’Ulum al-Hadits.[71]
Selanjutnya disusul pula, kitab Fath al-Mughits fi Syarh al-Fiyah al-Hadits oleh Muhammad bin ‘Abd ar-Rahman as-Sakhawiy (w. 902 H.), merupakan kitab Syarh al-Fiyah al-‘Iraqiy dan merupakan kitab syarah yang paling baik dari kitab-kitab Syarah al-Fiyah lainnya, lalu as-Suyuthiy (w. 911 H.) juga menyusun satu kitab dengan judul, Tadrib ar-Rawiy fi Syarh Taqrib an-Nawawiy.
Perlu penulis terangkan kembali, sesuai kajian atau pembahasan tentang per-kembangan dan pengkodifikasian ilmu hadits serta cabang-cabangnya, bahwa di zaman ulama’ klasik (mutaqaddimin) yang dihitung dari abad ke-2 H., hingga abad ke 3 H., akhir ilmu hadits tidak terdapat perbedaan term, sesuai penjelasan lalu. Namun, ulama’ setelahnya disebut ulama’ muta’akhkhirin dari abad ke-4 H., hingga seterusnya, maka ulama’ hadits membedakan pemakaian term ilmu hadits dengan nama ilmu hadits riwayah dan ilmu hadits dirayah.
Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pelopor ilmu hadits riwayah yakni Ibnu Syihab az-Zuhriy (50 H.-125 H.), abad ke-2 H., dan pelopor ilmu hadits dirayah, yang termnya dinamakan juga dengan ilmu hadits atau ilmu mushthalah al-hadits, yakni al-Qadhiy Abu Muhammad ar-Ramahurmuziy (w. 360 H.), pada abad ke-4 H. Demikian agar dapat dipahami.
Selanjutnya pada abad ke-10 H., terjadi kejumudan dan kebekuan. Pada tahap ini masalah ilmu hadits dan penyusunan sejumlah kitabnya nyaris berhenti sama sekali. Pada tahap ini lahirlah sejumlah kitab yang ringkas dan praktis, baik dalam bentuk sya’ir dan prosa. Dan para penulis disibukkan dengan kritikan-kritikan yang termuat dalam kitab yang telah ada tanpa ikut mnyelami inti permasalahnnya, baik melalui penelitian maupun melalui ijtihad. Kitab-kitab yang dimaksud antara lain adalah susunan ‘Umar bin Muhammad bin Futuh al-Baiquniy (w. 1080 H.) berjudul al-Manzhumah al-Baiquniyah, merupakan kitab ringkas terdiri dari 34 bait sya’ir; Tawdhih al-Afkar karya ash-Shan’aniy Muhammad bin Isma’il al-Amir (w. 1182 H.); Syarh Nuz-hat an-Nazhar karya Syaikh ’Ali bin Sulthan al-Harawiy al-Qari’iy (w. 1014 H.). kitab ini lebih dikenal dengan nama Syarh asy-Syarh. Berkat rahmat Allah s.w.t., di wilayah India bangkit semangat pengkajian hadits dengan semangat yang cukup tinggi. Yang mana kegiatan itu dipelopori oleh al-’Allamah al-Imam al-Muhaddits Syah Waliyyullah ad-Dahlawiy (w. 1176 H.) dan dilanjutkan oleh anak cucunya serta murid-muridnya. Kemudian pada abad ke-14 H., permulaannya umat Islam terbangkitkan oleh sejumlah kekhawatiran yang setiap saat bisa saja muncul sebagai akibat persentuhan antara dunia Islam dengan dunia Timur dan Barat, bentrokan militer yang tidak manusiawi dan koloniaslime pemikiran yang lebih jahat dan lebih bahaya. Maka muncullah informasi yang mengaburkan eksistensi hadits yang dilontarkan oleh para orientalis dan diterima begitu saja oleh orang-orang yang mudah terbawa arus serba asing, kemudian mereka turut mengumandangkannya dengan penuh keyakinan. Dengan adanya kondisi semacam ini dituntut disusunnya kitab-kitab yang membahas seputar informasi itu guna menyanggah kesalahan-kesalahan dan kedustaan mereka. Ber-muncullah kitab-kitab untuk menjawab tantang zaman ini, seperti kitab Qawa’id at-Tahdits karya al-Qasimiy; Miftah as-Sunnah atau Tarikh Funun al-Hadits, karya ‘Abd al-‘Aziz al-Khuliy, lalu muncul juga as-Sunah wa Makanatuha fi at-Tasyri’ al-Islamiy, karya Mushthafa as-Siba’iy; al-Hadits wa Muhadditsun, karya Muhammad Abu Zahw dan seterusnya. [72] Berapa banyak upaya dan kerja keras serta meluangkan waktu yang panjang dalam membuat dan menghasilkan banyak karya-karya yang ditulis para ulama’-ulama’ kita tentang ilmu-ilmu hadits. Upaya itu juga tidak serta merta diterima oleh ulama’-ulama’ lain atau orang-orang yang mengkaji keilmuan di bidang itu. Mulai datangnya kritikan, ketidaksetujuan pendapat, penambahan dan seterusnya hingga kemudian menjadikan hasil karya yang besar, walaupun demikian perlakuan yang didapat, tetap penghormatan atas sebuah jerih payah tidak akan terlupakan, untuk dulu hingga sekarang. []



b۞۞a





Tabel 2.1.
PERBEDAAN ILMU HADITS RIWAYAH DAN ILMU HADITS DIRAYAH
Tinjauan
Ilmu Hadits Riwayah
Ilmu Hadits Dirayah
Objek Pembahasan
Segala perkataan, perbuatan dan persetujuan Nabi s.a.w.
Hakikat, sifat-sifat dan kaedah-kaedah dalam periwayatan
Pendiri
Imam Muhammad bin Muslim bin Syihab az-Zuhriy (50 H.-125 H.)
Al-Qadhiy Abu Muhammad al-Hasan bin ‘Abd ar-Rahman bin Khalad ar-Ramahurmuziy (w. 360 H.)
Tujuan
Memelihara syari’at Islam dan otentisitas sunnah
Meneliti hadits berdasarkan kaedah-kaedah atau persyaratan dalam periwayatan
Faedah
Menjauhi kesalahan dalam periwayatan
Mengetahui periwayatan yang diterima dan yang tertolak

Tabel 2.2.
PERKEMBANGAN DAN KODIFIKASI ILMU HADITS
No.
Masa
Karakter
Indikator
1.
Nabi s.a.w.
Telah ada dasar-dasar ilmu hadits
Q.S. al-Hujurat: 6 dan Q.S. al-Baqarah: 282
2.
Sahabat
Muncul secara lisan [eksplisit]
Periwayatan harus disertai saksi, bersumpah dan sanad
3.
Tabi’in
Telah timbul secara tertulis belum terpisah dengan ilmu lain
Ilmu hadits bergabung dengan fiqih dan ushul fiqh, seperti al-Umm dan ar-Risalah.
4.
Tabi’ at-Tabi’in
Ilmu hadits telah timbul secara terpisah dari ilmu-ilmu lain, tetapi belum menyatu
Telah muncul kitab-kitab ilmu hadits, seperti at-Tarikh al-Kabir li al-Bukhari, Thabaqat at-Tabi’in dan lainnya
5.
Setelah Tabi’ at-Tabi’in (abad ke-4 H.)
Berdiri sendiri sebagai satu disiplin ilmu hadits
Ilmu hadits pertama al-Muhaddits al-Fashil baina ar-Rawi wa al-Wa’iy, karya ar-Ramahurmuziy

Tabel 2.3.
KLASIFIKASI CABANG-CABANG ILMU HADITS MENURUT POKOK-POKOK MASALAH YANG DIBAHAS
Pokok Bahasan
Cabang Keilmuan
Objek Masalah dan Kajian
Sanad dan rawi
Ilmu Rijal al-Hadits
Kehidupan para rawi, meliputi Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ at-Tabi’in
Ilmu Thabaqat ar-Ruwah
Klasifikasi keadaan rawi-rawi secara tertentu
Ilmu Tarikh Rijal al-Hadits
Historis para rawi (tahun lahir, tahun wafat, silsilah keturunan dstnya)
Ilmu Jarh wa at-Ta’dil
Kredibilitas para rawi (cacat dan ke’adilannya)
Matan
Ilmu Gharib al-Hadits
Lafal-lafal yang sulit dipahami, jarang dan memiliki nilai sastra tinggi
Ilmu Asbab al-Wurud
Historis lahirnya hadits
Ilmu Tawarikh al-Mutun
Historis kapan serta waktu hadits diucapkan dan diperbuat Nabi s.a.w.
Ilmu an-Nasikh wa al-Mansukh
Berlawanan hadits yang datang terdahulu (mansukh) dan kemudian (nasikh) hingga terjadi penghapusan
Ilmu Talfiq al-Hadits dan
Ilmu Mukhtalif al-Hadits
Cara-cara mengkompromikan hadits dan adanya hadits yang maknanya berlawanan
Ilmu at-Tashhif wa at-Tahrif
Berubah titik dan bentuk huruf suatu hadits
Sanad dan matan
Ilmu ‘Ilal al-Hadits
Kesamaran dalam cacatnya hadits
Ilmu al-Fann al-Mubhamat
Penjelasan tentang nama-nama yang tidak disebutkan di dalam matan dan sanad



[1] Disampaikan pada Mata Pelajaran ‘Ulum al-Hadits di Ruang MA III Keagamaan Ponpes Nurul Islam Seribandung, Tj. Batu Kab. Ogan Ilir, Palembang. Pada tanggal 12, 19 dan 26 September 2010.  
[2] Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah, al-Mu’jam al-Wasith, Juz I, Cet. 2, 1972, Cairo, hlm. 160.
[3] As-Suyuthiy, Tadrib ar-Rawiy fi Syarh Taqrib…, Juz I, hlm. 5-6.
[4] M. ’Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits..., hlm. 8. As-Suyuthiy, Tadrib ar-Rawiy fi Syarh Taqrib…, Juz I, hlm. 41.
[5] Tadrib ar-Rawiy fi Syarh Taqrib…, Juz I, hlm. 5.
[6] M. ’Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits..., hlm. 7. Ahya’uddin Anwar, al-Mabadiy, Cet. 1, t.th., Maktabah Nurul Islam; Seribandung-Palembang dan al-Maktabah as-Sya’diyah Putra; Padang Panjang, hlm. 8. Hafizh Hasan al-Mas’udiy, Minhat al-Mughits…, hlm. 4.
[7] As-Suyuthiy, Tadrib ar-Rawiy fi Syarh Taqrib…, Juz I, hlm. 40. Al-Qasimiy, Qawa’id at-Tahdits…, hlm. 75.
[8] Shubhiy ash-Shalih, ‘Ulum al-Hadits…, hlm. 107. Bandingkan: Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd…terj., Juz I, hlm. 14-15.
[9] As-Suyuthiy, Tadrib ar-Rawiy fi Syarh Taqrib…, Juz I, hlm. 41. Al-Qasimiy, Qawa’id at-Tahdits…, hlm. 75.
[10] At-Tarmasiy, Manhaj Dzawiy…, hlm. 7. Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd…terj., Juz I, hlm. 16. Bandingkan: Ahya’uddin Anwar, al-Mabadiy, hlm. 9. Definisi yang diberikan oleh Ahya’uddin Anwar sama dengan at-Tarmasiy namun, dia lebih spesifik menjelaskan maksud dari ‘mengetahui keadaan matan dan sanad’ yaitu apakah sanad atau matan tersebut dinyatakan shahih, hasan, dha’if, ‘ali, nazil, marfu’, mawquf, maqthu’.
[11] Kalimat ﻮﻛﻴﻔﻴﺔ sampai ﻏﻴﺮ ﺫﻟﻙ merupakan penjelasan dalam kitab yang ditulis, bukan bagian dari nazham itu sendiri. Karena kitab ini (karangan at-Tarmasiy) merupakan seorang pensyarah dari kitabnya, as-Suyuthiy berjudul Manzhumah ’Ilmi al-Atsar.
[12] Tadrib ar-Rawiy fi Syarh Taqrib…, Juz I, hlm. 40. M. ’Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits..., hlm. 7. Hafizh Hasan al-Mas’udiy, Minhat al-Mughits…, hlm. 3. Shubhiy ash-Shalih, ‘Ulum al-Hadits…, hlm. 107.
[13] Maksudnya, penukilan hadits dan penyandarannya kepada sumber hadits atau sumber berita. Tadrib ar-Rawiy fi Syarh Taqrib…, Juz I, hlm. 40.
[14] Maksudnya, penerimaan perawi terhadap hadits yang akan diriwayatkan dengan ber-macam-macam cara penerimaan, seperti melalui as-sama’, al-qira’ah, al-washiyyah, al-ijazah. Tadrib ar-Rawiy fi Syarh Taqrib…, Juz I, hlm. 40. Al-Qasimiy, Qawa’id at-Tahdits…, hlm. 75.
[15] Maksudnya, membicarakan sekitar bersambung dan terputusnya periwayatan dan lain-lain. Tadrib ar-Rawiy fi Syarh Taqrib…, Juz I, hlm. 40. Qawa’id at-Tahdits…, hlm. 75.
[16] Maksudnya, pembicaraan sekitar diterima (maqbul) atau ditolaknya sesuatu hadits (mardud). Tadrib ar-Rawiy fi Syarh Taqrib…, Juz I, hlm. 40. Qawa’id at-Tahdits…, hlm. 75.
[17] Maksudnya, pembicaraan sekitar ke’adilan, kecacatan para perawi dan syarat-syarat mereka dalam menerima dan meriwayatkan hadits. Tadrib ar-Rawiy fi Syarh Taqrib…, Juz I, hlm. 40. Qawa’id at-Tahdits…, hlm. 75.
[18] Maksudnya, yang diriwayatkan meliputi hadits-hadits yang dapat dihimpun pada kitab-kitab tashnif, kitab tasnid dan kitab mu’jam. Qawa’id at-Tahdits…, hlm. 75.
[19] Maksudnya, mengetahui term-term ahli hadits. Tadrib ar-Rawiy fi Syarh Taqrib…, Juz I, hlm. 41. Qawa’id at-Tahdits…, hlm. 75.
[20] Ahya’uddin Anwar, al-Mabadiy, hlm. 9.
[21] M. ’Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits..., hlm. 9. As-Suyuthiy, Tadrib ar-Rawiy fi Syarh Taqrib…, Juz I, hlm. 5.
[22] Tadrib ar-Rawiy fi Syarh Taqrib…, Juz I, hlm. 53.
[23] Nama asli Ibnu ash-Shalah serta penisbahan ke asy-Syahruzuriy, lihat: Tadrib ar-Rawiy fi Syarh Taqrib…, Juz I, hlm. 52 dan 61. Lihat teks kitab dan catatan kakinya nomor 2, hlm. 52, nomor 1, hlm. 62.
[24] M. ’Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits..., hlm. 11-12. Tadrib ar-Rawiy fi Syarh Taqrib…, Juz I, hlm. 53. M. Syuhudi Isma’il, Pengantar Ilmu Hadits, hlm. 64. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, hlm. 84. Al-Qasimiy, Qawa’id at-Tahdits…, hlm. 79.
[25] Shubhiy ash-Shalih, ‘Ulum al-Hadits…, hlm. 110. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, hlm. 84-85.
[26] M. Syuhudi Isma’il, Pengantar Ilmu Hadits, hlm. 64. A. Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hlm. 391.
[27] Pengantar Ilmu Hadits, hlm. 65. A. Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hlm. 394.
[28] Shubhiy ash-Shalih, ‘Ulum al-Hadits…, hlm. 109. Bandingkan: M. ’Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits..., hlm. 260. Munzier Suparta, Ilmu Hadits, Ed. 1, Cet.2001, RajaGrafindo Persada; Jakarta, hlm. 31.
[29] M. Syuhudi Isma’il, Pengantar Ilmu Hadits, hlm. 65.
[30] Pengantar Ilmu Hadits, hlm. 66. A. Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hlm. 442.
[31] Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar…, hlm. 121. Secara bahasa sabab ber-arti al-habl yakni tali, saluran (segala sesuatu yang menghubungkan satu benda ke benda ke benda lainnya, maksudnya yang mengantarkan pada tujuan). Sementara ahli hukum Islam mendefinisikannya dengan ’suatu jalan menuju terbentuknya suatu hukum tanpa adanya pengaruh apapun dalam hukum itu. Sedangkan wurud berarti sampai, muncul. Maksudnya ialah sesuatu yang membatasi arti suatu hadits, baik berkenaan dengan arti umum atau khsusus, mutlak atau terbatas, dihapus (nasikh) dan seterusnya, atau suatu arti yang dimaksud oleh sebuah hadits saat kemunculannya. Uraian lengkap lihat: Jalaluddin as-Suyuthiy, Asbab al-Wurud al-Hadits aw al-Luma’ fi Asbab al-Wurud, Yahya Isma’il Ahamd (tahqiq dan ta’liq), 1404 H./1984 M., Dar al-Kutub al-’Ilmiyah; Beirut-Lebanon, hlm. 10-11.
[32] Sejarah dan Pengantar…, hlm. 121. M. ’Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits..., hlm. 290.
[33] Ibnu Hamzah al-Husainiy al-Hanafiy ad-Dimasyqiy, al-Bayan wa at-Ta’rif fi Asbab al-Wurud…terj., Juz I, hlm. vi. Lihat pada pengantar penerjemah.
[34] M. Syuhudi Isma’il, Pengantar Ilmu Hadits, hlm. 66.
[35] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, hlm. 89. Bandingkan: M. ’Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits..., hlm. 287-288. Hafizh Hasan al-Mas’udiy, Minhat al-Mughits…, hlm. 30. as-Sayyid ‘Alawiy bin as-Sayyid ‘Abbas bin ‘Abd al-‘Aziz al-Malikiy, Hasyiah Faidh al-Khabir wa Khulashah at-Taqrin ‘ala Nahj at-Taisir Syarh Manzhumah at-Tafsir, al-Ustadz Muhammad Yasin al-Fadaniy (ta’liqat), Cet. 2, 1960 M./1380 H., Maktabah al-Hidayah; Surabaya, hlm. 145-146.
[36] Imam asy-Syafi’i telah membahas panjang lebar dalam ar-Risalahnya mengenai ilmu nasikh dan mansukh ini. Bisa lihat selengkapnya: asy-Syafi’i, ar-Risalah…, Juz I dan Juz II, hlm. 106-146.
[37] M. Syuhudi Isma’il, Pengantar Ilmu Hadits, hlm. 67. Shubhiy ash-Shalih, ‘Ulum al-Hadits…, hlm. 114. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar…, hlm. 121.
[38] A. Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hlm. 443. Lebih jauh uraiannya lihat: Sejarah dan Pengantar…, hlm. 122. Shubhiy ash-Shalih, ‘Ulum al-Hadits…, hlm. 111. Penjelasan tentang mukhtalif al-hadits atau hadits mukhtalif lihat uraiannya: al-‘Iraqiy, Fath al-Mughits…, hlm. 336.
[39] Shubhiy ash-Shalih, ‘Ulum al-Hadits…, hlm. 112.
[40] Hafizh Hasan al-Mas’udiy, Minhat al-Mughits…, hlm. 28. Munzier Suparta, Ilmu Hadits, hlm. 41. Shubhiy ash-Shalih, ‘Ulum al-Hadits…, hlm. 254 dan 255.
[41] Uraiannya selengkapnya lihat: al-‘Iraqiy, Fath al-Mughits…, hlm. 332-334. Shubhiy ash-Shalih, ‘Ulum al-Hadits…, hlm. 254-262. Mahmud ath-Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadits, hlm. 115-116.
[42] Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar…, hlm. 119. Bandingkan: Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, hlm. 91.
[43] Ulumul Hadits, hlm. 86-87. M. Syuhudi Isma’il, Pengantar Ilmu Hadits, hlm. 67-68. A. Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hlm. 443. Sejarah dan Pengantar…, hlm. 119. Selangkapnya lihat: M. ’Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits..., hlm. 291 dan 296.
[44] A. Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hlm. 178. Mahmud ath-Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadits, hlm. 213.
[45] Penjelasanya lihat: Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd…terj., Juz I, hlm. 146-148. Mahmud ath-Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadits, hlm. 214-215. A. Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hlm. 179-181.
[46] Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar…, hlm. 118-119. M. Syuhudi Isma’il, Pengantar Ilmu Hadits, hlm. 68.
[47] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, hlm. 71. A. Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hlm. 15-16.
[48] Ulumul Hadits, hlm. 77-78. Munzier Suparta, Ilmu Hadits, hlm. 27-28. Ahya’uddin Anwar, al-Mabadiy, hlm. 9.
[49] Lihat pertema: Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd…terj., Juz I, hlm. 21, 44, 48, 50, 53, 56 dan 57.
[50] Peristiwa yang timbul pada waktu itu dimaksud antaranya: a) melemahnya daya hapal di kalangan umat Islam, sebagaimana disebutkan oleh adz-Dzahabiy dalam kitab Tadzkirat al-Huffazh; b) panjang dan bercabangnya sanad-sanad hadits, lantaran bentangan jarak waktu dan semakin banyaknya rawi. Terlihat hal ini misalnya dari hadits yang diriwayatkan oleh seorang sahabat lalu diterima oleh beberapa kelompok umat yang berasal dari berbagai daerah, sehingga sanadnya menjadi banyak. Ditambah lagi kemungkinan masiknya sejumlah faktor yang mencacatkannya atau mengandung banyak ‘illat, yang jelas atau samara; c) munculnya sejumlah kelompok umat Islam yang menyimpang dari jalan kebenaran yang ditempuh para sahabat dan tabi’in, seperti Mu’tazilah, Jabbariyah, Khawarij dan sebagainya. Oleh sebab itu, para imam umat Islam bengkit untuk mengantisipasi kekacauan ini dengan langkah yang dapat menutup pengaruh yang mungkin timbul. Antara lain adalah pengkodifikasian hadits secara resmi; sikap para ulama’ yang lebih kritis terhadap para rawi hadits dalam upaya jarh wa ta’dil. Karena waktu itu makin banyak ditemukan kelemahan, baik daya hapal ataupun unsur-unsur nafsu dan perbuatan bid’ah; sikap tawaqquf (tidak menolak dan tidak menrima) bila mendapatkan hadits dari seseorang yang tidak mereka kenal sebagai ahli hadits; sikap menelusuri sejumlah hadits untuk mengungkapkan kecacatan yang mungkin tersembunyi di dalamnya, lalu untuk setiap hal yang baru, mereka membuat kaedah dan formula khusus dalam upaya mengenalkannya. Dengan adanya upaya ini menjadi sempurnalah cabang-cabang ilmu hadits. Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd…terj., Juz I, hlm. 44-46.
[51] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, hlm. 78.
[52] Ulumul Hadits, hlm. 78-79.
[53] Lihat pada setiap tema: Manhaj an-Naqd…terj., Juz I, hlm. 21, 22, 23 dan 24.
[54] Ulumul Hadits, hlm. 79-80.
[55] M.M. Azami, Studies in Early…terj., hlm. 106.
[56] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, hlm. 224. Bila diurutkan khalifah-khalifah Bani Umayyah dari pertama sampai ke-8 adalah Mu’awiyah bin Abu Sufyan (dilantik tahun 41 H.) – Yazid bin Mu’awiyah (l. 25 H., atau 26 H.) – Mu’awiyah bin Yazid (dilantik tahun 64 H.) – ‘Abdullah bin Zubair (l. 1 H.) – ‘Abd al-Malik bin Marwan (l. 26 H.) – al-Walid bin ‘Abd al-Malik (dilantik tahun 86 H.) – Sulaiman bin ‘Abd al-Malik (dilantik tahun 96 H.) – ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz (l. 61 H., atau 63 H.). As-Suyuthiy, Tarikh Khulafa’, terj., hlm. 230, 243, 249, 250, 254, 265, 266.
[57] M.M. Azami, Studies in Early…terj., hlm. 106.
[58] Hafizh Hasan al-Mas’udiy, Minhat al-Mughits…, hlm. 4. Ahya’uddin Anwar, al-Mabadiy, hlm. 8. Baca selengkapnya: al-Qasimiy, Qawa’id at-Tahdits…, hlm. 71.
[59] M.M. Azami, Studies in Early…terj., hlm. 107. Dalam hal ini para orientalis berbeda pendapat terkait tentang az-Zuhriy yang disebut sebagai orang pertama menulis hadits. Muir menerima pendapat itu dan mengomentari bahwa sebelum pertengahan abad ke-2 H., belum ada kumpulan tulisan tulisan hadits yang dapat diandalkan. Sedang Guillaume mengatakan, ”Palsu pendapat yang menyebutkan az-Zuhriy adalah orang pertama menulis hadits.” Pendapat Guillaume ini disetir juga Ruth dan lain-lain; serta mengatakan meragukan kebenaran pendapat itu. Yang ekstrim lagi adalah pendapatnya Goldziher dan Schacht. Schacht mengatakan, untuk mengetahui pendapat yang palsu ini baca kembali tulisan Goldziher dalam bukunya, Muhammedanische Studien dan tulisan Mirza Kazim Bik dalam, ar-Risalah al-Asiawiyyah. Di bagian lain ia juga mengatakan bahwa sulit sekali menganggap hadits-hadits yang ada kaitannya dengan fiqh (hukum) itu ada yang shahih. Karena hadits-hadits tersebut dibuat guna diedarkan di kalangan masyarakat sejak paruh pertama dari abad ke-2 H., sampai seterusnya. Dalam hal ini M.M. al-A’zami berpendapat bahwa penulisan hadits yang dilakukan oleh az-Zuhriy itu menurut Schacht ialah palsu. Sebab munculnya hadits-hadits fiqh (hukum) menurutnya baru setelah ’Umar bin ’Abd al-’Aziz. Studies in Early…terj., hlm. 107-108.
[60] M. Syuhudi Isma’il, Pengantar Ilmu Hadits, hlm. 62.
[61] Kitab ar-Risalah merupakan kitab pertama di bidang ushul fiqh, disusun secara metodologis yang berbeda dengan ulama’-ulama’ lain [lebih jelasnya baca, ar-Risalah]. Tersusunnya ar-Risalah atas permintaan ‘Abd ar-Rahman bin Mahdiy (135 H.-198 H.), dia me-minta asy-Syafi’i membuatkan buku yang berisi tentang makna-makna dibalik ayat al-Qur’an, menghimpun kisah-kisah di dalam al-Qur’an, penjelasan penargumenan ijma’, nasikh mansukh yang terdapat di dalam al-Qur’an dan hadits; inilah sebab asy-Syafi’i menulis dan menyusun kitab ar-Risalah. asy-Syafi’i menulis kitabnya saat dia berada di Makkah, tidak sampai di sana saja, dia melanjutkan penulisan kitabnya di Baghdad [tahun 195 dia berada di Baghdad] selanjutnya di Mesir [tahun 199 H., ia kembali berada di Mesir]. Artinya kitab ar-Risalah itu disusun dalam waktu tiga kali, yaitu di Makkah atas permintaan ‘Abd ar-Rahman bin Mahdiy, di Baghdad memulai mengeksplorasi berbagai pendapat ahli fiqh yang semasa dengannya dan terakhir di Mesir, pada saat itu asy-Syafi’i berusia kurang lebih 50 tahun. Penulisan kitabnya di Mesir ini terkadang dia menambahkan dan terkadang pula membuangnya (dalam kajian yang ia bahas), tahap ini disebut dengan tahap kematangan. Akan tetapi dia tetap menjaga orisinilitas kitabnya. Ketika berada di Makkah kitab tersebut dinamakan ar-Risalah al-Qadimah, sedang di Mesir dinamakan ar-Risalah al-Jadidah. Lihat selengkapnya: Muhammad Ibrahim al-Fayyumi, asy-Syafi’i, al-Imam…terj., hlm. 93, 94, 96. Lihat selengkapnya juga: asy-Syafi’i, ar-Risalah…, Juz I, hlm. 9-11. Lihat dalam catatan kaki dan teks kitab.
[62] Mahmud ath-Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadits, hlm. 10.
[63] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, hlm. 81.
[64] Hafizh Hasan al-Mas’udiy, Minhat al-Mughits…, hlm. 3. as-Suyuthiy, Tadrib ar-Rawiy fi Syarh Taqrib…, Juz I, hlm. 5. Mahmud ath-Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadits, hlm. 10.
[65] Dengan berbaris atas ra’ dan mim serta berbaris depan ha’ dan mim yang kedua. Tadrib ar-Rawiy fi Syarh Taqrib…, Juz I, hlm. 52. Lihat catatan kakinya nomor 1.
[66] Mahmud ath-Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadits, hlm. 11. Bandingkan: Tadrib ar-Rawiy fi Syarh Taqrib…, Juz I, hlm. 52.
[67] Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd…terj., Juz I, hlm. 51.
[68] M. Syuhudi Isma’il, Pengantar Ilmu Hadits, hlm. 64.
[69] Manhaj an-Naqd…terj., Juz I, hlm. 51. M. ’Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits..., hlm. 455, 456.
[70] Manhaj an-Naqd…terj., Juz I, hlm. 53.
[71] Manhaj an-Naqd…terj., Juz I, hlm. 53.
[72] Mahmud ath-Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadits, hlm. 11, 12 dan 13. Lihat selengkapnya: as-Suyuthiy, Tadrib ar-Rawiy fi Syarh Taqrib…, Juz I, hlm. 6, 7, 8, 9 dan 10. Bandingkan: Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd…terj., Juz I, hlm. 50, 51, 54, 56 dan 58.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar