Selasa, 23 November 2010

Motif-Motif Pemalsuan Hadits (Mawdhu’)


Ada beberapa faktor munculnya hadits-hadits palsu, hal tersebut tentu ter-dapat motif-motif tersendiri yang dilakukan para pemalsunya, penyebab tersebut terbagi menjadi dua macam, yaitu:[1]
Pertama, Pemalsuan Hadits Yang Disengaja
1.       Faktor politik (propagandis-propagandis politik)
Seperti, terjadinya pesetruan internal antar umat Islam awal yang kemudian menjadi terpecah ke beberapa sekte. Dalam sejarah sekte Syi’ahlah yang pertama kali membuat hadits-hadits palsu. Hadits itu dibuat guna menyerang lawan politiknya, begitu juga lawan politiknya membuat hadits-hadits palsu sebagai serangan balik, dan seterusnya.[2] Maka dari itu dapat dikatakan hadits digunakan sebagai senjata mereka dalam kegiatan politik yang mereka lakukan.
2.       Kaum Zindiq (atheis)
Seperti yang ditulis Prof. M. Syuhudi Isma’il,[3] golongan Zindiq ini pada lahirnya memeluk agama Islam, namun batinnya memusuhi Islam. Keinginan mereka hanya supaya umat Islam meninggalkan doktrin Islam yang benar dan mengikuti doktrin yang tidak benar. Demikian untung kaum Zindiq ini lebih mudah untuk meruntuhkan kejayaan Islam. Misalnya, antara golongan Amawiyah vs golongan ’Abbasiyah; tidak heran pada saat Khalifah ’Abbasiyah berkuasa, mereka golongan Amawiyah terus ditumpas.
3.       Fanatisme (ta’ashshub) terhadap bangsa, suku, negeri, bahasa, pimpinan dan keyakinan
Seperti, al-Khaththabiyah –kelompok yang menghalalkan dusta-. Asy-Syafi’i berkata, “Saya menerima kesaksian ahl al-ahwa (pengikut hawa nafsu), kecuali orang dari al-Khaththabiyah”, seperti Syi’ah Rafidhah yang banyak berdusta atas nama Nabi, sehingga al-Khaliliy berkata, “Syi’ah Rafidhah memalsukan hadits tentang ‘Ali bin Abi Thalib lebih dari 300 ribu hadits.”[4]
Misal lain,[5] golongan as-Su’ubiyah yang fanatik terhadap bahasa Persi mengatakan, “Bila Allah murka, maka Dia menurunkan wahyu dengan bahasa Arab dan apabila senang maka akan menurunkannya dengan bahasa Persi.”
“Ada empat kota yang termasuk kota-kota bagian dari surga: Makkah, Madinah, Bait al-Maqdis dan Damaskus.” “Dan empat kota yang termasuk bagian dari neraka: Konstatinopel, Thabraniah, Anthakiah dan Shan’a.” Ini misal dari fanatisme negeri.[6]
4.       Tukang cerita, mempengaruhi kaum awam dengan cerita dan nasihatnya
Misalnya, Muhammad bin Sa’id al-Masluh. Dia mengakui dengan lisannya bahwa setiap kali ia menemukan ucapan yang bagus, ia membuatkan sanad untuknya dan menisbahkan kepada Nabi s.a.w.[7]
5.       Perselisihan madzhab dan ilmu Kalam
Hal tersebut akibat didorong sifat fanatik yang ingin menguatkan pendapat madzhabnya masing-masing. Seperti riwayat-riwayat berikut ini:[8]
”Siapa yang mengangkat kedua tangannya dalam shalat, maka shalatnya tidak sah.” ”Yang junub wajib berkumur dan menghirup air tiga kali.” ”Semua yang ada di bumi dan di langit serta di antara keduanya adalah makhluk, kecuali Allah dan al-Qur’an...” 
6.       Menjilat penguasa (para sultan, raja, amir dan khalifah)
Diceritakan seseorang bernama Ghiyats bin Ibrahim an-Nakha’iy menghadap Khalifah al-Mahdiy al-‘Abbasiy, sedangkan dia sedang bermain burung mer-pati, lalu orang itu menyampaikan hadits, “Tidak ada perlombaan kecuali dengan memakai unta, berkuda atau anak panah.”[9] [ini hadits riwayat Abu Hurairah] lalu ia menambahkan, “atau pada janah (sayap)” demi mencari muka di depan khalifah dan meletakkan alasan syar’i yang mengizinkan permainannya. Lalu al-Mahdiy memberinya hadiah uang 10.000 dirham dan ketika ia pulang al-Mahdiy berkata, “Saya bersaksi bahwa tengkukmu adalah tengkuk ahli dusta.”[10] Lalu al-Mahdiy, minta diambilkan seekor merpati dan ia langsung menyembelihnya.[11]
Komentar atas cerita di atas, ‘Abd al-‘Aziz bin Muhammad bin ‘Abdullah as-Sadahan, ia mengatakan,[12] “Cerita ini masyhur, namun yang benarnya tidak terdapat matan dan sanad yang menuliskan cerita tersebut.” [yakni riwayat yang menambahkan kata janah]
7.       Membangkitkan gairah beribadat tanpa mengerti apa yang dilakukan
Misalnya,[13] Ghulam al-Khail, dikenal ahli Zuhud membuat hadits tentang keutamaan wirid dengan tujuan untuk melunakkan kalbu manusia. Begitu juga Nuh bin Abi Maryam membuat hadits-hadits yang berkenaan dengan fadilah membaca surat-surat tertentu dalam al-Qur’an.
Kedua, Pemalsuan Hadits Yang Tidak Disengaja
1.       Terjadinya kekeliruan atau kesalahan pada diri periwayat
Bagaimana pun seorang perawi yang tsiqah, bukannya tidak bisa terhindar dari kekeliruan. Bisa saja dia meriwayatkan perkataan sahabat atau selain mereka dan menganggapnya sebagai hadits Rasulullah. Terkadang praktek demikian dinamakan pemalsuan, terkadang juga dinamakan semi pemalsuan. Misalnya, ucapan Ibnu ’Abbas, ”Rasulullah s.a.w., menikahi Maimunah di saat sedang menjalankan ihram.”[14]
2.       Penyusupan hadits-hadits palsu dalam karya periwayat oleh orang lain tanpa sepengetahuannya
Misalnya, dinukil dari Ibnu ‘Adiy bahwa Ibnu Abi al-Awja’ merupakan me-nantu Hammad bin Salamah. Hammad sering memasukkan dalam kitab me-nantunya sejumlah hadits palsu.[15]
3.       Para ulama’ yang mempelajari hadits dari guru (syaikh) tertentu, kemudian mereka mengambil hadits yang lain dari guru yang sama, hanya saja mereka tidak langsung belajar darinya.[16]
4.       Mereka yang mempelajari sejumlah kitab dari beberapa orang tokoh, hanya saja mereka tidak menyalin apa-apa yang telah mereka pelajari pada saat itu. Kesalahan semacam ini umum terjadi pada abad ke-4 H.[17]
5.       Orang-orang yang tidak layak untuk mengajarkan hadits, seperti daya hafal kuat, menjaga kehati-hatian atau mempunyai sebuah kitab yang benar.[18]
6.       Para ulama’ yang melakukan perlawatan dalam mencari hadits dan telah diakui oleh para ahli hadits, hanya saja mereka telah kehilangan kitab-kitab yang mereka pelajari.[19]
7.       Para ahli ibadah yang dengan giat beribadah, tanpa sengaja melakukan ke-salahan dan mereka tidak memberikan porsi perhatian mereka yang cukup untuk mengkaji hadits, serta mereka selalu sibuk dengan kegiatan ibadah.[20]
Pada pembagian kedua [yang penulis maksud, pemalsuan hadits yang tidak disengaja], pada poin pertama dan kedua, penulis kutip tulisan Shalahuddin al-Adlabiy dalam Manhaj Naqd al-Matan ‘inda Ulama’ al-Hadits an-Nabawiy, sedang poin selanjutnya, yakni poin ketiga sampai ketujuh penulis kutip tulisannya M.M. al-A’zami. Perlu penulis dipahami lagi, bahwa para pemalsu hadits menisbahkan perkataannya kepada Nabi Muhammad, bukan tidak terdapat alasan [alasan-alasan mereka tersebut telah kita bahas sebelumnya]. Salah satunya bagi non-Muslim pembuatan hadits-hadits palsu, Karena didorong oleh keinginan merun-tuhkan Islam dari dalam.
Tulis M.M. al-A’zami dalam Studies in Hadith Methodology and Literature,[21] bahwa pemalsuan hadits yang disengaja, itu biasanya disebut hadits Mawdhu’, sedang pemalsuan hadits yang tidak disengaja, dikarenakan kekeliruan atau ke-kuranghati-hatian. Bentuk hadits seperti ini biasanya disebut hadits Bathil.
Perlu diketahui bersama bahwa menurut analisis Dr. As-Siba’iy, tahun 40 H., merupakan batas pemisah antara kemurnian sunnah dan kebebasannya dari kedustaan dan pemalsuan di satu pihak dan ada tambah-tambahan terhadap sunnah itu serta digunakannya sebagai alat untuk melayani berbagai kepentingan politik dan perpecahan internal Islam, setelah perselisihan antara ’Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah berubah menjadi peperangan dan banyak memakan korban jiwa, serta setelah orang-orang Muslim berpecah-pecah menjadi beberapa sekte atau golongan.[22]


[1] Secara sistematis uraian tentang hal ini dapat dibaca selengkapnya: al-Adlabiy, Manhaj Naqd al-Matan…terj., hlm. 41-55. ‘Abd al-‘Aziz bin Muhammad bin ‘Abdullah as-Sadahan, Ara’ Khati’ah wa…terj., hlm. 40-47. M. ’Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits..., hlm. 417-427. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, hlm. 201-208.
[2] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, hlm. 201.
[3] M. Syuhudi Isma’il, Pengantar Ilmu Hadits, hlm. 108.
[4] Ara’ Khati’ah wa…terj., hlm. 40.
[5] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, hlm. 184-185.
[6] Al-Adlabiy, Manhaj Naqd al-Matan…terj., hlm. 46.
[7] Ara’ Khati’ah wa…terj., hlm. 45.
[8] M. ’Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits..., hlm. 426. Bandingkan: ‘Abd al-‘Aziz bin Muhammad bin ‘Abdullah as-Sadahan, Ara’ Khati’ah wa…terj., hlm. 43-44. Al-Adlabiy, Manhaj Naqd al-Matan…terj., hlm. 45.
[9] Sunan Abi Dawud, Juz III, Kitab al-Jihad-Bab fi as-Sabq, hadits ke-2574, hlm. 29. Rawi-rawi hadits tersebut, Abu Hurairah – Nafi’ bin Abi Nafi’ – Ibn Abi Dzi’bin – Ahmad bin Yunus – Abu Dawud. Bunyi teks haditsnya:

ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻫﺮﻳﺮﺓ  ﻘﺎﻞ: ﻘﺎﻞ ﺮﺴﻮﻞ ﺍﷲ ﺼﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻮﺴﻠﻢ: ﻻ ﺴﺑﻖ ﺇﻻ ﻔﻲ ﺨﻒ ﺃﻭ [ﻔﻲ] ﺤﺎﻔﺮ ﺃﻭ ﻧﺻﻞ

Lihat maksud khuff, hafir dan nashl. Ash-Shan’aniy, Subul as-Salam Syarh Bulugh…, Juz IV, Kitab al-Jihad wa at-Targhib fi al-Ikhlash fihi-Bab as-Sabq wa ar-Ramyu, hadits ke-3, hlm. 71.
[10] Ara’ Khati’ah wa…terj., hlm. 41. Bandingkan: Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, hlm. 206. M. ’Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits..., hlm. 427. Manhaj Naqd al-Matan…terj., hlm. 47. Al-‘Iraqiy, Fath al-Mughits…, hlm. 123.
[11] Manhaj Naqd al-Matan…terj., hlm. 47.
[12] Ara’ Khati’ah wa…terj., hlm. 41.
[13] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, hlm. 187.
[14] Manhaj Naqd al-Matan…terj., hlm. 52.
[15] Manhaj Naqd al-Matan…terj., hlm. 53.
[16] M.M. Azami, Studies in Hadith Methodology…terj., hlm. 114.
[17] Studies in Hadith Methodology…terj., hlm. 114.
[18] Studies in Hadith Methodology…terj., hlm. 115.
[19] Studies in Hadith Methodology…terj., hlm. 115.
[20] Studies in Hadith Methodology…terj., hlm. 114.
[21] Studies in Hadith Methodology…terj., hlm. 111.
[22] Mushthafa as-Siba’iy, as-Sunnah wa Makanatuha…terj., hlm. 36. Selengkapnya uraian terkait sejarah pemalsuan hadits, lihat juga hlm. 36-44 nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar