Kamis, 28 Oktober 2010

ASPEK HERMENEUTIK KARYA TAFSIR AL-QUR’AN[1] Oleh: Hafidhuddin[2]

 
Tulis Islah Gusmian, ada dua macam ‘setidaknya’ dalam sejarah hermeneutika[3] tafsir al-Qur’an, yakni: (1) hermeneutik al-Qur’an tradisional –linguistik[4] dan riwayah (metodologinya)–; dan (2) hermeneutika al-Qur’an kontemporer –mandiri atau sistematis (metodologinya)–. Dalam hal ini juga dapatlah dilihat karya tafsir di Indonesia melalui dua dimensi penggalian yang bersifat paradigmatik[5], yaitu dengan tiga variabel: (1) metode penafsiran; (2) nuansa penafsiran; dan (3) pendekatan tafsir. Ketiga variabel tersebut akan dijelaskan pada pembahasannya.
1.      Metode Tafsir/Penafsiran
Definisi yang ditawarkan Islah Gusmian, ialah suatu perangkat dan tata kerja yang digunakan dalam proses penafsiran al-Qur’an. (red.) Ada dua aspek penting secara teoretik, yaitu aspek teks dengan problem semiotik[6] dan semantiknya; dan aspek konteks di dalam teks yang merepresentasikan ruang-ruang sosial-budaya yang beragam di mana teks itu muncul.
Bila dipetakan ada dua alur atau jalan metodologi yang dipakai, istilah ‘ulum al-Qur’an, yaitu metode tafsir al-ma’tsur (riwayat); dan metode tafsir ar-ra’yi (pemikiran). Penjelasan dari kedua metode tersebut ialah, sebagai berikut:
A.      Metode Tafsir Riwayat: Pemahaman Nabi s.a.w., Sebagai Acuan Tunggal
Dalam hal ini, Nabi Muhammad s.a.w., sebagai sumber, karena awal penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an telah dan sudah dilakukan Nabi s.a.w. Maka daripada itu muncul istilah ‘metode tafsir riwayat’. Tidak sebatas itu, metode tafsir riwayat dalam sejarah hermeneutik al-Qur’an klasik, merupakan suatu proses penafsiran al-Qur’an yang menggunakan data riwayat dari Nabi s.a.w.,  dan atau sahabat, sebagai variabel penting dalam proses penafsiran al-Qur’an. Dapat ditemukan dan dilihat pada literatur klasik, seperti Tafsir ath-Thabariy, Tafsir Ibnu Katsir.
Ada beberapa definisi yang ditawarkan oleh beberapa ulama’ untuk menerangkan arti trimonologi metode tafsir riwayat atau dikenal dengan tafsir riwayat, antaranya:
a.       Menurut az-Zarqaniy, ialah tafsir yang diberikan oleh ayat al-Qur’an, sunnah Nabi s.a.w., dan para sahabat; terdapat batasan, yakni tidak memasukkan tafsir yang dilakukan oleh para tabi’in.
b.       Menurut ash-Shabuniy, ialah model tafsir yang bersumber dari al-Qur’an, sunnah Nabi s.a.w., dan atau perkataan sahabat.
c.       Menurut pandangan ulama’ Syi’ah, ialah tafsir yang dinukil dari Nabi s.a.w.,  dan para Imam ahl al-bait, sedangkan dari sahabat tidak dikatakan sebagai hujjah.
Dari ketiga definisi yang ditawarkan di atas para ulama’ sendiri tidak ada kesepahaman tentang batasan tafsir riwayat ini. Menurut hemat penulis sementara, ialah sebuah tafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang datang (dalam artian sumbernya) dari penjelasan al-Qur’an itu sendiri sebagai alat pemunasabahan ayat, dari sunnah Nabi s.a.w., sebagai mubayyin dan penjelasan para sahabatnya. Terlepas semua itu dari pembenaran pendapat, perdebatan maupun perbedaan yang muncul dikemudian.
Masalah yang timbul jika didapatkan dalam sebuah karya tafsir, terdapat penjelasan ulama’ dalam metodologinya itu merupakan penafsiran mereka terhadap ayat-ayat al-Qur’an, bukan sebagai sumber datangnya sebuah periwayatan tafsir. Pendek kata merupakan hasil intelektualisasi seorang mufassir.
Coba kita lihat di Indonesia pada era tahun 90-an (1990), metode yang digunakan oleh para pakar tafsir di Indonesia sama dengan apa yang telah dijelaskan di atas, yaitu mereka (mufassir Indonesia) memanfa’atkan data riwayat, pada satu variabel saja dalam menjelaskan maksud ayat, namun tidak menjadi variabel utama.
Salah satu contoh, misalnya M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Qur’an al-Karim-nya menjelaskan makna ﺍﻠﺿﺎﻠﻴﻦ (orang-orang yang sesat) pada Q.S. al-Fatihah: 7, dia mengutip dari hadits atau riwayat Nabi s.a.w., tentang maksud ayat itu, yakni orang-orang yang sesat tersebut adalah orang Nashrani. Tanpa menolak pemaknaan yang diberikan Nabi s.a.w., terhadap terma ini, M. Quraish Shihab menegaskan bahwa yang dijelaskan oleh Nabi s.a.w., sekedar contoh orang-orang yang dinilai sesat dan juga terdapat pada masanya (masyarakat pada saat itu). Kembali menegaskan apa yang dimaksud dari kata ﺍﻠﺿﺎﻠﻴﻦ (adh-dhallin) menurutnya dapat dirumuskan setalah melihat konteks penggunaan kata tersebut di dalam al-Qur’an.
Secara umum rujukan terhadap data riwayat semacam ini, dipakai para penulis tafsir di Indonesia, dalam tafsir bi al-ma’tsur tidak semacam ini, lebih diorientasikan penggunaanya sebagai salah satu variabel dalam rangka membangun pengertian secara konseptual dan komprehensif dari sebuah terma yang dikaji.
B.      Metode Tafsir Pemikiran: Intelektualitas Sebagai Dasar Tafsir
Penafsir berusaha menjelaskan pengetian dan maksud suatu ayat berdasarkan hasil dari proses intelektualisasi dengan langka epistemologis[7] yang mempunyai dasar-pijak pada teks dengan konteks-konteksnya, ungkap Islah Gusmian. Artinya, yang dibangun dalam tafsir pemikiran ini adalah aspek teoretis penafsiran, bahwa memahami teks al-Qur’an, sejatinya tidak lepas dari kesadaran pengetahuan ilmiah untuk meletakkannya pada strukturnya sebagai bahasa yang mempunyai struktur historis dengan wacana-wacana yang dipakai dan budaya masyarakat yang menjadi audiensnya.
Ada dua variabel pokok dalam metode ini, pertama, variabel sosio-kultural, di mana teks al-Qur’an muncul dan diarahkan pertama kali. Meliputi persoalan geografis, psikologis, budaya dan tradisi masyarakat; dan kedua, struktur linguistik teks, meliputi analisis semantik dan semiotik; dipaparkan juga metode tafsir ilmiah.
Pokok penjelasan variabel-variabel yang terkait, yaitu:
a.       ANALISIS SOSIO-KULTURAL: Melihat al-Qur’an dari Medan Sosial dan Budaya
Dapat dipahami bahwa teks al-Qur’an lahir dalam sejarah umat manusia (masyarakat ‘Arab). Analisis sosio-kultural terhadap teks Kitab Suci ini menjadi penting dalam rangka memberikan pemahaman yang lebih sesuai. Ada tiga wilayah, yakni: 1) wilayah geografis di mana suatu masyarakat yang menjadi audiens pertama al-Qur’an itu berada; 2) psikologis; dan 3) tradisi yang berkembang di dalamnya. Sebagaimana yang telah disinggung di atas. Dalam hermeneutik al-Qur’an kontemporer, keterkaitan antara struktur triadik: teks, penafsir dan audiens sasaran teks, kemudian menjadi wilayah penting yang harus dipertimbangkan.
Seperti di beberapa entri, yaitu dalam menguraikan entri ﻋﺑﺪ (‘abd). Kata ﻋﺑﺪ (‘abd) ini, sudah ada sebelum al-Qur’an hadir, hal ini menunjukkan bahasa sebagai salah satu bagian budaya manusia, juga merepresentasikan ide-ide dari kebudayaan yang sedang berkembang pada saat di mana sebuah terma diproduksi.
Secara umum, tafsir di Indonesia dasawarsa 90-an yang ditulis dengan penyajian tematik, lebih khusus lagi yang lahir dari kepentingan akademik menempatkan aspek kesejarahan menjadi salah satu aspek penting dalam proses tafsir. Sedangkan karya tafsir yang ditulis dengan penyajian runtut yang cukup kuat mengeksplorasi aspek kesejarahan terlihat pada Tafsir al-Misbah.
b.       ANALISIS SEMIOTIK: Lewat Bahasa Menangkap Makna
Menurut Abu Zaid, bahasa mengandung aturan-aturan konvensional kolektif[8] yang bersandar pada kerangka kultural. Teks sebagai sebuah pesan ditujukan kepada masyarakat yang mempunyai kebudayaannya sendiri, konsepsi-konsepsi mental dan kepercayaan kulturalnya sendiri. Konteks percakapan (siyaq al-takhatub) yang diekspresikan dalam struktur bahasa (bunyah lughawiyyah) berkaitan dengan hubungan antara pembicara dan patner bicara, yang mendefinisikan karakteristik teks pada satu sisi dan otoritas tafsir pada sisi lain.
Dalam prespektif semiotik, bahasa adalah penanda (signified) yang terkait dengan yang ditandai (signifer). Bagi Ferdinand de Saussure, seorang ahli linguistik, bahasa sebagai sistem tanda (sign) itu hanya dapat dikatakan sebagai bahasa atau berfungsi sebagai bahasa, bila mengekspresikan atau menyampaikan ide-ide atau pengertian-pengertian tertentu.  Dibaginya menjadi dua, yaitu: 1) associative (gaya bahasa yang menyatakan sesuatu dengan menyebutkan sifat benda yang menggambarkan hal yang dibicarakan); dan 2) syntagmatic (hubungan yang dimilikinya dengan kata-kata yang dapat berada di depannya atau di belakangnya dalam sebuah kalimat atau bisa antar dua kata, di mana kata pertama muncul sebagai subjek bagi kata kedua). 
Dasawarsa 90-an bentuk tafsir di Indonesia bersifat analisis semiotik. Salah satu contohnya ialah tentang arti kata ﺍﻠﺪﻴﻦ ﻴﻮﻢ dalam Q.S. al-Fatihah: 4, M. Quraish Shihab menguraikan kata ﻴﻮﻢ dalam komunikasi sehari-hari berarti ‘hari’. Lain hal dengan bahasa al-Qur’an, kata ﻴﻮﻢ dalam al-Qur’an berarti ‘waktu’ atau ‘periode’. Kata ﻴﻮﻢ ini juga membentuk relasi sintagmatis yang menentukan kata selanjutnya, yaitu ﺍﻠﺪﻴﻦ. Dalam konteks ayat ini kata ﺍﻠﺪﻴﻦ berarti ‘pembalasan’ atau ‘perhitungan’, karena pada ‘hari’ itu, terjadi perhitungan dan pembalasan Allah s.w.t. Ini merupakan salah satu bagian dari beberapa contoh yang dikemukakan oleh Islah Gusmian dalam bukunya.
c.       METODE SEMANTIK: Menangkap Pandangan Dunia al-Qur’an
Pada mulanya metode ini dipopulerkan oleh Toshihiko Izutsu. Secara etimologisnya, semantik merupakan ilmu yang berhubungan dengan fenomena makna dalam pengertian yang lebih luas dari kata. Semantik dalam pengertian ini, bagi Toshihiko Izutsu merupakan kajian tentang sifat dan struktur pandangan dunia sebuah bangsa saat sekarang atau pada periode sejarahnya yang signifikan, dengan menggunakan alat analisi metodologis terhadap konsep pokok yang telah dihasilkan untuk dirinya sendiri dan telah mengkristal ke dalam kata kunci bahasa itu.
Artinya, konteks internal al-Qur’an, juga berkaitan dengan “ketakintegralan” struktur teks al-Qur’an dan pluralitas wacananya. Ketakintegralan ini terjadi karena adanya perbedaan antara: 1) urutan teks (tartib al-ajza’); dan 2) urutan pewahyuan (tartib an-nuzul).
Dalam karya tafsir di Indonesia dasawarsa 90-an, dalam perkembangannya metode ini di Indonesia merupakan satu metode signifikan. Selanjutnya metode ini semakin diminati/digemari para peminat studi al-Qur’an. Misalnya dalam Tafsir al-Qur’an al-Karim, terhadap karyanya ini M. Quraish Shihab membedakan arti ﺃﻨﺯﻠﻨﺎ (anzalna) dengan ﻨﺯﻠﻨﺎ (nazzalna) yang biasa diterjemahkan ‘kami telah turunkan’. Kata pertama mempunyai arti ‘menurunkan sedikit demi sedikit’ sedangkan kata kedua mempunyai arti ‘menurunkan secara sekaligus’. Di sini terlihat bahwa al-Qur’an membangun pandangan dunianya sendiri. (red.)
d.       METODE SAINS ILMIAH: Relevansi al-Qur’an dengan Perkembangan Teknologi Sains Ilmiah
Tulis Islah Gusmian, tafsir ilmiah adalah pemahaman atas teks al-Qur’an dengan menggunakan data hasil observasi ilmiah sebagai variabel penjelas. Model demikian bukanlah hal baru, dapat dilihat pada al-Jawahir-nya Thanthawi Jauhari yang mana kitab tafsir ini berbagai data ilmiah digunakan sebagai variabel untuk atau dalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an.

Terlepas dari penjelasan di atas, di Indonesia misalnya Radiks Purba dalam kitab-nya Memahami Surat Yasin. Dia menguraikan (menafsirkan) ayat 37-38, tentang pergantian siang-malam dengan mengutip hasil observasi pakar antariksa, lafazh ayatnya: 

   ﻮﺀﺍﻴﺔ ﻟﻬﻢ ﺍﻟﻴﻝ ﻨﺴﻟﺦ ﻤﻨﻪ ﺍﻟﻨﻬﺎﺭ ﻔﺈﺫﺍ ﻫﻡ ﻤﻇﻟﻤﻮﻦ . ﻭﺍﻟﺷﻤﺲ ﺘﺠﺭﻯ ﻟﻤﺳﺘﻘﺭﻟﻬﺎ ۚ ﺫﻟﻚ ﺘﻘﺪﻴﺭ ﺍﻟﻌﺯﻴﺯ ﺍﻟﻌﻟﻴﻡ .

... yang memberikan kesimpulan bahwa bumi beredar mengelilingi matahari melalui garis edar berbentuk ellips dengan jarak rata-rata 149,6 juta km dari matahari. Gerakan bumi mengelilingi matahari ini disebut revolusi dengan kecepatan rata-rata 18 mil/detik (30 km/detik). Selain berevolusi, bumi juga berputar pada sumbunya dengan kecepatan sekitar 1.000 mil/jam. Rotasi bumi pada sumbunya membentuk sudut 23,5° dengan garis tegak lurus pada bidang edar bumi. Bumi berputar pada sumbunya sambil mengelilingi matahari. Maka secara bergantian permukaan bumi menghadap ke matahari. Permukaan bumi yang menghadap matahari menjadi terang disinari oleh cahaya matahari, sedangkan permukaan bumi yang membelakangi matahari menjadi gelap, karena tidak mendapat cahaya matahari ...
Sains ilmiah sebagai variabel utama untuk menjelaskan pengertian dari suatu ayat. Setidaknya tafsir semacam ini ada dua model: 1) teks al-Qur’an sebagai alat justifikasi (pertimbangan; alasan), memberikan isyarat mengenai ilmu alam, sains, teknologi dan seterusnya; dan 2) penemuan sains ilmiah dijadikan variabel penguat bahwa al-Qur’an memanglah ilmiah (ilmiah dalam kajiannya). red. Penulis bisa katakan bahwa al-Qur’an bukanlah kitab ilmiah, dalam tulisnya Gusmian menekankan al-Qur’an bukanlah buku sains ataupun teknik. Pendek kata upaya al-Qur’an untuk berdialog dengannya.
C.      Metode Intrateks
Dekade 90-an literatur tafsir di Indonesia hampir tidak terlepas dari intrateks. Proses intrateks ini bisa tampil dalam dua bentuk, yaitu:
a.       Teks-teks lain yang ada di dalam teks tersebut diposisikan sebagai anutan dalam proses tafsir, sehingga fungsinya sebagai penguat; dan
b.       Teks-teks di dalam teks tersebut diposisikan sebagai tekas pembanding atau bahkan sebagai objek kritik untuk memberikan suatu pembacaan baru, yang menurutnya  lebih sesuai dengan dasar dan prinsip epistemologis yang bisa dipertanggungjawabkan.
Sebagai contohnya model yang kedua di atas, bisa dilihat pada Tafsir al-Qur’an al-Karim karya M. Quraish Shihab. Ditemukan dalam kitab tafsir ini teks ‘Abduh, Abu Hayyan, al-Alusi dan Bint asy-Syathi’ dalam penjelasannya terhadap kata ﻜﻼ (kalla) pada Q.S. al-‘Alaq: 6, teks-teks tafsir yang dirujuk sebagai objek kritik bukan penguat.
Dibaginya menjadi empat arti: 1) ancaman, apabila konteks ayatnya terdapat seseorang atau kelompok yang wajar mendapat ancaman. Sering diartikan ‘hati-hatilah’ (Q.S. at-Takatsur: 3); 2) menafikan pembicaraan sebelumnya, biasanya diartikan ‘bukan demikian’ (Q.S. asy-Syu’ara’: 61); 3) membenarkan pembicaraan sebelumnya, khususnya bila berkaitan dengan sumpah, diartikan ‘benar’ (Q.S. al-Mudatstsir: 32); dan 4) sebagai pembuka pembicaraan, diartikan ‘ketahuilah’. Inilah empat arti kata ﻜﻼ (kalla) menurut M. Quraish Shihab.
Setelah memaparkan keempat arti kata tersebut, ia mengutip pendapat kedua pakar tafsir (Abu Hayyan dan al-Alusi) menyatakan ayat tersebut merupakan ancaman atas dasar bahwa dalam kandungannya tersirat ancaman bagi manusia yang melampaui batas. Selanjutnya M. Quraish Shihab menyatakan pendapat kedua pakar tafsir tersebut kuranglah beralasan, karena uraiannya terletak pada suatu potensi negatif manusia, ayat sebelumnya menerangkan sisi positif serta jati diri sebagai makhluq sosial. Kutipannya (M. Quraish Shihab) kembali menegaskan, semua kata ﺍﻹﻨﺴﺎﻦ (dalam bentuk ma’rifat) yang termaktub di dalam al-Qur’an bermakna seluruh manusia, terlepas apakah pada mulanya ia turun ditujukan kepada orang atau kelompok tertentu atau tidak. Demikian dikutipnya melalui Bint asy-Syathi’.
Intinya bahwa metode intrateks ini merupakan fenomena umum dalam tafsir di Indonesia dasawarsa 90-an. sejauh langkah yang dirumuskan bisa dipertanggungjawabkan dan juga sebagai langkah pengkopian gagasan, akan terlihat sendirinya warna tersebut di dalam karya tafsir.
2.      Nuansa Penafsiran[9]
A.      Nuansa Kebahasaan
Sesungguhnya ketika al-Qur’an diwahyukan dan dibaca oleh Nabi s.a.w., ia telah tertransformasi dari sebuah teks Ilahi (nashsh Ilahi) menjadi sebuah konsep (mafhum) atau teks manusiawi (nashsh insani). sebab, secara langsung berubah dari wahyu (tanzil) menjadi interpretasi (ta’wil). Dari sini makna-makan yang dikonsepsikan harus dilihat dari konteks bahasa di mana bahasa tersebut dipaki, yaitu ‘Arab. Dalam konteks ini, analisis bahasa menjadi signifikan.
 Langka di atas dalam hermeneutik merupakan bagian dari pokok kerja interpretasi. Secara umum, karya tafsir di Indonesia dasawarsa 90-an sebagai variabel penting yaitu bidang analisis kebahasaan. Hal ini nampak pada lima karya tafsir di Indonesia, yakni: 1) Memahami  Surat Yasin; 2) Tafsir Juz ‘Amma Disertai Asbabun Nuzul; 3) Tafsir bil Ma’tsur; 4) Ayat Suci dalam Renungan; dan 5) Tafsir al-Hijr
Dari kesemua kitab-kitab tafsir yang dituliskan di atas, ada kitab yang sangat dominan nuansa kebahasaannya, yaitu Tafsir al-Qur’an al-Karim karya M. Quraish Shihab. Seperti contoh yang ditulisnya dalam menafsirkan Q.S. al-Fatihah: 1, yaitu:
Huruf (ba’) pada ayat ini diartikan ‘dengan’. Menurutnya menyimpan suatu makna yang tidak terucapkan, tetapi terlintas di dalam benak ketika mengucapkannya. Huruf (ba’) berarti ‘memulai’, sehingga makna yang terkandung di dalamnya “saya atau kami memulai dengan nama Allah”. Demikian kalimat tersebut semacam menjadi do’a atau pernyataan dari pengucap. Setelahnya, kata ﺇﺴﻡ (ism) terambil dari kata ﺍﻠﺴﻤﻭ (as-sumuww) berarti ‘tinggi’ atau ﺍﻠﺴﻤﻪ (as-simah) berarti ‘tanda’. Jadi, kalau di sini dikatakan “dengan nama Allah”, maka itu berarti “dengan Allah”.
Selanjutnya kata ﺍﷲ, ada yang menganggap kata ini berakar dari ﻭﻠﻪ (walaha) berarti ‘mengherankan’, pendapat lain terambil dari kata ﻴﺄﻠﻪ - ﺍﻠﻪ (aliha-ya’lahu) berarti ‘menuju’ dan ‘memohon’. Demikian kata ﺍﻠﻪ (ilah), bermakna semua objek sesembahan; sedangkan kata ﺍﷲ bermakna atau dan dinamakan demikian itu, oleh karena Dia dzat yang wajib disembah.
Seterusnya kata ﺍﻠﺮﺤﻤﻦ (ar-rahman) dan ﺍﻠﺮﺤﻴﻡ (ar-rahim). Kedua kata tersebut diambil dari akar kata yang sama, yaitu ﺮﺤﻡ (rahmun) berarti peranakan atau kandungan. Kata pertama, ﺍﻠﺮﺤﻤﻦ (ar-rahman) digambarkan bahwa Allah mencurahkan rahmat-Nya; sedangkan kata kedua, ﺍﻠﺮﺤﻴﻡ (ar-rahim) digambarkan bahwa Dia memiliki sifat rahmah yang melekat pada diri-Nya. Ulama’ memahami kata ﺍﻠﺮﺤﻤﻦ sebagai sifat rahmat; seluruh makhluq di dunia yang sementara. Pola kata, seperti ﺮﺤﻤﺎﻦ (rahman), ﺘﺑﻌﺎﻦ (tab’an) dsb., yang mengandung makna ‘kesementaraan’. Sedangkan kata ﺍﻠﺮﺤﻴﻡ rahmat-Nya yang kekal di akhirat. Pola kata ﻋﻈﻴﻡ (‘azhim), ﻜﺮﻴﻡ (karim) dsb., kesemuanya memberi kesan kelanggengan. Tulis Gusmian bahwa baik dalam penyampaian ini, namun membuat pembaca kesulitan dalam memahaminya.
B.      Nuansa Sosial-Kemasyarakatan
Muhammad ‘Abduh pernah mengatakan bahwa pada hari akhir nanti Allah tidak menanyai manusia mengenai pendapat para mufassir, akan tetapi Ia akan menanyakan kepada kita tentang kitab-Nya yang Ia wahyukan untuk membimbing dan mengatur manusia. Disimpulkan oleh J.J.G. Jansen terhadap pernyataan ini, jelas pendapat ‘Abduh memberikan gambaran untuk membiarkan al-Qur’an berbicara sebagai al-Qur’an itu sendiri.
 Terhadap judul yang dibahas ini adalah tafsir yang menitikberatkan penjelasan al-Qur’an dari 1) segi ketelitian redaksinya; 2) menyusun kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi dengan tujuan utama memaparkan tujuan-tujuan al-Qur’an, aksentuasi (penekanan) yang menonjol pada tujuan utama yang diuraikan al-Qur’an; dan 3) menafsirkan ayat dikaitkan dengan sunnatullah yang berlaku dalam masyarakat.
Dasawarsa 90-an literatur tafsir di Indonesia bernuansa sosial-kemasyarakatan dengan berbagai metode yang digunakan. Seperti Tafsir bil Ma’tsur yang ditulis Jalal, nuansa sosial-kemasyarakatan ditampilkan sangat ekspresif (mampu memberikan gambaran, maksud) dan memikat. Mensosialisasi pesan-pesan dalam al-Qur’an dengan gaya bahasa yang memikat. Tanpa terjebak pada kerumitan dan perdebatan para ulama’, yang kadang justru menyulitkan pembaca, di setiap entri yang dipaparkan selalu mengusung pesan-pesan moral.
Hal serupa ditempuh empat tafsir lain, dengan sistematika penyajian klasik, yaitu: 1) Tafsir al-Hijr; 2) Memahami  Surat Yasin; 3) Tafsir Juz ‘Amma Disertai Asbabun Nuzul; dan 4) Hidangan Ilahi. Kecuali Hidangan Ilahi. Ketiga buku ini menggunakan bentuk penyajian global dan menghindari uraian yang rumit dan subtil (perbedaan yang tidak kentara).
Selanjutnya ada tiga buku tafsir, penyajian runtut sesuai urutan surat yang selalu menekankan bagaimana nilai al-Qur’an tersosialisasi di tengah kehidupan sosial masyarakat, yaitu: 1) al-Qur’an dan Tafsirnya; 2) Tafsir al-Misbah; dan 3) Ayat Suci dalam Renungan.
Yang terakhir, sembilan kitab tafsir yang temanya beragam dengan sistematika tematik. Yang pertama terbagi menjadi dua kitab tafsir, yaitu: 1) Ahlu al-Kitab, Makna dan Cakupannya; dan 2) Tafsir Tematik al-Qur’an Tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama. Pembicaraannya pada masalah pola relasi antarumat beragama, fokus pembicaraan masalah ahlu al-kitab. Yang kedua terbagi menjadi tiga kitab tafsir, yaitu: 1) Tafsir bil Ra’yi; 2) Tafsir Kebencian; dan 3) Argumen Kesetaraan Jender. Variabel utamanya dari ketiga kitab tafsir tersebut ialah: a) analisis kebahasaan; b) sosio-historis teks; dan c) interteks. Yang ketiga terbagi menjadi dua kitab tafsir, yaitu: 1) Ensiklopedi al-Qur’an; dan 2) Wawasan al-Qur’an. sistematika penyajian tematik plural; banyak tema yang dikemukakan. Yang keempat terbagi menjadi satu, yaitu: Memasuki Makna Cinta. Penyajian tematik singular, cinta dalam konteks ini, yakni: a) cinta terhadap diri sendiri; b) antar sesama manusia; c) cinta dalam rumah tangga; dan d) antar kerabat. Prinsipnya ketauhidan, ketaqwaan, kebaikan, keadilan dan tawakal. Yang kelima ada satu kitab tafsir, yaitu: Dalam Cahaya al-Qur’an dengan penyajian tematik plural, dirancang memberikan warna konteks sosial politik di Indonesia.
C.      Nuansa Teologis
Dengan adanya metode rasional, sehingga tafsir dengan begitu mudah diletakkan pada kehendak pembelaan terhadap paham-paham tertentu yang berkembang pada saat itu. Maksud judul di atas ialah berbeda denga apa yang terjadi sebagaimana dalam sejarah teologi klasik di atas, di mana berbagai paham teologi menjadi variabel penting di dalam menafsirkan al-Qur’an.
Ada empat tafsir terkait dalam tema ini, yaitu: 1) Konsep Perbuatan Manusia Menurut al-Qur’an; 2) Konsep Kufur dalam al-Qur’an; 3) Menyelami Kebebasan Manusia; dan 4) Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam al-Qur’an
Misalnya dalam buku Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam al-Qur’an, terma ini diangkat karena kesatuan kesadaran manusia yang membentuk pusat kepribadiannya tidak pernah dengan sungguh-sungguh menjadi perhatian di dalam sejarah Islam.
Dalam buku ini, posisi manusia dalam dua hal, yaitu sebagai khalifah bekerja dengan akalnya. Dalam hal ini hakikatnya pembentuk kebudayaan dan kebudayaannya sebagai eksistensi khalifah adalah ‘amal. Dan sebagai ‘abd yang tunduk dan patuh.
D.      Nuansa Sufistik
Pengertiannya adalah sebagai suatu tafsir yang berusaha menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur’an dari sudut esoterik (rahasia, terbatas) atau berdasarkan isyarat-isyarat tersirat yang tampak oleh seorang sufi dalam suluk[10]-nya.
Terdapat dua corak, dalam hal ini: 1) Tashawuf Nazhariy (teoritis); dan 2) Tashawuf ‘Amaliy (praktis) atau dikenal dengan Tafsir Isyariy. Ada empat yang menjadi syarat Tafsir Isyariy ini bisa diterima, menurut ahli tafsir yaitu: 1) tidak bertentangan dengan lahir ayat; 2) mempunyai dasar rujukan dari ajaran agama yang sekaligus berfungsi sebagai penguatnya; 3) tidak bertentangan dengan ajaran agama dan akal; dan 4) tidak menganggap penafsiran model ini paling benar, sesuai yang dikehendaki Allah.
Contohnya, Q.S. ar-Rahman: 19 bunyinya: ﻴﻟﺗﻘﻴﺎﻦ ﺍﻟﺑﺤﺭﻴﻦ ﻤﺭﺝ (Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu). Dua laut maksudnya lautan substansi raga yang asin dan pahit; dan lautan ruh yang murni, yang tawar dan segar, keduanya itu saling bertemu di dalam wujud manusia. Demikian penafsiran Muhyiddin Ibnu ‘Arabi (w. 638 H.). Ia merupakan tokoh dalam corak tafsir ini menurut ‘Ali al-Ausiy. Sebetulnya tafsir sufi ini sangat terkait dengan ta’wil[11].
Di Indonesia misalnya kitab Tafsir Sufi al-Fatihah karya Jalal, merujuk as-Suyuthi bahwa ta’wil pertama berhubungan dengan ayat mutasyabihat; dan kedua berhubungan dengan semua ayat al-Qur’an, baik makna batiniah maupun makna lahiriah. Inilah yang lazim dipergunakan dalam tafsir sufi. Jalal ingin menghapus kesan negatif terhadap tafsir sufi yang terjadi selama ini. Ia mengutip Sayyid Haidar al-Amuliy, ditegaskannya bahwa ayat-ayat mutasyabihat bagaimanapun butuh ta’wil. Tanpa ta’wil kita akan terjerumus kepada keyakinan yang sesat.
Contoh yang ia berikan, Q.S. al-Qalam: 42 bunyinya: ﺴﺎﻖ ﻋﻦ ﻴﻛﺷﻑ ﻴﻮﻡ (pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak mampu). Kata ﺴﺎﻖ maknanya ‘betis’. Ini penafsiran yang sesat, sesuai apa yang telah dijelaskan di atas. Jalal lalu memberikan makna lain pada kata ﺴﺎﻖ dengan pengertian ‘kesulitan atau situasi kritis yang membuat orang panik’. Seperti ungkapan: ﺴﺎﻕ ﻋﻟﻰ ﺑﻨﺎ ﺍﻟﺣﺭﺏ ﻘﺎﻤﺕ (peperangan telah mencapai tingkat yang kritis). Dengan cara ini keraguan dapat dihilangkan.
E.      Nuansa Psikologis
Pengertiannya adalah suatu nuansa tafsir yang analisisnya menekankan pada dimensi psikologis manusia. Kitab tafsir semacam ini di Indonesia, misalnya Jiwa dalam al-Qur’an karya Achmad Mubarok. Yang termasuk dalam hal ini awalnya terma ﻨﻔﺲ (nafs) dengan berbagai variasi dan medan semantiknya. Pertama dalam bahasa ‘Arab kata ﻨﻔﺲ (nafs) menyebut ruh, diri manusia, hakikat sesuatu, darah dsb. Melalui buku ini, terma ﻨﻔﺲ (nafs) dalam al-Qur’an menurutnya menyebut manusia sebagai totalitasnya, baik sebagai makhluq yang hidup di dunia maupun di akhirat. Q.S. al-Maidah: 32 misalnya kata ﻨﻔﺲ (nafs), menyebut totalitas manusia di dunia. Q.S. Yasin: 54 misalnya kata ﻨﻔﺲ (nafs), menyebut manusia di alam akhirat. Ini pengertian pertama yang dirumuskan dalam buku ini. Kedua kata ﻨﻔﺲ (nafs) sebagai sisi-dalam manusia. Q.S. ar-Ra’d: 10 memberikan pengertian bahwa, kata ﻨﻔﺲ (nafs) bahwa manusia memiliki sisi dalam-luar. Sisi dalam, menurut al-Qur’an berfungsi sebagai penggerak dan sisi luar pada perbuatan lahirnya.
Simpulan, jika ruang lingkup psikologi modern terbatas pada tiga dimensi, yaitu fisik-biologi, kejiwaan dan sosio-kultural. Maka ruang lingkup psikologi Islam mencakup tiga hal yang telah disebutkan tadi ditambah dengan dimensi kerohanian dan spiritual.
3.      Pendekatan Tafsir
Ada dua pendekatan, yaitu: 1) berorientasi pada teks dalam dirinya, disebut dengan pendekatan tekstual; dan 2) berorientasi pada konteks pembaca (penafsir), disebut dengan pendekatan kontekstual.
A.      Pendekatan Tekstual: Teks al-Qur’an sebagai Pusat
Dalam hal ini praktek tafsir lebih berorientasi pada teks pada dirinya. Kontekstualitas suatu teks lebih dilihat sebagai posisi suatu wacana dalam konteks internalnya atau intra-teks. Kontekstualisasi pemahaman al-Qur’an merupakan upaya penafsir dalam memahami ayat al-Qur’an bukan melalui harfiah teks, tapi dari konteks (siyaq) dengan melihat faktor-faktor lain. Demikian menurut Ahsin Muhammad. Jelasnya, seorang penafsir haruslah mempunyai wawasan yang luas dalam keilmuan yang ia harus punya, seperti mengetahui sejarah, situasi dan kondisi waktu hukum itu ditetapkan dst.
Jadi, pengertian kontekstualitas dalam pendekatan tekstual lebih cenderung bersifat kearaban. Literatur kitab tafsir di Indonesia, seperti empat kitab, yaitu: 1) Tafsir al-Misbah; 2) al-Qur’an dan Tafsirnya; 3) Ayat Suci dalam Renungan; dan 4) Ensiklopedi al-Qur’an. Kitab nomor empat ini disusun dengan sistematika tematis yang oleh penulisnya diklaim sebagai tafsir social, juga belum mendasarkan gerak hermeneutiknya pada medan sosial Indonesia.
B.      Pendekatan Kontekstual: Realitas Kehidupan sebagai Medan Keberangkatan Penafsiran
Pengertiaannya ialah pendekatan yang berorientasi pada konteks pembaca (penafsir) teks al-Qur’an. Pendekatan kontekstualitas dalam pendekatan tekstual, yaitu latar belakang social historis di mana teks muncul dan diproduksi menjadi variabel penting. Namun semuanya itu dan ini yang lebih penting, harus ditarik ke dalam konteks pembaca (penafsir) di mana ia hidup dan berada, dengan pengalaman budaya, sejarah dan sosialnya sendiri. Oleh karena itu, sifat gerakannya adalah dari bawah ke atas; dari praktis (konteks) menuju refleksi (teks).
Literatur tafsir di Indonesia, misalnya menggunakan penyajian tematik muncul sebagai bentuk kontekstualnya secara kokoh. Bisa dilihat pada: 1) Tafsir Kebencian; 2) Argumen Kesetaraan Jender; 3) Tafsir bil Ra’yi; dan 4) Tafsir Tematik al-Qur’an tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama.
Dari beberapa uraian yang telah dijelaskan dan diterangkan di atas, jelaslah bahwa beragamnya metode, nuansa dan pendekatan tafsir yang digunakan literatur tafsir di Indonesia dasawarsa 90-an.





Natijah buku, bersumber:Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi karya Islah Gusmian; Cet. 1, 2003, Teraju, Jakarta, hlm. 196-253/Bab III dengan tema besar: Menelisik Teknis Penulisan dan Hermeneutik Karya Tafsir al-Qur’an di Indonesia.    


[1] Disajikan dan dipaparkan dalam mata kuliah “Penelitian Tafsir di Indonesia” IR. 07 bersama Bpk. Lukmanul Hakim, M.A., tanggal 03 Desember 2009.
[2] Mahasiswa Ushuluddin Jur. Tafsir Hadits, Anggatan 2007. IAIN Raden Fatah Palembang.
[3] Secara bahasa berarti menerangkan; cabang filologi untuk menerangkan isi dan makna sebuah teks. Mulanya terbatas pada teks Injil; dalam sastra mengacu pada pemahaman sebuah karya sastra secara semantik tidak hanya memiliki satu arti saja sehungga si penafsir memiliki semacam kewajiban untuk menemukan arti-arti tersebut di mana sebuah teks diibaratkan sebagai kain tenunan yang merupakan jalinan benang-benang. (Amir F. Hidayat dan E.N. Rahmani A.R., Ensiklopedi: Bahasa-Bahasa Dunia & Peristilahan dalam Bahasa, CV. Pustaka Grafika; Cet. 1, 2006, Bandung, hlm. 106). Sedangkan filologi adalah studi tentang naskah lama untuk menetapkan bentuk aslinya, keasliannya serta makna isinya; ilmu yang menyelidiki kebudayaan berdasarkan bahasa dan sastranya. (Ibid., hlm. 93)
[4] Ialah ilmu tentang bahasa. (Ibid., hlm. 200)
[5] Ialah hubungan antara unsur-unsur bahasa dalam tataran tertentu dengan unsur-unsur lain di luar tataran itu yang dapat dipertukarkan. (Ibid., hlm. 250)
[6] Ialah ilmu yang mempelajari lambang-lambang dan tanda-tanda. (Ibid., hlm. 292)
[7] Epistemologi dapat diartikan sebagai ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu pngetahuan. (Lihat Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, PT. Logos Wacana Ilmu; Cet. 5, 2003 M/1424 H, Jakarta, hlm. 114). Atau berarti penyelidikan teori tentang asal-muasal, batas-batas dan kesahihan pengetahuan. Dalam linguistik dihubungkan dengan masalah metabahasa dan status logika dan bahasa. (Lihat Amir F. Hidayat dan Elis N. Rahmani AR., Ensiklopedi Bahasa-Bahasa Dunia Peristilahan dalam Bahasa, CV. Pustaka Grafika; Cet. 1, 2006, t.tp, hlm. 20). Berdasarkan pengertian tersebut, epistemologi dapat dijadikan dua kategori, yaitu: epistemologi klasik dan epistemologi kontemporer. Epistemologi klasik adalah epistemologi yang menekankan aspek sumber dari ilmu pengetahuan. Sedangkan, epistemologi kontemporer adalah epistemologi yang menekankan pembahasan pada bagaimana proses, prosedur dan metodologi digunakan untuk memperoleh ilmu pengetahuan. (Lihat Amin Abdullah, “Epistemologi Pendidikan Islam: Mempertegas Arah Pendidikan Nilai dalam Visi dan Misi Pendidikan Islam dalam Era Pluralitas Budaya dan Agama,” dalam Makalah pada Seminar dan Lokakarya Ilmu Pendidikan Islam, Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 21 Februari 2000, hlm. 1).
[8] Konvensional kolektif maksudnya kesepakatan umum secara bersama. (red.)
[9] Tulis Gusmian, pengertian di sini adalah ruang dominan sebagai sudut pandang dari suatu karya tafsir.
[10] Ialah perjalanan menuju Allah. (M. Solihin dan Rosihon Anwar, Kamus Tasawuf, PT. Remaja Rosdakarya; Cet. 1, 2002, Bandung, hlm. 192).
[11] Ta’wil menurut Abu Zaid ialah proses penguakan dan penemuan yang tidak dapat dicapai melalui jalan tafsir. Sedangkan tafsir menurutnya ialah menjelaskan ‘yang luar’ dari al-Qur’an.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar