Selasa, 23 November 2010

Motif-Motif Pemalsuan Hadits (Mawdhu’)


Ada beberapa faktor munculnya hadits-hadits palsu, hal tersebut tentu ter-dapat motif-motif tersendiri yang dilakukan para pemalsunya, penyebab tersebut terbagi menjadi dua macam, yaitu:[1]
Pertama, Pemalsuan Hadits Yang Disengaja
1.       Faktor politik (propagandis-propagandis politik)
Seperti, terjadinya pesetruan internal antar umat Islam awal yang kemudian menjadi terpecah ke beberapa sekte. Dalam sejarah sekte Syi’ahlah yang pertama kali membuat hadits-hadits palsu. Hadits itu dibuat guna menyerang lawan politiknya, begitu juga lawan politiknya membuat hadits-hadits palsu sebagai serangan balik, dan seterusnya.[2] Maka dari itu dapat dikatakan hadits digunakan sebagai senjata mereka dalam kegiatan politik yang mereka lakukan.
2.       Kaum Zindiq (atheis)
Seperti yang ditulis Prof. M. Syuhudi Isma’il,[3] golongan Zindiq ini pada lahirnya memeluk agama Islam, namun batinnya memusuhi Islam. Keinginan mereka hanya supaya umat Islam meninggalkan doktrin Islam yang benar dan mengikuti doktrin yang tidak benar. Demikian untung kaum Zindiq ini lebih mudah untuk meruntuhkan kejayaan Islam. Misalnya, antara golongan Amawiyah vs golongan ’Abbasiyah; tidak heran pada saat Khalifah ’Abbasiyah berkuasa, mereka golongan Amawiyah terus ditumpas.
3.       Fanatisme (ta’ashshub) terhadap bangsa, suku, negeri, bahasa, pimpinan dan keyakinan
Seperti, al-Khaththabiyah –kelompok yang menghalalkan dusta-. Asy-Syafi’i berkata, “Saya menerima kesaksian ahl al-ahwa (pengikut hawa nafsu), kecuali orang dari al-Khaththabiyah”, seperti Syi’ah Rafidhah yang banyak berdusta atas nama Nabi, sehingga al-Khaliliy berkata, “Syi’ah Rafidhah memalsukan hadits tentang ‘Ali bin Abi Thalib lebih dari 300 ribu hadits.”[4]
Misal lain,[5] golongan as-Su’ubiyah yang fanatik terhadap bahasa Persi mengatakan, “Bila Allah murka, maka Dia menurunkan wahyu dengan bahasa Arab dan apabila senang maka akan menurunkannya dengan bahasa Persi.”
“Ada empat kota yang termasuk kota-kota bagian dari surga: Makkah, Madinah, Bait al-Maqdis dan Damaskus.” “Dan empat kota yang termasuk bagian dari neraka: Konstatinopel, Thabraniah, Anthakiah dan Shan’a.” Ini misal dari fanatisme negeri.[6]
4.       Tukang cerita, mempengaruhi kaum awam dengan cerita dan nasihatnya
Misalnya, Muhammad bin Sa’id al-Masluh. Dia mengakui dengan lisannya bahwa setiap kali ia menemukan ucapan yang bagus, ia membuatkan sanad untuknya dan menisbahkan kepada Nabi s.a.w.[7]
5.       Perselisihan madzhab dan ilmu Kalam
Hal tersebut akibat didorong sifat fanatik yang ingin menguatkan pendapat madzhabnya masing-masing. Seperti riwayat-riwayat berikut ini:[8]
”Siapa yang mengangkat kedua tangannya dalam shalat, maka shalatnya tidak sah.” ”Yang junub wajib berkumur dan menghirup air tiga kali.” ”Semua yang ada di bumi dan di langit serta di antara keduanya adalah makhluk, kecuali Allah dan al-Qur’an...” 
6.       Menjilat penguasa (para sultan, raja, amir dan khalifah)
Diceritakan seseorang bernama Ghiyats bin Ibrahim an-Nakha’iy menghadap Khalifah al-Mahdiy al-‘Abbasiy, sedangkan dia sedang bermain burung mer-pati, lalu orang itu menyampaikan hadits, “Tidak ada perlombaan kecuali dengan memakai unta, berkuda atau anak panah.”[9] [ini hadits riwayat Abu Hurairah] lalu ia menambahkan, “atau pada janah (sayap)” demi mencari muka di depan khalifah dan meletakkan alasan syar’i yang mengizinkan permainannya. Lalu al-Mahdiy memberinya hadiah uang 10.000 dirham dan ketika ia pulang al-Mahdiy berkata, “Saya bersaksi bahwa tengkukmu adalah tengkuk ahli dusta.”[10] Lalu al-Mahdiy, minta diambilkan seekor merpati dan ia langsung menyembelihnya.[11]
Komentar atas cerita di atas, ‘Abd al-‘Aziz bin Muhammad bin ‘Abdullah as-Sadahan, ia mengatakan,[12] “Cerita ini masyhur, namun yang benarnya tidak terdapat matan dan sanad yang menuliskan cerita tersebut.” [yakni riwayat yang menambahkan kata janah]
7.       Membangkitkan gairah beribadat tanpa mengerti apa yang dilakukan
Misalnya,[13] Ghulam al-Khail, dikenal ahli Zuhud membuat hadits tentang keutamaan wirid dengan tujuan untuk melunakkan kalbu manusia. Begitu juga Nuh bin Abi Maryam membuat hadits-hadits yang berkenaan dengan fadilah membaca surat-surat tertentu dalam al-Qur’an.
Kedua, Pemalsuan Hadits Yang Tidak Disengaja
1.       Terjadinya kekeliruan atau kesalahan pada diri periwayat
Bagaimana pun seorang perawi yang tsiqah, bukannya tidak bisa terhindar dari kekeliruan. Bisa saja dia meriwayatkan perkataan sahabat atau selain mereka dan menganggapnya sebagai hadits Rasulullah. Terkadang praktek demikian dinamakan pemalsuan, terkadang juga dinamakan semi pemalsuan. Misalnya, ucapan Ibnu ’Abbas, ”Rasulullah s.a.w., menikahi Maimunah di saat sedang menjalankan ihram.”[14]
2.       Penyusupan hadits-hadits palsu dalam karya periwayat oleh orang lain tanpa sepengetahuannya
Misalnya, dinukil dari Ibnu ‘Adiy bahwa Ibnu Abi al-Awja’ merupakan me-nantu Hammad bin Salamah. Hammad sering memasukkan dalam kitab me-nantunya sejumlah hadits palsu.[15]
3.       Para ulama’ yang mempelajari hadits dari guru (syaikh) tertentu, kemudian mereka mengambil hadits yang lain dari guru yang sama, hanya saja mereka tidak langsung belajar darinya.[16]
4.       Mereka yang mempelajari sejumlah kitab dari beberapa orang tokoh, hanya saja mereka tidak menyalin apa-apa yang telah mereka pelajari pada saat itu. Kesalahan semacam ini umum terjadi pada abad ke-4 H.[17]
5.       Orang-orang yang tidak layak untuk mengajarkan hadits, seperti daya hafal kuat, menjaga kehati-hatian atau mempunyai sebuah kitab yang benar.[18]
6.       Para ulama’ yang melakukan perlawatan dalam mencari hadits dan telah diakui oleh para ahli hadits, hanya saja mereka telah kehilangan kitab-kitab yang mereka pelajari.[19]
7.       Para ahli ibadah yang dengan giat beribadah, tanpa sengaja melakukan ke-salahan dan mereka tidak memberikan porsi perhatian mereka yang cukup untuk mengkaji hadits, serta mereka selalu sibuk dengan kegiatan ibadah.[20]
Pada pembagian kedua [yang penulis maksud, pemalsuan hadits yang tidak disengaja], pada poin pertama dan kedua, penulis kutip tulisan Shalahuddin al-Adlabiy dalam Manhaj Naqd al-Matan ‘inda Ulama’ al-Hadits an-Nabawiy, sedang poin selanjutnya, yakni poin ketiga sampai ketujuh penulis kutip tulisannya M.M. al-A’zami. Perlu penulis dipahami lagi, bahwa para pemalsu hadits menisbahkan perkataannya kepada Nabi Muhammad, bukan tidak terdapat alasan [alasan-alasan mereka tersebut telah kita bahas sebelumnya]. Salah satunya bagi non-Muslim pembuatan hadits-hadits palsu, Karena didorong oleh keinginan merun-tuhkan Islam dari dalam.
Tulis M.M. al-A’zami dalam Studies in Hadith Methodology and Literature,[21] bahwa pemalsuan hadits yang disengaja, itu biasanya disebut hadits Mawdhu’, sedang pemalsuan hadits yang tidak disengaja, dikarenakan kekeliruan atau ke-kuranghati-hatian. Bentuk hadits seperti ini biasanya disebut hadits Bathil.
Perlu diketahui bersama bahwa menurut analisis Dr. As-Siba’iy, tahun 40 H., merupakan batas pemisah antara kemurnian sunnah dan kebebasannya dari kedustaan dan pemalsuan di satu pihak dan ada tambah-tambahan terhadap sunnah itu serta digunakannya sebagai alat untuk melayani berbagai kepentingan politik dan perpecahan internal Islam, setelah perselisihan antara ’Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah berubah menjadi peperangan dan banyak memakan korban jiwa, serta setelah orang-orang Muslim berpecah-pecah menjadi beberapa sekte atau golongan.[22]


[1] Secara sistematis uraian tentang hal ini dapat dibaca selengkapnya: al-Adlabiy, Manhaj Naqd al-Matan…terj., hlm. 41-55. ‘Abd al-‘Aziz bin Muhammad bin ‘Abdullah as-Sadahan, Ara’ Khati’ah wa…terj., hlm. 40-47. M. ’Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits..., hlm. 417-427. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, hlm. 201-208.
[2] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, hlm. 201.
[3] M. Syuhudi Isma’il, Pengantar Ilmu Hadits, hlm. 108.
[4] Ara’ Khati’ah wa…terj., hlm. 40.
[5] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, hlm. 184-185.
[6] Al-Adlabiy, Manhaj Naqd al-Matan…terj., hlm. 46.
[7] Ara’ Khati’ah wa…terj., hlm. 45.
[8] M. ’Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits..., hlm. 426. Bandingkan: ‘Abd al-‘Aziz bin Muhammad bin ‘Abdullah as-Sadahan, Ara’ Khati’ah wa…terj., hlm. 43-44. Al-Adlabiy, Manhaj Naqd al-Matan…terj., hlm. 45.
[9] Sunan Abi Dawud, Juz III, Kitab al-Jihad-Bab fi as-Sabq, hadits ke-2574, hlm. 29. Rawi-rawi hadits tersebut, Abu Hurairah – Nafi’ bin Abi Nafi’ – Ibn Abi Dzi’bin – Ahmad bin Yunus – Abu Dawud. Bunyi teks haditsnya:

ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻫﺮﻳﺮﺓ  ﻘﺎﻞ: ﻘﺎﻞ ﺮﺴﻮﻞ ﺍﷲ ﺼﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻮﺴﻠﻢ: ﻻ ﺴﺑﻖ ﺇﻻ ﻔﻲ ﺨﻒ ﺃﻭ [ﻔﻲ] ﺤﺎﻔﺮ ﺃﻭ ﻧﺻﻞ

Lihat maksud khuff, hafir dan nashl. Ash-Shan’aniy, Subul as-Salam Syarh Bulugh…, Juz IV, Kitab al-Jihad wa at-Targhib fi al-Ikhlash fihi-Bab as-Sabq wa ar-Ramyu, hadits ke-3, hlm. 71.
[10] Ara’ Khati’ah wa…terj., hlm. 41. Bandingkan: Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, hlm. 206. M. ’Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits..., hlm. 427. Manhaj Naqd al-Matan…terj., hlm. 47. Al-‘Iraqiy, Fath al-Mughits…, hlm. 123.
[11] Manhaj Naqd al-Matan…terj., hlm. 47.
[12] Ara’ Khati’ah wa…terj., hlm. 41.
[13] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, hlm. 187.
[14] Manhaj Naqd al-Matan…terj., hlm. 52.
[15] Manhaj Naqd al-Matan…terj., hlm. 53.
[16] M.M. Azami, Studies in Hadith Methodology…terj., hlm. 114.
[17] Studies in Hadith Methodology…terj., hlm. 114.
[18] Studies in Hadith Methodology…terj., hlm. 115.
[19] Studies in Hadith Methodology…terj., hlm. 115.
[20] Studies in Hadith Methodology…terj., hlm. 114.
[21] Studies in Hadith Methodology…terj., hlm. 111.
[22] Mushthafa as-Siba’iy, as-Sunnah wa Makanatuha…terj., hlm. 36. Selengkapnya uraian terkait sejarah pemalsuan hadits, lihat juga hlm. 36-44 nya.

Alat-Alat Yang Dipakai untuk Menuliskan Hadits-Hadits


Apa saja alat-alat yang digunakan pada masa itu, untuk menuliskan hadits-hadits yang ada pada mereka?... hal ini terlihat di masa sebelumnya zaman Nabi s.a.w., hadits-hadits ditulis dengan alat-alat sederhana, tidak jauh berbeda alat-alat yang digunakan di abad setelahnya, yakni abad ke-2 H. Ini jawabannya:[1]
1.       Az-Zuhriy. Dia selalu membawa kepingan-kepingan kayu dan lembaran-lembaran kertas apabila datang ke tempat guru-gurunya.
2.       Sufyan ats-Tsawriy. Pada waktu ia mendengar hadits dari ‘umar bin Dzar, ia lalu mengeluarkan kepingan-kepingan papan dan menulis hadits tersebut.
3.       Abu al-Walid at-Tayalisiy. Ia berkata, “Saya datang ke tempat Syu’bah dengan membawa kepingan-kepingan kayu. Apabila Syu’bah mengatakan ﺃﺧﺑﺮﻧﺎ, saya menulis huruf ‘kha’. Apabila Syu’bah mengatakan ﺴﻤﻌﺖ, saya menulis huruf ‘sin’. Dan apabila Syu’bah mengatakan ﺣﺪﺛﻨﺎ, saya menulis huruf ‘ha’. Dan setelah sampai di rumah, hadits-hadits itu saya salin kembali seperti semula.”
4.       ‘Abdu ash-Shamad. Ia menulis hadits dari Ayyub pada kepingan-kepingan kayu.
5.       Al-Hasan al-Bashriy. Ia berkata, “Barangsiapa datang ke tempat guru hadits, tetapi tidak membawa kepingan-kepingan kayu, maka tak ubahnya seperti orang yang datang ke medan perang tetapi tidak membawa senjata.”
Dari pendapat-pendapat di atas betapa sangat sederhana sekali para ulama’ hadits menggunakan alat-tulis pada masanya, dengan hanya mengandalkan kepingan-kepingan kayu lalu hadits yang ditulis pada kepingan-kepingan tersebut dihapus setelah disalinnya ke kertas.


[1] M.M. Azami, Studies in Early…terj., hlm. 502-503.

Metode Sahabat Menyampaikan Hadits Nabi s.a.w., serta Periwayat Setelahnya


Dalam kajian ini terdapat perbedaan antara al-Qur’an dan al-Hadits yang diterima oleh para sahabat lalu disampaikan kepada sahabat-sahabat lain. Kenapa berbeda? Hal ini melihat bahwa al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang kemudian disampaikan kepada Jibril melalui Nabi s.a.w., tentu apa yang diterima dan disampaikan haruslah sama dengan apa yang didengar para sahabat Nabi, lain hal dengan hadits-hadits, sahabat-sahabat Nabi menyampaikan hadits yang berasal dari Rasul tidaklah muthlaq harus sama, seperti al-Qur’an. Mengingat intelektual para sahabat yang berbeda.
Kenapa demikian? Apakah para sahabat ketika menghafal al-Qur’an tidak pernah dilupakan? Bagaimana dengan hadits apa sering lupa? Inilah keistimewa-an wahyu Ilahi yang pemeliharaannya orisinalis. Ditegaskan Allah dalam firman-Nya, surat al-Hijr: 9:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Quran dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”
Sebelum membahas persoalan di atas, kita dahulu telah membahas bagai-mana cara Rasul s.a.w., menyampaikan haditsnya, kemudian diterima langsung maupun tidak langsung kepada semua sahabat-sahabatnya, betapapun hal ini sangat urgen, tidak bisa ditutupi terdapat sabda-sabda Nabi s.a.w., yang diriwa-yatkan oleh para sahabat dengan kata-kata yang dimiliki oleh mereka sendiri ketika menyampaikannya kepada periwayat lain atau sahabat lainnya, hingga berujung pada periwayat terakhir dalam sanad yang menuliskan hadits tersebut. Sehubungan dengan hal ini, terdapat dua jalan periwayatan yang ditempuh oleh mereka, yaitu:
a.       Periwayatan bi al-Lafzhiy (teks ke teks)
Periwayatan secara lafal adalah periwayatan hadits yang redaksinya persis seperti yang diwurudkan oleh Rasulullah s.a.w., ini hanya bisa dilakukan apabila mereka benar hafal hadits yang disabdakan oleh Rasulullah.[1]
Kebanyakan para sahabat menempuh periwayatan hadits melalui jalan ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadits sesuai dengan redaksi dari Rasul s.a.w., dan bukan menurut redaksi mereka. Bahkan menurut Dr. M. ‘Ajaj al-Khathib,[2] seluruh sahabat menginginkan agar periwayatan hadits itu dilaku-kan dengan lafal bukan secara makna. Sebagian dari mereka secara ketat melarang meriwayatkan hadis dengan maknanya saja (maknawiy), bahkan mereka tidak membolehkan mengganti satu huruf atau satu katapun. Begitu pula mendahulukan susunan kata yang disebut Rasulullah belakangan atau sebaliknya meringankan bacaan yang tsiqal (berat) dan sebaliknya. Dan dalam hal ini ‘Umar bin al-Khaththab pernah berkata, “Barangsiapa yang mendengar hadits dari Rasulullah s.a.w., kemudian ia meriwayatkannya sesuai yang ia dengar maka ia akan selamat.”
Sebagian perawi bersikap ketat dalam mempertahankan lafal Rasul yang mereka dengar. Mereka tidak mau membaca ringan (tanpa syaddah) satu huruf yang bersyaddah, membaca dengan syaddah suatu huruf yang tidak bersyaddah dan mengganti harakat huruf-huruf yang mereka dengar. Mereka meriwayatkan persis seperti yang mereka dengar, sekalipun penggantiannya tidak mengubah arti.
Contoh mengenai hal di atas ialah kata ﻨﻤﻰ dalam hadits Rasulullah s.a.w.,

ﻠﻴﺲ ﺒﺎﻠﻜﺎﺫﺐ ﻤﻦ ﺃﺼﻠﺢ ﺑﻴﻦ ﺍﻠﻨﺎﺱ ﻔﻘﺎﻞ ﺧﻴﺭﺍ ﺃﻮ ﻨﻤﻰ ﺧﻴﺭﺍ

“Pendusta bukanlah orang yang mendamaikan antara manusia, kemudian ia berkata baik atau mengembangkan kebaikan.”[3]
Hammad bertutur, “Aku dengar hadits ini dari dua orang tokoh (perawi). Yang pertama mengatakan ﻨﻤﻰ ﺧﻴﺭﺍ meringankan (tanpa syaddah); dan yang lain mengatakan ﻨﻤﻰ ﺧﻴﺭﺍ memberatkan (dengan syaddah).”[4]
Bahkan sebagian perawi hadits dengan maksud mempertahankan lafal dari Rasulullah, tidak mau meriwayatkan hadits kepada para murid mereka kecuali jika mereka menulisnya karena tidak ingin mereka menghafalnya, karena takut mereka salah tanggap dan salah paham. Bukti mengenai hal ini ialah kabar yang diriwayatkan oleh al-Khathib al-Baghdadiy melalui sanad dari Ibnu ‘Uyainah. Ibnu ‘Uyainah berkata, “Muhammad bin ‘Amr berkata, “Tidak, demi Allah, saya tidak meriwayatkan hadits kepada kalian sehingga kalian menulisnya. Sungguh, saya takut kalian berdusta atas diriku.” Dalam riwayat dikatakan, “… saya takut kalian salah paham.”[5]
Penulis kutip disertasi M. ’Ajaj al-Khathib, contoh lain adalah berita yang di-riwayatkan oleh ar-Ramahurmuziy melalui sanadnya dari Thalhah bin ’Abd al-Malik. Berkata Thalhah, ”Saya datang kepada al-Qasim dan menanyainya terkait beberapa hal. Saya berkata, ’Apakah saya harus menulisnya?’ al-Qasim menjawab, ’Ya’. Lalu berkata al-Qasim kepada anaknya, ’Lihatlah tulisannya’. Ia tidak boleh sedikit pun menambahkah apa yang saya sampai-kan kepadanya. Thalhah berkata, ’Hai Abu Muhammad! Sesungguhnya jika saya hendak berdusta, saya tidak akan datang menemuimu.’ Al-Qasim ber-kata, ’Saya tidak bermaksud menuduhmu berdusta. Saya hanya khawatir jangan-jangan engkau menghilangkan sesuatu dan kemudian engkau meng-gantinya dengan sesuatu yang lain, yang menurutmu sama.’”[6] 
Tersebut dalam al-Kifayah, al-A’masy berkata, ”Ilmu ini dimiliki oleh banyak kaum, salah seorang dari mereka lebih menyukai terjatuh terjatuh dari langit daripada menambahkan di dalamnya huruf waw atau alif atau dal...”[7]
Di antara para sahabat yang ketat melakukan periwayatan harus dengan lafal yaitu ’Umar bin al-Khaththab, ’Abdullah bin ’Umar bin al-Khaththab dan Zaid bin Arqam. Walaupun demikian, mereka yang ketat berpegang pada peri-wayatan secara lafal itu tidaklah melarang secara eksplisit bagi sahabat lain meriwayatkan hadits secara makna. Nampaknya mereka paham, bagaimana-pun juga sulit sekali bagi mereka untuk meriwayatkan sabda-sabda Nabi itu dengan lafal secara keseluruhan.[8] Abu Bakar bin al-’Arabiy (w. 543 H.) berpendapat bahwa selain sahabat tidak boleh meriwayatkan hadits secara makna.[9]
Di samping itu, lanjut al-’Arabiy diperbolehkannya para sahabat meriwayat-kan hadits secara makna, karena mereka itu, [a] memiliki pengetahuan bahasa Arab yang tinggi (al-fashahah wa al-balaghah); dan [b] menyaksikan langsung keadaan dan perbuatan Nabi.[10]
Selain mereka para sahabat, di kalangan tabi'in terdapat juga sejumlah nama yang tidak memperkenankan riwayat secara makna saja. Mereka tersebut, al-Qasim bin Muhammad di Hijaz, Raja’ bin Haiwah di Syam, ‘Ali bin al-Madiniy dan Muhammad bin Sirin di Bashrah.[11]
b.       Periwayatan bi al-Ma’na (teks ke konteks)
Para sahabat lainnya berpendapat bahwa dalam keadaan darurat, karena tidak menghafal persis yang diwurudkan oleh Nabi s.a.w., diperbolehkan me-riwayatkan hadits berdasarkan maknanya. Periwayatan ma’nawiy adalah pe-riwayatan hadits yang matannya tidak sama dengan yang didengarnya dari Rasul s.a.w. Tetapi isi dan maknanya tetap terjaga secara utuh sesuai dengan dimaksud oleh Rasulullah s.a.w.[12]
Periwayatan hadits dengan makna mengakibatkan munculnya hadits-hadits yang redaksinya antara satu hadits dengan hadits yang lainnya berbeda-beda, meskipun maksud dan maknanya tetap selaras atau sama. Hal itu sangat bergantung kepada para sahabat atau generasi berikutnya yang me-riwayatkan hadits-hadits tersebut.
Pada umumnya para sahabat Nabi membolehkan periwayatan hadits secara makna. Tulis Shalahuddin al-Adlabiy,[13] kebolehan meriwayatkan hadits se-cara makna, diperkenankan bila mereka tahu bahwa makna itu bisa men-cakup lafalnya. Mereka itu misalnya, [14] ‘Abdullah bin Mas’ud, Abu ad-Darda’, Anas bin Malik, Abu Hurairah, ‘Aisyah Umm al-Mu’minin, ‘Amr bin Dinar, ‘Amir asy-Sya’biy, Ibrahim an-Nakha’iy, Ibnu Abi Najih, ‘Amr bin Murrah, Ja’far bin Muhammad bin ‘Ali, Sufyan bin ‘Uyainah dan Yahya bin Sa’id al-Qaththan.
Para sahabat Nabi s.a.w., dan para ulama’ salaf pada periode pertama telah melakukan periwayatan secara makna. Seringkali mereka mengemukakan suatu makna dalam suatu masalah dengan beberapa redaksi yang berbeda-beda. Terjadi hal demikian, karena mereka berpegang kepada makna hadits bukan kepada lafalnya.[15]
Ibnu ‘Aun menemukan tiga orang yang membolehkan periwayatan hadits secara makna, yaitu Hasan al-Bashriy, Ibrahim an-Nakha’iy dan ‘Amir asy-Sya’biy.
Mereka yang membolehkan periwayatan tersebut secara terpaksa meriwayat-kan sebagian hadits dengan kata-kata mereka sendiri. Mekipun begitu para sahabat melakukan dengan sangat hati-hati. Ibnu Mas’ud misalnya, ketika ia meriwayatkan hadits, ia menggunakan term-term tertentu untuk meguatkan penukilannya. Seperti dengan kata, qala Rasulullah s.a.w., hakadza (Rasul telah bersabda begini) atau nahwan atau qala Rasulullah s.a.w., qariban min hadza.[16] Perbedaan pandangan tentang periwayatan hadits secara makna itu terjadi juga di kalangan ulama’ sesudah zaman sahabat. Di samping itu juga, ulama’ yang membolehkannya, menekankan pentingnya pemenuhan syarat-syarat yang cukup ketat.[17]
Misalnya, hadits yang diriwayatkan oleh al-Bara’ bin ‘Azib bahwa Nabi s.a.w., pernah bersabda kepadaku: Apabila engkau hendak tidur berwudhu’lah terlebih dahulu, sebagaimana engkau (berwudhu’) hendak shalat, lalu ber-baringlah dengan menghadap ke arah kananmu, kemudian berdo’a:

ﺍﻠﻠﻬﻡ ﺃﺴﻠﻤﺖ ﻮﺠﻬﻲ ﺇﻠﻴﻚ  ﻮﻔﻮﺿﺕ ﺃﻤﺮﻱ ﺇﻠﻴﻚ  ﻮﺃﻠﺠﺄﺖ ﻅﻬﺮﻱ ﺇﻟﻴﻚ ﺮﻏﺑﺔ  ﻮﺮﻫﺒﺔ ﺇﻟﻴﻚ ﻻﻤﻟﺠﺄ ﻮﻻ ﻤﻨﺠﺎ ﻤﻨﻙ ﺇﻻ ﺇﻟﻴﻚ  ﺍﻠﻠﻬﻡ ﺃﻤﻨﺖ ﺒﻜﺘﺎﺑﻚ ﺍﻟﺫﻱ ﺃﻨﺰﻟﺖ ﻮﺒﻨﺒﻴﻙ ﺍﻟﺫﻱ ﺃﺮﺴﻟﺖ.[18].......

Kemudian saya membaca do’a seperti yang diajarkan Nabi kepadaku, hanya saja saya mengucapkan ﻮﺑﺮﺴﻮﻟﻙ (menggantikan ucapan ﻮﺑﻨﺒﻴﻙ). Mendengar hal itu, Nabi bersabda: “Bukan ﻮﺑﺮﺴﻮﻟﻙ tetapi, ﻮﺑﻨﺒﻴﻙ.” Kemudian Rasul ber-sabda: “Barangsiapa membaca do’a itu pada sebagian malam harinya, kemudian ia wafat maka ia wafat dalam keadaan fitrah (suci).”[19]
Dalam catatan Ahmad Syakir menukil pendapat al-’Iraqiy bahwa penggantian teks redaksi hadits di atas tidak ada argumen yang menerangkan padanya, karena lafal tersebut disebut tawqifiy. Begitu juga Ibnu ash-Shalah berpendapat penggantian lafal itu secara lahirnya tidak diperbolehkan, diperbolehkan riwayat bi al-ma’na tersebut jika tidak terdapat perselisihan atau perbedaan makna keduanya. Pendapat Ibnu ash-Shalah ini disetir oleh Ibnu Katsir.[20]
Sebagian ulama’ mengkaji secara panjang lebar argumen orang yang mem-perbolehkan riwayat secara makna ataupun orang yang melarangnya. Mayoritas ulama’ bersepakat bahwa perawi yang tidak mengetahui makna hadits yang di-riwayatkan, tidak boleh meriwayatkan hadits secara makna. Izin melakukan riwayat tersebut hanya berlaku bagi perawi yang mengetahui makna hadits yang diriwayatkannya selain ia harus memenuhi sejumlah persyaratan lain. Sebagai-mana sebelumnya telah disinggung adanya persyaratan.
Persyaratan yang dimaksud, yaitu pertama, para perawi harus mengetahui secara baik kosakata bahasa Arab yang mendalam, sehingga ia dapat mem-bedakan mana lafal yang mendukung makna hadis yang diriwayatkan dan mana yang tidak dan bahkan dapat membedakan secara cermat di antara lafal-lafal yang hampir sama dalalah-nya;[21] kedua, perawi benar-benar lupa lafalnya dan ingat maknanya sedang dia harus menyampaikan hukum yang dikandungnya [hal ini berlaku jika darurat];[22] ketiga, lafal hadits itu bukan lafal yang bersifat ta’abbud [seperti, bacaan shalat, dzikir, do’a, adzan, takbir dan syahadat] dan bukan merupakan doktrin yang prinsipil (jawami’ al-Kalim),[23] seperti hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah, Rasulullah s.a.w., bersabda: ﺍﻠﺤﺮﺐ ﺧﺫﻋﺔPerang itu siasat.”;[24] keempat, memang dimungkinkan untuk mengganti lafal dengan sinonimnya yang tidak akan membawa perbedaan definisi dari maksud lafal semula[25] [bila periwayat mengalami keraguan akan susunan matan hadits yang diriwayatkan, agar menambahkan kata-kata ﺃﻮ ﻜﻤﺎ ﻘﺎﻞ atau ﺃﻮ ﻨﺤﻮ ﻫﺬﺍ atau yang semakna dengannya, setelah menyatakan matan hadits yang semula[26]] hal semacam ini dilakukan oleh Ibnu Mas’ud, Anas bin Malik, Abu al-Darda’ dan sebagainya[27]; dan kelima, kebolehan periwayatan hadits secara makna hanya terbatas pada masa sebelum dibukukannya hadits-hadits Nabi secara resmi. Sesudah masa tadwin hadits dimaksud, periwayatan hadits harus secara lafal.[28] [Bahkan akhir-akhir ini telah ditetapkan larangannya periwayatan hadits dengan makna saja dalam praktek, meskipun secara teori sebagian ulama’ masih membolehkan. Oleh karenanya, sekarang tidak seorangpun boleh meriwayatkan hadits secara maknanya saja, kecuali untuk mengingatkan makna-makna hadits dalam majelis-majelis ta’lim dan semisalnya. Adapun ketika hendak berhujjah atau dipergunakan dalam bentuk karya-karya tulis, maka haruslah dengan lafal-nya.[29]]
Ketentuan atau persyaratan terakhir ini dikemukakan oleh kalangan ulama’ muta’akhkhirin. Sedang keempat ketentuan yang disebutkan pertama banyak di-singgung baik oleh kalangan ulama’ klasik maupun muta’akhkhirin.
Asy-Syafi’i menetapkan kriteria perawi itu, harus: [a] dapat dipercaya penga-malan agamanya; [b] dikenal orang jujur dalam menyampaikan berita; [c] me-mahami dengan baik hadits yang ia riwayatkan; [d] mengetahui perubahan makna hadits bila terjadi perubahan lafalnya; [e] mampu menyampaikan dengan baik riwayat hadits sesuai dengan hurufnya (secara lafal), seperti yang ia dengar, tidak secara makna. Sebab, jika ia meriwayatkan secara makna, sedang ia tidak mengetahui lafal yang dapat mengubah makna hadits, maka ia tidak mengetahui kemungkinan ia mengubah sesuatu yang hala menjadi haram [dan halal menjadi haram], sebaliknya, jika ia meriwayatkan hadits sesuai dengan huruf-hurufnya maka kemungkinan terjadinya perubahan makna dapat dihindari; [f] hafalannya terpelihara, bila ia meriwayatkan secara hafalan dan catatannya terpelihara, bila ia meriwayatkan melalui catatannya; [g] sama penyampaiannya, bila ia dapatkan dari orang lain; dan [h] terlepas dari penyembunyian cacat (tadlis).[30]
Ar-Ramahurmuziy menanggapi perkataan yang ditetapkan asy-Syafi’i di atas, sebagaimana dikutip oleh ’Ajaj al-Khathib, berkata ia (ar-Ramahurmuziy),[31] ”Perkataan itu menginginkan agar lafal atau teks hadits Rasulullah itu tetap diper-tahankan, menunjukkan kebolehan asy-Syafi’i terhadap perawi yang ingin meri-wayatkan hadits secara maknanya, bukan dengan teks atau lafal hadits.”
Perlu dipahami kembali, bahwa periwayatan hadits dengan makna yang di-perselisihkan para ulama adalah hadits qauliy (ucapan) Rasul s.a.w., yang diriwa-yatkan oleh para sahabat dengan maknanya saja, tidak sebagaimana dilafalkan oleh Nabi s.a.w. Dengan demikian dapatlah ditetapkan, bahwa periwayatan secara makna diperbolehkan hanya dalam keadaan darurat. Terlebih jika kita mengingat sikap wara’ sahabat dan tabi’in, kehati-hatian mereka dalam meriwa-yatkan berita; serta upaya mereka menghafal dan melakukan pembuktian ter-hadap hadits yang mereka dengar.
Selain itu, walau cukup ketat syarat-syaratnya, namun kebolehan itu mem-beri petunjuk bahwa matan hadits yang diriwayatkan secara makna telah ada dan bahkan banyak. Padahal, untuk mengetahui kandungan petunjuk hadits tertentu. Diperlukan terlebih dahulu mengetahui susunan redaksi (tekstual) dari hadits yang bersangkutan, khususnya yang berkenaan dengan sabda Nabi s.a.w.[32]
Perlu dipahami bahwa maksud riwayat bi lafzhiy (teks ke teks) dan riwayat bi al-ma’na (teks ke konteks), bukan menunjukkan sebuah pemahaman kepada kegiatan pensyarahan sebuah isi dari sabda Nabi s.a.w. [dilihat bahwa teks hadits itu harus dipahami dengan secara teks aslinya atau harus melihatnya kepada konteks pemahaman lain, bukan ini penulis maksud], akan tetapi sebuah term yang bila dibahasakan maksudnya adalah teks ke teks, di mana periwayatan yang dilakukan sahabat-sahabat Nabi diterimanya dan disampaikannya kembali sesuai dengan apa yang Nabi s.a.w., sabdakan; tidak ada unsur perobahan matan yang dilakukan oleh sahabat Nabi, sesuai dengan apa yang mereka pahami. Sedangkan maksud teks ke konteks, di mana seharusnya apa yang disabdakan Nabi s.a.w., itu sesuai dengan apa yang diterima, namun hal ini tidaklah demikian, para sahabat menggunakan perobahan makna sesuai dengan redaksi yang mereka pahami dan mengganti lafal-lafal tertentu atau sebagian lafalnya atau bisa saja secara keseluruhan lafal, sebagaimana contoh-contoh di atas.


[1] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, hlm. 83.
[2]  M. ‘Ajaj al-Khathib, as-Sunnah qabla…terj., hlm. 164.
[3] Sunan Abi Dawud, Juz IV, Kitab al-Adab-Bab fi Ishlah Dzat al-Bain, hadits ke-4920, hlm. 280-281. Tersebut dalam Kitab al-Kifayah: ﻠﻴﺲ ﻠﻜﺎﺫﺐ ﻤﻦ ﺃﺼﻠﺢ.... Al-Khathib al-Baghdadiy, Kitab al-Kifayah fi…, hlm. 180-181. Sunan at-Tirmidzi, Juz III, Kitab Abwab al-Birr-Bab Ma Ja-a fi Ishlah Dzat al-Bain, hadits ke-2004, hlm. 222-223. Redaksi haditsnya riwayat at-Tirmidzi ini bunyinya, ﻠﻴﺲ ﺒﺎﻠﻜﺎﺫﺐ ﻤﻦ...... ﺧﻴﺭﺍ ﻮ ﻨﻤﺎ ﺧﻴﺭﺍ.
[4] Kitab al-Kifayah fi..., hlm. 181.
[5] M. ‘Ajaj al-Khathib, as-Sunnah qabla…terj., hlm. 166-167.
[6] As-Sunnah qabla…terj., hlm. 167.
[7] Kitab al-Kifayah fi..., hlm. 178.
[8] Lihat selengkapnya: M. Syuhudi Isma’il, Kaedah Kesahihan…, hlm. 79.
[9] Shalahuddin bin Ahmad al-Adlabiy, Manhaj Naqd al-Matan ‘inda Ulama’ al-Hadits an-Nabawiy, Ita Qonita (ahli bahasa), Menalar Sabda Nabi, Menerapkan Metode Kritik Matan dalam Studi Sanad, M. Alaika Salamulloh (editor), Cet. 1, 2010, Insan Madani; Yogyakarta, hlm. 77.
[10] Kaedah Kesahihan…, hlm. 79.
[11] Manhaj Naqd al-Matan…terj., hlm. 77.
[12] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, hlm. 84.
[13] Manhaj Naqd al-Matan…terj., hlm. 77.
[14] M. ‘Ajaj al-Khathib, as-Sunnah qabla…terj., hlm. 170. M. Syuhudi Isma’il, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Cet. 1, 1992, Bulan Bintang; Jakarta, hlm. 20.
[15] Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd…terj., Juz I, hlm. 213.
[16] As-Sunnah qabla…terj., hlm. 170.
[17] Metodologi Penelitian Hadits..., hlm. 20-21.
[18] Shahih al-Bukhari, Juz I, Kitab al-Wudhu’-Bab Fadhl man Bata ‘ala al-Wudhu’, hlm. 71. Jalur periwayatan melalui al-Barra’ bin ‘Azib – Sa’d bin ‘Ubaidah – Manshur – Sufyan – ‘Abdullah – Muhammad bin Muqatil. Pada juz lain yakni Juz VIII, Shahih al-Bukhari juga meriwayatkan dalam Kitab ad-Da’awat-Bab Idza Bata Thahiran, hlm. 306-307. Jalur periwayatan melalui al-Barra’ bin ‘Azib – Sa’d bin ‘Ubaidah – Manshur – Mu’tamir – Musaddad. Matan hadits dari jalur ini menggunakan kata, ﻨﻔﺴﻲ pada kalimat Allahumma aslamtu nafsiy ilaika... Pada (Juz VIII) al-Bukhari meriwayatkan dalam Bab Ma Yaqulu Idza Nama, hlm. 307. Dengan jalur periwayatan melalui al-Barra’ bin ‘Azib – Abu Ishaq al-Hamdaniy – Syu’bah – Adam. Al-Bukhari juga menyampaikan kepada Sa’id bin ar-Rabi’ dan Muhammad bin ‘Ar’arah – Syu’bah – Abu Ishaq – al-Barra’ bin ‘Azib. Dalam teks hadits ini juga terdapat tambahan redaksi, ﻮﻭﺠﻬﺖ ﻮﺠﻬﻲ ﺇﻠﻴﻚ  setelah kalimat, ﻮﻔﻮﺿﺕ ﺃﻤﺮﻱ ﺇﻠﻴﻚ . Dalam riwayat al-Baghdadiy ialah, ......ﻤﻨﻙ ﺇﻻ ﺇﻟﻴﻚ ﺃﻤﻨﺖ ﺍﻠﻠﻬﻡ ﺃﺴﻠﻤﺖ...... ﻻﻤﻟﺠﺄ ﻮﻻ ﻤﻨﺠﻰ. Jalur periwayatannya melalui al-Barra’ bin ‘Azib – Sa’d bin ‘Ubaidah dan Abu Ishaq – Fathr bin Khalifah – Abu Nu’aim al-Fadhl bin Dakin – Hamid bin Sahl ats-Tsaghriy –  ‘Utsman bin Ahmad ad-Daqqaq –Muhammad bin al-Husain al-Qaththan. Al-Khathib al-Baghdadiy, Kitab al-Kifayah fi..., hlm. 175.
[19] Redaksi serupa melalui riwayat al-Baghdadiy, berbunyi: …Aku (al-Barra’) berkata dengan ucapan ﻮﺑﺮﺴﻮﻟﻙ. (mendengar ucapan ini), Nabi s.a.w., berkata, sambil tangannya diletakkan di dadaku ﻮﺑﻨﺒﻴﻙ. Sabdanya: “Maka barangsiapa mengucapkannya di sebagian malam harinya, lalu ia wafat, wafat dalam keadaan suci.” Kitab al-Kifayah fi..., hlm. 175.
[20] Isma’il bin ‘Umar bin Katsir, al-Ba’its al-Hatsits…, hlm. 105. Lihat catatan kakinya nomor 4.
[21] Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd…terj., Juz I, hlm. 215. Dalam hal ini al-Qadhiy Abu Bakar bin al-‘Arabiy, yakni Muhammad bin ‘Abdullah al-Ma’afiriy (w. 544 H.) mengatakan, “Sesungguhnya perbedaan ini hanya ada pada masa sahabat saja. Selain mereka tidak di-perbolehkan untuk meriwayatkan secara demikian (mengganti lafal dengan makna). Walau makna tersebut dianggap cukup. Karenanya pada masa saat ini banyak sekali pengutipan-pengutipan yang dilakukan seseorang dengan mengubah apa yang dikutip; dan menganti huruf dengan huruf lain semaunya sendiri. Kenapa para sahabat justru diperbolehkan? Karena ada dua sebab, pertama, kefasihan lidah dan kata-kata; kedua, mereka menyaksikan sendiri sabda dan perbuatan Nabi Muhammad s.a.w. Shubhiy ash-Shalih, ‘Ulum al-Hadits…, hlm. 83 dan 84.
[22] As-Sunnah qabla…terj., hlm. 171. M. ’Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits…, hlm. 251. Manhaj an-Naqd…terj., Juz I, hlm. 212.
[23] As-Sunnah qabla…terj., hlm. 173-174. Syarat ketiga ini sebagaimana M. ‘Ajaj al-Khathib mengutip pendapatnya as-Suyuthiy dan al-Mawardiy. M. Syuhudi Isma’il, Metodologi Penelitian Hadits..., hlm. 21.
[24] Shahih Muslim, Kitab al-Jihad wa as-Siyar-Bab 5, hadits ke-1740, hlm. 691.
[25] M. ’Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits…, hlm. 194
[26] M. Syuhudi Isma’il, Kaedah Kesahihan…, hlm. 80. Fath al-Mughits…, hlm. 262.
[27] Sebagimana dalam satu riwayat: diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud r.a., bahwa ketika ia meriwayatkan suatu hadits, ia berkata, ﺃﻮ ﺸﺒﻳﻪ ﺬﺍ ﺃﻭ ﻨﺤﻭ ﺬﺍ (atau serupa dengan ini atau seperti ini). Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd…terj., Juz I, hlm. 214.
[28] Kaedah Kesahihan…, hlm. 60.
[29] Manhaj an-Naqd…terj., Juz I, hlm. 214.
[30] Asy-Syafi’i, ar-Risalah…, Juz II, hlm. 370-371. Paragraf ke-1001.
[31] As-Sunnah qabla…terj., hlm. 171.
[32] Metodologi Penelitian Hadits..., hlm. 21.