Kamis, 28 Oktober 2010

PESANTREN DAN KITAB KUNING: TRADISI DAN EPISTEMOLOGI KEILMUAN ISLAM DI INDONESIA Menjadikan PP. Nurul Islam Seribandung Sebagai Cagar Keilmuan Islam di Sumatera Selatan Oleh: Hafidhuddin Z. Abto

A. Latar Belakang
Kitab kuning (KK) atau al-Kutub ash-Shafra’, tidak asing di telinga para pengkaji kitab-kitab klasik Islam, jelasnya di kalangan dunia pesantren. Keilmuan Islam di Indonesia dalam tradisinya, tidak lepas mengupas, mentala’ah, mengkaji kitab-kitab klasik Islam atau di kenal dengan sebutan kitab kuning atau kitab gundul. Tradisi ini merupakan salah satu tradisi keislaman yang ada di Nusantara.
Pesantren dan kitab kuning adalah dua sisi yang tak terpisahkan dalam keping pendidikan Islam di Indonesia. Sejak sejarah awal berdirinya, pesantren tidak dapat dipisahkan dari literatur kitab buah pemikiran para ulama’ salaf yang di mulai sekitar abad ke-9 itu. Boleh dibilang, tanpa keberadaan dan pengajaran kitab kuning, suatu lembaga pendidikan tak absah disebut pesantren. Begitulah fakta yang mengemuka di lapangan. Abdurrahman Wahid (Gusdur) dalam konteks ini meneguhkan dengan menyatakan, kitab kuning telah menjadi salah satu sistem nilai dalam kehidupan pesantren.
Karena itu, pembelajaran dan pengkajian kitab kuning menjadi nomor wahid dan merupakan ciri khas pembelajaran di pesantren. Kitab kuning tidak hanya menjadi pusat orientasi, tetapi telah mendominasi studi keislaman pesantren dan mewarnai praktek keagamaan dalam berbagai dimensi kehidupan umat Islam.
Dalam hal ini, penulis akan memperluas dalam pembahasan ini (pengertian KK), sebagai kitab-kitab keagamaan berbahasa ‘Arab, Melayu atau Jawa (aksara Jawi) atau bahasa-bahasa lokal lain di Indonesia dengan menggunakan aksara ‘Arab, baik itu ditulis oleh ulama’ Timur Tengah, maupun di tulis oleh ulama’ Indonesia itu sendiri.
Perluasan pengertian KK ini memungkinkan kita untuk mengetahui secara lebih akurat tentang pembentukan dan pemapanan tradisi KK di Indonesia. Sebagai konsekuensi logisnya, ini akan membuka jalan bagi kita untuk melacak, tidak hanya tradisi keilmuan Islam di negeri kita (dunia pesantren), tetapi juga epistemologi keilmuan Islam itu sendiri.
Dalam konteks ini, pesantren sebagai lembaga pendidikan mempunyai watak utama, yaitu sebagai lembaga pendidikan yang memiliki ciri-ciri khas. Karena, pesantren memiliki tradisi keilmuan yang berbeda dengan tradisi keilmuan lembaga-lembaga pendidikan lainnya, seperti madrasah atau sekolah, demikian kata Gusdur. Salah satu ciri utama pesantren sebagai pembeda dengan lembaga pendidikan lain, adalah pengajaran kitab kuning, kitab-kitab Islam klasik yang ditulis dalam bahasa ‘Arab baik yang ditulis oleh para tokoh muslim ‘Arab maupun para pemikir Muslim Indonesia. Dengan demikian, selama ini ranah epistemologi atau struktur keilmuan Islam pesantren bisa dikatakan belum mendapatkan perhatian khusus dari para ilmuan muslim. Yang ada hanya sebatas keterkaitan antara struktur keilmuan dengan kurikulum atau kitab kuning atau hanya sekedar menyebutkan dan mengungkapkan isinya secara global, tidak sampai pada struktur nalar keilmuan kitab kuning yang paling fundamental.

B. Memberi Arti Sebuah Istilah – Sejarah Pesantren - KK
Pondok pesantren, menurut sejarah akar berdirinya di Indonesia, ditemukan dua versi pendapat. Pertama, pendapat yang menyebutkan bahwa pondok pesantren berakar pada tradisi Islam sendiri, yaitu tradisi tarekat. pondok pesantren mempunyai kaitan yang erat dengan tempat pendidikan yang khas bagi kaum sufi; dan  Kedua, pondok pesantren yang kita kenal sekarang ini pada mulanya merupakan pengambil alihan dari sistem pondok pesantren yang diadakan orang-orang Hindu di Nusantara. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa jauh sebelum datangnya Islam ke Indonesia lembaga pondok pesantren sudah ada di negeri ini.
Pesantren jika disandingkan dengan lembaga pendidikan yang pernah muncul di Indonesia, merupakan sistem pendidikan tertua saat ini dan dianggap sebagai produk budaya Indonesia yang indigenous. Pendidikan ini semula merupakan pendidikan agama Islam yang di mulai sejak munculnya masyarakat Islam di Nusantara pada abad ke-13. Beberapa abad kemudian penyelenggaraan pendidikan ini semakin teratur dengan munculnya tempat-tempat pengajian. Kemudian berkembang dengan pendirian tempat-tempat menginap bagi para pelajar (santri), yang kemudian dikenal dengan sebutan pesantren.
Pesantren sebagai pusat transmisi Islam di Nusantara sudah mulai berdiri sejak menyebarnya Islam ke Nusantara pada abad ke-15. Tokoh yang pertamakali mendirikan pesantren adalah Syaikh Maulana Malik Ibrahim (w. 1419) yang berasal dari Gujarat, India, sekaligus tokoh pertama yang mengislamkan Jawa. Kemudian dari itu lahirlah Walisongo dalam jalur jaringan intelektual/ulama’. 
Pendirian pondok pesantren pada masa itu dimaksudkan sebagai tempat mengajarkan ajaran-ajaran agama Hindu. Pondok pesantren di Indonesia baru diketahui keberadaan dan perkembangannya setelah abad ke-16. Karya-karya Jawa klasik, seperti Serat Cabolek dan Serat Centini mengungkapkan bahwa sejak permulaan abad ke-16 ini di Indonesia telah banyak dijumpai lembaga-lembaga yang berbagai kitab Islam klasik dalam bidang fiqih, ‘aqidah, tashawuf/tarekat dan menjadi pusat-pusat penyiaran Islam, yaitu pondok pesantren.
Menurut Martin Van Bruinessen, tradisi pengajaran agama Islam seperti yang muncul di pesantren Jawa dan lembaga-lembaga serupa di luar Jawa merupakan suatu tradisi agung (great tradition). Namun, bagaimanapun asal mula terbentuknya, pondok pesantren tetap menjadi lembaga pendidikan dan keagamaan Islam tertua di Indonesia, yang perkembangannya berasal dari masyarakat yang melingkupinya. Seperti telah diungkap di atas, lembaga-lembaga pondok pesantren yang tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia memiliki latar belakang sejarah yang cukup panjang. Walaupun sulit diketahui kapan permulaan muculnya, namun banyak dugaan yang mengatakan bahwa lembaga pondok pesantren mulai berkembang tidak lama setelah masyarakat Islam terbentuk di Indonesia dan kemunculannya tidak terlepas dari upaya untuk menyebarkan agama Islam di masyarakat. Pada dasarnya, pondok pesantren lahir sebagai perwujudan dari dua keinginan yang bertemu, yakni keinginan orang yang ingin menimba ilmu sebagai bekal hidup (santri) dan keinginan orang yang secara ikhlas mengajarkan ilmu dan pengalamannya kepada umat (kiyai). Sehingga pondok pesantren menjadi sebuah lembaga pendidikan yang memadukan dua keinginan tersebut. Pendidikan yang dilakukan di pesantren memiliki karakteristik yang khas dengan orientasi utama adalah melestarikan ajaran Islam serta mendorong para santri untuk menyampaikannya lagi kepada masyarakat, oleh karena itu pesantren juga dapat di pandang sebagai lembaga dakwah yang berperan besar dalam pengembangan agama Islam di Indonesia, karena Islam masuk dan berkembang di Indonesia melalui perdagangan internasional yang pusatnya adalah kota-kota pelabuhan, maka masyarakat Islam di Indonesia pada permulaannya adalah masyarakat kota. Pembentukan masyarakat kota ini tentunya mempengaruhi pula pembentukan lembaga pendidikan yang kebetulan belum eksis. Sehingga kota-kota itu menjadi pusat-pusat studi Islam yang dikembangkan oleh para ulama’ yang berada di sana. Namun kemudian pesantren juga tumbuh dan  berkembang di pedesaan, bahkan belakangan ini sebagian besar pesantren berlokasi di pedesaan, namun meski persoalan-persoalan masyarakat (sosial), ekonomi dan bahkan politik ikut menjadi perhatian para pelajar/santri saat itu. Maka tidaklah mengherankan jika di masa sekarang peranan pondok pesantren juga merambah ke berbagai bidang kehidupan seperti pemberdayaan pendidikan dan ekonomi masyarakat, karena memang pada dasarnya pesantren telah berakar dan melembaga di masyarakat, sehingga pengaruhnya juga cukup dominan.
Pada abad berikutnya yakni abad ke-15-17, jaringan intelektual yang telah dikembangkan oleh Walisongo. ‘Abd. Ar-Ra’uf as-Sinkili, Syaikh Yusuf al-Maqassari (abad ke-17) dan ulama’-ulama’ yang terlibat sesudahnya (abad ke-18) memiliki arti penting bagi perkembangan Islam di Nusantara. Di lanjutkan abad seterusnya, abad ke-20, telah terjadi perubahan besar dalam pendidikan Islam Indonesia atau pesantren atau disebut juga dengan Era Keemasan.
Istilah dari pengertian pondok pesantren sendiri adalah salah satu pendidikan Islam di Indonesia yang mempunyai ciri-ciri khas tersendiri. Definisi pesantren sendiri mempunyai pengertian yang bervariasi, tetapi pada hakekatnya mengandung pengertian yang sama. Perkataan pesantren berasal dari bahasa sansekerta yang memperoleh wujud dan pengertian tersendiri dalam bahasa Indonesia. Asal kata san berarti orang baik (laki-laki) disambung tra berarti suka menolong, santra berarti orang baik baik yang suka menolong. Pesantren berarti tempat untuk membina manusia menjadi orang baik.
 Sementara itu H.A. Timur Jailani  memberikan batasan pesantren adalah gabungan dari berbagai kata pondok dan pesantren, istilah pesantren diangkat dari kata santri yang berarti murid atau santri yang berarti huruf sebab dalam pesantren inilah mula-mula santri mengenal huruf, sedang istilah pondok berasal dari kata funduk (dalam bahasa Arab) mempunyai arti rumah penginapan atau hotel. Akan tetapi pondok di Indonesia khususnya di pulau Jawa lebih mirip dengan pemondokan dalam lingkungan padepokan, yaitu perumahan sederhana yang dipetak-petak dalam bentuk kamar-kamar yang merupakan asrama bagi santri. Selanjutnya Zamaksari Dhofir memberikan batasan tentang pondok pesantren yakni sebagai asrama-asrama para santri yang disebut pondok atau tempat tinggal terbuat dari bambu, atau barangkali berasal dari kata funduk atau berarti hotel atau asrama. Perkataan pesantren berasal dari kata santri yang mendapat awalan pe dan akhiran an yang berarti tempat tinggal para santri.
Soegarda Poerbakawatja memberikan pengertian pondok merupakan suatu tempat pemondokan pemuda-pemuda (dikenal dengan sebutan santri) yang mengikuti pelajaran-pelajaran agama Islam. Biasanya suatu pondok itu sangat sederhana, terkadang yang mendirikan pondok itu guru agama dan terkadang juga masyarakat sekitar. Sedangkan pesantren menurutnya adalah berasal dari kata santri, yaitu seorang yang belajar agama Islam, sehingganya pesantren adalah tempat berkumpul belajar agama Islam. Jadi, dari hal demikian santri-santri dan guru agama dekat berdiam. Yang mana di samping belajar, juga sekaligus tempat menginap. Seperti pesantren Tebu-Ireng, pesantren Gontor, pesantren Seribandung dan lainnya. Dengan mengambil nama dari suatu daerah, yang terdapat pondoknya.
Dari semua pengertian istilah dan sejarah yang dikemukakan di atas, perlu diketahui bahwa pesantren mempunyai peran-peran masing-masing dalam meghiasi khazanah keilmuan Islam di Indonesia, pesantren juga mempunyai ciri-ciri utama, yang memudahkan kita dalam menilai dan melihat atau memahami maksud dari istilah dalam sebuah pengertian yang digunakan.
Ciri-ciri utama tersebut, adalah 1) adanya pondok sebagai tempat bermukimnya para santri dan para kiyai dan tenaga pengajar lainnya; 2) adanya masjid sebagai tempat ibadah dan tempat santri mengkaji kitab-kitab keislaman; 3) pengajaran kitab-kitab klasik atau kitab kuning; 4) adanya santri sebagai para penuntut ilmu keagamaan, terdiri dari ikhwan (laki-laki) maupun akhwat (perempuan); 5) adanya kiyai sebagai pengajar atau sebagai pengasuh pesantren atau juga sebagai tempat bertanya, dalam ilmu-ilmu keagamaan dan juga sebagai figur utama dengan kemasyhurannya dan karamah yang ada pada dirinya; 6) mempunyai sistem pengajaran yang khas: sistem sorongan atau sistem weton; dan 7) memiliki tujuan utama pendidikannya lebih bersifat spiritual di bandingkan material. Jika ciri-ciri itu tidak ada, maka menurut mayoritas ulama’, kepesantrenannya di ragukan.
Telah dijelaskan mengenai sejarah – istilah pesanten dari berbagai sudut pandang beberapa pendapat, yang dikemukakan. Kita lihat pula beberapa arti dari istilah – sejarah kitab kuning (KK) dan pengertian kitab kuning itu sendiri, di antaranya adalah sebagai berikut:
a.    Kitab kuning (KK) pada umumnya dipahami sebagai kitab-kitab keagamaan berbahasa ‘Arab, menggunakan aksara ‘Arab, yang mana di masa lampau dihasilkan oleh ulama’ dan pemikir Muslim lainnya – khususnya yang berasal dari Timur Tengah. Kitab kuning (KK) mempunyai format sendiri yang khas dan warna kertas “kekuning-kuningan”, demikian menurut Azyumardi Azra.
b.    Juga pada umumnya, kitab kuning (KK) dicetak di kertas berwarna kuning, lembaran-lembarannya terlepas, sehingga mudah diambil bagian-bagian yang diperlukan tanpa perlu membawa satu kitab utuh. Kitab kuning merupakan kitab yang ditulis dengan menggunakan huruf ‘Arab dan penulisannya tidak memakai tanda baca (harakat), seringpula disebut kitab gundul.
c.    “Kitab kuning”. Istilah kitab kuning berasal dari dua kata kitab dan kuning. Kitab berasal dari bahasa ’Arab berarti buku. Kuning berarti warna kuning. Dengan demikian, kitab kuning (KK) diartikan sebagai buku yang berwarna kuning. Mengapa disebut kitab kuning?... Dalam guyonan KH. Muhidz Muzadi: “Ya karena memang kitab-kitabe mbahe, saking lamanya akhirnya berwarna kuning”. Buku-buku yang disebut kitab kuning ini biasanya dikarang pada zaman pertengahan. Warna kuning ada kemungkinan teknologi pembuatan kertas zaman dulu memang sampai pada warna ini. Dalam mitos pesantren, warna kuning menjadikan mata tidak sakit ketika membacanya. Hal ini mungkin belum ada penelitian dari fisiologi. Jika demikian, maka yang diperlukan adalah penelitian yang mendalam tentang hal ini terutama ahli bidang fisiologi.
Perlu diklarifikasi kembali dalam pemakaian istilah, jika kita melihat dengan kasat mata telanjang, secara umum istilah kitab kuning (KK) itu berarti, bentuk kertasnya kekuning-kuningan, istilah tersebut dari kertas yang dipakai (warna kuning). Tapi jika dilihat secara hakikat dari isinya, maka kitab kuning, istilah yang harus diubah, menurut hemat penulis kurang sesuai istilah tersebut dipakai. Di mana jika kita mengambil istilah tersebut, maka kita akan melihat kertasnya dan isi-isi yang tertulis berbahasa ‘Arab, menggunakan aksra ‘Arab (dari segi bahasa apapun, ditulis dengan bentuk aksara ‘Arab). Istilah yang boleh kalau dikata adalah kitab gundul/gondol, artinya kitab tersebut baik ia dicetak atau ditulis dengan warna kertas kuning atau putih atau coklat (kertas Koran, istilah saja) atau lainnya. Ditulis dengan bahasa ‘Arab (aksara ‘Arab, bentuk penggunaan), itu namanya kitab gundul/gondol (KG). Disebut demikian, karena isi-isi dari kitab itu tidak ada syakal-nya, bila kemudian bersyakal itupun diberi syakal untuk mempermudah memahminya. Tapi secara penulisan biasa tidak diberi syakal oleh pengarang tersebut.
Term kitab kuning bukanlah merupakan istilah untuk kitab-kitab yang kertasnya berwarna kuning saja, akan tetapi ia merupakan istilah untuk kitab-kitab yang dikarang oleh para cendekiawan masa silam. Istilah tersebut di gunakan, karena mayoritas kitab klasik dibuat dengan kertas kuning, namun belakangan ini penerbit-penerbit banyak yang menggunakan kertas putih. Yang pasti, istilah tersebut digunakan untuk produk pemikiran salaf. Sementara produk pemikiran salaf dikalangan akademisi lebih populer dengan sebutan turats.
 Kitab kuning (Tsurats al-Qadim) adalah suatu terminologi unik yang lazim dipakai oleh para santri untuk menyebut kitab yang hampir seluruhnya terbuat dan dicetak diatas kertas yang berwarna kuning, walaupun secara kenyataan pada tataran praksisnya kitab-kitab yang tergolong lama (Tsurats al-Qadim) sudah banyak yang dicetak ulang dengan tidak menggunakan kertas berwarna kuning lagi. Tapi hal itu tidak berdampak sama sekali terhadap kaum santri, toh walaupun kertasnya sudah berwarna putih mereka juga masih menyebutnya dengan kitab kuning. Hal ini sejalan dengan tesis Andre Moeller yang mengatakan bahwa bahasa atau istilah tidak hanya berhenti pada tataran terminologis belaka, tapi lebih jauh dari itu yaitu menyentuh ranah-ranah psikologis.
Konon, istilah kitab kuning pada awalnya adalah merupakan sebuah ejekan-kalau tidak mau dikatakan inkuisisi- oleh mereka-mereka yang tidak suka dengan khazanah intelektual Islam, orang barat mislanya. Karena istilah kuning adalah istilah yang sebetulnya tidak begitu mengenakkan didengar oleh telinga selain tidak menarik secara jasadiyah, kuning juga merupakan simbolisasi dari barang yang usang, kurang terawat, lawas atau kuno.

C. Tradisi Pesantren – Kitab Kuning (KK) 
Dari waktu ke waktu fungsi pesantren berjalan secara dinamis, berubah dan berkembang mengikuti dinamika sosial masyarakat global. Betapa tidak, pada awalnya lembaga tradisional ini mengembangkan fungsi sebagai lembaga sosial dan penyiaran agama. Sementara Azyumardi Azra menawarkan adanya tiga fungsi pesantren, yaitu: a) Transmisi dan transfer ilmu-ilmu Islam;  b) Pemeliharaan tradisi Islam; dan c) Reproduksi ulama’.
Maka dari itu, dalam mengembangkan keilmuan di kalangan pesantren baik di Jawa, Sumatera dan lainnya. Pada gilirannya, sejarah panjang penyebaran Islam ke Nusantara ini semakin memungkinkan terjadinya proses transmisi keilmuan secara langsung dengan adanya kontak personal dengan ulam’-ulama’ di Timur Tengah yang terpusat pada Haramain. Maka dari itu transmisi keilmuan Islam ke Nusantara sangat terkait dengan dinamika Islam pada tingkat global. Pengembangan tradisi kitab kuning (KK), perlu dikembangkan dengan efektif. Ilmu-ilmu Islam yang kemudian dikembangkan melalui media transfer kitab-kitab, dari beberapa pemahamannya, maupun ilmu-ilmu Islam lainnya. Maka akan terpelihara tradisi itu, salah satu cara pengembangannya. Akibat dari itu akan mengkaderisasi penerus-penerus dalam hal disiplin keilmuan Islam, seperti adanya ulama’ atau kiai yang berkompeten dalam bidangnya masing-masing, khususnya di Nusantara. 
Terkait dengan relasi pesantren dan kitab kuning dewasa ini setidaknya terdapat dua model pesantren, yaitu:
Model Pertama, penulis sebut sebagai pesantren kitab kuning atau juga biasa dikenal orang sebagai pesantren murni salafi (tradisional). Pesantren model ini adalah pesantren yang sejak berdirinya hingga kini tetap mempertahankan kitab kuning sebagai literatur utama dalam kurikulum pembelajaran. Kini, pesantren ini terhitung amat langka. Pesantren ini jamaknya tidak menyelenggarakan pendidikan formal, tapi hanya menyelenggarakan sekolah Diniyah. Ukuran kelulusan dan keberhasilan seorang santri betul-betul ditentukan oleh kepiawaiannya dalam penguasaan kitab kuning. Penguasaan dalam hal ini adalah tak sekedar bisa membaca dengan benar, tapi juga memahami, mengungkapkan, mengembangkan, dan mengkontekstualisasikan kandungannya. Kalau pun toh ditemukan ‘kitab putih’ (non kitab kuning) dalam kurikulum, itu pasti hanya bagian yang sangat kecil dan sifatnya tak wajib atau hanya sekedar pengayaan. Di antara contoh pesantren ini adalah Pondok Pesantren Lirboyo, Ploso, Sidogiri, Kajen, dan Langitan. Keberadaan pesantren jenis ini kini sudah langka, karena mungkin sudah tergerus oleh perubahan zaman arus modernisani dan industrialisasi, yang mengutamakan ijazah formal dan persaingan pasar kerja.
Karena jumlahnya yang sangat minim, tentu ini harus menjadi perhatian pemerintah, khususnya Departemen Agama, yang juga turut bertanggung jawab dalam membangun dan mengembangkan pesantren. Jangan sampai aset bangsa yang luar biasa ini luntur begitu saja ditelan zaman. Pesantren kitab kuning, bagi penulis adalah pesantren yang masih mewarisi genuine karakteristik khazanah Islam Indonesia, jadi jangan sampai pesantren jenis ini juga ikut-ikutan menyelenggarakan pendidikan formal seperti MI/SD-MTs/SMP-MA/SMA. Mengapa?... Agar karakteristik dan tradisi keilmuannya tidak luntur dan tetap berperan besar sebagai pialang budaya sekaligus subkultur dari masyarakat.
Indigenous khazanah keilmuan kitab kuning dalam dunia pesantren seperti ini, harus terus dilestarikan, dipupuk, dan dikembangkan. Hemat penulis, langkah Departemen Agama melalui program mu’adalah ijazah pesantren adalah langkah positif untuk mengembangkan jenis pesantren ini. Program ini adalah proses penyetaraan antar-institusi pendidikan, baik pendidikan di dalam maupun di luar pesantren. Dengan begitu, ijazah sekolah Diniyah di pesantren dapat disetarakan dengan ijazah MA di sekolah formal. Kalau sudah setara (mu’adalah) maka lulusan pesantren jenis ini dapat meneruskan kuliah di Perguruan Tinggi, layaknya alumni Madrasah Aliyah di sekolah formal. Dengan adanya sistem mu’adalah ini minimal ada dua manfa’at yang dapat diraih: 1) tradisi kitab kuning yang akan terus terpelihara dan berkembang dengan baik; dan 2) kapasitas alumninya yang ‘jago’ kitab kuning itu dapat memberikan warna dalam diskursus studi keislaman di Perguruan Tinggi.
Model Kedua, pesantren kolaboratif. Perpaduan antara sekolah formal dan sekolah Diniyah, itulah yang dimaksud dengan kata kolaboratif dalam jenis pesantren ini. Mulanya pesantren ini hanya menyelenggarakan pendidikan Diniyah dengan tanpa ijazah formal, tapi sesuai dengan perkembangan zaman, lembaga ini juga menyelenggarakan pendidikan formal. Jenis pesantren inilah yang kini merebak dan mendominasi karakter pesantren di berbagai penjuru. Biasanya, santri harus bersekolah dua kali dalam sehari, misalnya sekolah formal pada pagi hari dan sekolah Diniyah pada malam hari. Inilah yang penulis sebut sebagai kolaborasi ‘kitab kuning’ dengan ‘kitab putih’. Porsi terbesar pembelajaran kitab kuning diberikan di sekolah Diniyah, sedangkan kitab putih dipelajari di sekolah formal. Kitab putih di sini dipahami sebagai kitab yang tidak masuk definisi kitab kuning, seperti keterangan di atas. Berarti kitab putih bisa jadi kitab-kitab umum atau kitab-kitab pelajaran berbahasa arab kontemporer, baik karangan ulama’ Indonesia atau Timur Tengah.
Secara garis besar, pesantren kolaboratif ini sebenarnya ingin merespon modernisasi dalam aras pendidikan Islam di Indonesia. Mulanya memang bagus, ingin mengkolaborasikan antara tafaqquh fi al-din dan penguasaan ilmu pengetahuan umum. Tapi sayang, lama-kelamaan seiring perkembangan lembaga pendidikan, ternyata kemajuan yang diraih tak berjalan seimbang. Santri lebih mementingkan penguasaan ilmu umum sebagai standar kelulusan ujian nasional daripada kepiawaian menguasai kitab kuning yang tak bisa menunjang diterimanya kuliah di sebuah Perguruan Tinggi terkemuka. Ini adalah tamtsil sederhana kenyataan modernisasi di pesantren. Jika kenyataannya seperti ini, maka sah-sah saja jika ada orang yang mengemukakan nomenklatur, bahwa modernisasi pesantren berarti pergeseran dari kitab kuning ke kitab putih. Pergeseran ini bukan berarti terjadi semudah membalik telapak tangan. Begitu sistem pendidikan modern masuk pesantren, saat itu pula kitab kuning tergeser. Tidak. Proses pergeseran literatur ini memakan waktu lama, seiring dengan perjalanan modernisasi itu sendiri
Harus diakui, sulit untuk melacak kapan persisnya mulai terjadi penyebaran – dan demikian “pembentukan awal tradisi kitab kuning” – di Indonesia. Historiografi tradisional dan berbagai catatan baik lokal maupun asing tentang penyebaran Islam di Indonesia, tidak menyebut judul-judul kitab yang digunakan di dalam masa-masa awal perkembangan Islam di kawasan ini. Meski ada beberapa historiografi tradisional, seperti Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah Melayu dan semacamnya juga menyinggung masalah-masalah yang berkenaan dengan syari’ah atau fiqh dan masalah-masalah keimanan, mereka umumnya tidak memberikan rujukan kepada kitab-kitab tertentu. Begitu pula, kitab undang-undang di berbagai kesultanan, yang sering mengutip ketentuan-ketentuan fiqh asy-Syafi’I, misalnya juga tidak menjelaskan kitab rujukannya; dan tentu saja tidak menyinggung apakah kitab-kitab itu juga bisa ditemukan di Nusantara.
Warga pesantren menempatkan kitab kuning sebagai acuan utama dalam kehidupan sehari-hari. Terutama yang menyangkut masalah hukum ibadah atau ritual, akhlak atau perilaku dan mu’amalah atau hubungan sosial. Perilaku itu tercermin dari cara mereka bersikap. Ketika warga menemui persoalan, rujukannya adalah bertanya ke kiyai. Lalu, kiyai menjelaskan berdasarkan keterangan dari kitab kuning. Mayoritas dalam soal fiqh, mereka bermadzhab Syafi`I, meski mereka juga mengakui keberadaan madzhab fiqh yang empat: Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam asy-Syafi`I, Imam Hambali. Karena itu, kitab kuning yang dikaji di pesantren, kebanyakan kitab-kitab karya para ulama’ Syafi’iyah. Mulai dari kitab fiqh tingkat dasar, seperti Safinah an-Naja, Taqrib, Kifayah al-Ahyar; menengah seperti Fathu al-Qarib, Fathu al-Wahab, Fathu al-Mu’in, I’anatu ath-Thalibin, Hasyiyah al-Bajuri, Muhadzdzab; hingga tingkat tinggi seperti Nihayah al-Muhtaj, Hasyiyah Qalyubi wa Umairah, al-Muharrar, Majmu Syarh Muhadzdzab. Semuanya merupakan susunan para ulama’ madzhab asy-Syafi’I.
Kitab-kitab tersebut, berisi paparan mengenai hukum-hukum hasil ijtihad Imam asy-Syafi’I,  yang kemudian diuraikan lagi oleh para ulama’ pengikutnya dari abad ke abad. Hasil pemikiran ijtihad Imam asy-Syafi’I sendiri, didiktekan (imla’) kepada muridnya, al-Buwaithi, yang menyusunnya lagi menjadi kitab al-Umm (Induk). Dari al-Umm inilah lahir kitab-kitab fiqh susunan para ulama’ madzhab Syafi’I, baik yang ringkas dan tipis, seperti Taqrib karya Abu Suja, maupun yang panjang lebar dan tebal-tebal seperti Nihayah al-Muhtaj karya ar-Ramli atau Majmu Syarah Muhadzdzab karya an-Nawawi. Bahasan hukum-hukum dalam kitab kuning, bersumber dari hasil ijtihad para ulama madzhab, yang menggali langsung dari al-Qur’an dan as-Sunnah Rasulullah. Yang mereka gali dan dijadikan bahan ijtihad, adalah hal-hal yang bersifat temporer, aktual, namun belum terdapat nash yang jelas di dalam al-Qur’an dan al-Hadits, untuk hal-hal yang sudah dijelaskan di dalam al-Qur’an dan al-Hadis, tidak lagi dijadikan bahan ijtihad.
Penelitian Van Den Berg tentang buku-buku yang digunakan di lingkungan pesantren di Jawa dan Madura, pada abad 19 memang mendaftar adanya kitab-kitab yang ditulis para ulama’ Timur Tengah sejak abad 9 dan seterusnya; tetapi ini tidak berarti bahwa kitab-kitab itu telah beredar di Indonesia yang tidak lama setelah kitab-kitab tersebut ditulis pengarangnya atau penyalinnya di Timur Tengah.
Kitab Taqrib yang juga dikenal dengan nama kitab Mukhtashar, karya Abu Syuja’ (w. 593H/1196 M) dalam peredarannya di Indonesia, agaknya merupakan kitab yang ditulis pengarang paling awal yang dicatat Van Den Berg. Sebagaimana penjelasan di atas. Lalu menyusul berturut-turut, seperi kitab al-Muharrar, karya Abu al-Qasim ar-Rafi’I (w. 623 H/1226 M), Abu Zakaria an-Nawawi (w. 676 H/1277 M), dengan karyanya Minhaj ath-Thalibin, Jalal ad-Din al-Mahalli (w. 864 H/1460 M), dengan karyanya Kanz ar-Raghibin, Zakaria al-Anshari (w. 926 H/1520), karyanya Manhaj ath-Thullab dan Fath al-Wahhab, Ibnu Hajar al-Haitami (w. 973 H/1565 M), dengan karyanya Tuhfat al-Muhtaj dan Minhaj al-Qawim, Muhammad asy-Syarbini (w. 977 H/1569 M) dengan kitab al-Iqna’ dan Mughni al-Muhtaj dan Syams ad-Din ar-Ramli (w. 1004 H/1595 M), karyanya Nihayat al-Muhtaj. Demikian menurut penjelasan Azyumardi Azra.
Bisa kita contohkan apa yang diungkapkan oleh Azyumardi Azra di atas, mengenai beberapa karangan ulama’ Timur Tengah, yang kemudian beredar di Indonesia, hal demikian melalui para murid Jawi, yang belajar ke Haramain. Penulis coba menampilkan salah satu ulama’ asal Indonesia, yakni Syaikh Nawawi al-Bantani. Dikisahkan dalam prolog:
Syaikh Nawawi al-Bantani bersama Ir. Soekarno, kedua orang tersebut namanya di abadikan di dalam sebuah kitab yang berjudul Qamus al-Munjid, dikarenakan kualitas intelektualnya di Nusantara, namun juga di Manca Negara dan juga di karenakan ketokohannya dan kepopulerannya setaraf dengan tokoh-tokoh dunia lainnya. Sosok Syaikh Nawawi memang sangat fenomenal. Konon, ia pernah “dideportasi” dari Haramain, karena “kecemburuan” ulama’ setempat atas prestasi dan karir akademisnya sebagai pengajar di Masjid al-Haram. Kepulangannya ke Jawa (Banten) sempat membuat resah penguasa (imam) daratan Haramain saat itu (Syaikh ‘Aun ar-Rafiq) – yang membawahi dan memiliki otoritas dalam penunjukan pengajar dan imam di Masjid al-Haram – karena banyaknya desakan dari para pelajar di Haramain, yang menghendaki agar Syaikh Nawawi kembali mengajari mereka. Atas desakan ini Syaikh Nawawi dipanggil kembali dengan persyaratan ia mampu menjawab pertanyaan “gampang-gampang susah” yang dirumuskan para ulama’ Haramain yang tercantum dalam surat panggilan itu. Menurut cerita Syaikh Mushlih al-Maraqi, murid Syaikh Yasin al-Fadani, dalam surat panggilan yang berisi satu halaman itu, meminta Syaikh Nawawi untuk menjawab soal seputar gramatikal dan lestikal dari kata “la-siyama”. Lalu surat yang selembar itu dijawabnya dengan 15 halaman, hanya untuk menjabarkan secara tuntas tentang asal-usul kata, kedudukan i’rab, sekaligus makna dari kata “la-siyama” tersebut. Surat balasan Syaikh Nawawi tersebut kemudian diuji oleh banyak ulama’ Haramain. Hasilnya, mereka mengakui bahwa Syaikh Nawawi memang menguasai ilmu kaislaman secara multidisipliner, sehingga hasil karyanya layak disejajarkan dengan karya-karya ulama’ Timur Tengah. Ia pun diangkat kembali menjadi pengajar di Masjid al-Haram dalam kuliah madzhab asy-Syafi’I. Dari sinilah Syaikh Nawawi banyak dikenal, bahkan disegani oleh ulama’ dunia, sebagai pioner madzhab asy-Syafi’I.
Kitab kuning yang semula di Timur Tengah untuk selanjutnya menyebar ke berbagai belahan dunia melalui berbagai cara yang dilakukan oleh penyebar agama Islam. Salah satu ulama’ yang sangat   berjasa adalah Syaikh Nawawi al Bantani. Beliau sangat produktif dalam menuliskan kitab Syarah (karya tulis penjelas) berbagai naskah kitab matan (teks materi dasar), baik dalam ilmu fiqh, tauhid, tashawuf dan lain-lainnya.
Azyumardi Azra mengemukakan kembali, bahwa nama-nama pengarang kitab kuning (KK) yang telah diterangkan sebelumnya lengkap dengan judulnya, baru muncul ketika para murid Jawi di Indonesia yang belajar di Haramain (Makkah dan Madinah), kembali ke tanah air, khususnya sejak abad ke-17 M. Di mana masa itu, para pelajar Jawi mulai semakin banyak belajar di Tanah Suci. Setelah tamatnya dalam menuntut ilmu di sana, mereka memperkenalkan atau mengedarkan kitab-kitab tersebut, yang dibawa mereka dari tempat mereka menuntut ilmu tersebut ke tanah air (Nusantara). Diedarkan di lingkungan terbatas, yang mampu membaca dan memahami bahasa ‘Arab. Nama-nama pengarang KK tersebut, lengkap dengan judulnya semakin masyhur/populer ketika para murid Jawi tersebut merujuk kepada mereka dalam kitab-kitab mereka sendiri. Sebagaimana yang telah dikisahkan di atas, Syaikh Nawawi yang kemudian karya-karyanya diterima dan disetarakan dengan karya ulama’ Timur Tengah.
Sekedar contoh dapat dikemukakan, seperti ar-Raniri (w. 1068H/1658 M), dengan karyanya ash-Shirath al-Mustaqim (jalan yang lurus), berisi tentang masalah ibadah, mulai shalat, puasa, zakat, haji, hingga hukum kurban, berburu, halal dan haram. Kemudian ‘Abd. Ar-Ra’uf as-Sinkili (1024 H/1615 M-1105 H/1690 M), berjudul Mir’at ath-Thullab fi Taisir al-Ma’rifat al-Ahkam asy-Syar’iyyah li al-Malik al-Wahhab, yang berisikan tentang masalah fiqh mu’amalah. Ar-Raniri merujuk/mengacu pada Minhaj Thalibin, karya an-Nawawi; Fathul Wahhab, karya Zakaria al-Anshari; Hidayat al-Muhtaj Syarh al-Mukhtashar, karya Ibnu Hajar; Kitab al-Anwar, karya al-Ardabili; Nihayat al-Muhtaj, karya Syams ad-Din ar-Ramli dan beberapa kitab madzhab asy-Syafi’I lainnya. Hampir sama dengan ar-Raniri, as-Sinkili dalam kitabnya, menjadi sumber utama atas karya ini adalah kitab Fath al-Wahhab, karya Zakaria al-Anshari. Selain itu juga mengambil bahan dari kitab-kitab standar, seperti Fath al-Jawab dan Tuhfat al-Muhtaj, keduanya karya Ibnu Hajar al-Haitami; Nihayat al-Muhtaj, karya Syams ad-Din ar-Ramli; Tafsir al-Baidhawi, karya Ibnu ‘Umar al-Baidhawi (w. 685 H/1286 M) dan Syarh Shahih Muslim, karya an-Nawawi (w. 676 H/1277 M).
Pada abad 18, Muhammad Arsyad al-Banjar (w. 1227 H/1812 M) yang menulis kitab Sabil al-Muhtadin, merupakan kitab fiqh ibadah. Sumber utama kitab ini adalah karya-karya Zakaria al-Anshari, Syams ad-Din ar-Ramli, Ibnu Hajar al-Haitami, asy-Syarbini yang judul-judulnya telah disebutkan terdahulu. Begitu pula  Dawud bin ‘Abdullah al-Fatani (w. setelah 1259 H/1843 M) sejumlah kitab fiqh, Bughyat ath-Thullab, Furu’ al-Masa-il, Jami’ al-Fawa-id, Hidayat al-Muta’allim, Nahj ar-Raghibin dan lain-lain. Al-Fatani, seperti ulama’-ulama’ di Indonesia-Melayu sebelumnya juga menjadikan seluruh karya-karya ulama’ Syafi’iyyah asal Timur Tengah tadi sebagai sumber utama dalam kitab-kitabnya. 
Kitab yang ditulis oleh ar-Raniri dan as-Sinkili merupakan kitab yang judulnya berbahasa ‘Arab ditulis dengan bahasa Melayu adalah kitab fiqh relatif sangat lengkaf yang pertama sekali ditulis di Nusantara. Di komunitas santri di dunia Indonesia-Melayu, kedua kitab ini dan kitab karya al-Banjar, al-Fatani sangat populer di lingkungan komunitas tersebut. Mulainya menyurut ketika kitab-kitab fiqh berbahasa Indonesia dan Melayu modern mulai muncul di tengah masyarakat pada abad 20 ini. Bersamaan dengan popularitas penggunaannya, bisa dipastikan pula bahwa tokoh-tokoh dan kitab-kitab madzhab asy-Syafi’I yang mereka gunakan sebagai rujukan turut juga menjadi populer; dan mendorong kalangan santri untuk membawa dan mendatangkan kitab-kitab tersebut dari Timur Tengah untuk digunakan di Indonesia.
Telah dijelaskan sebelumnya di atas bahwa, pondok pesantren di Indonesia baru diketahui keberadaan dan perkembangannya setelah abad ke-16. Bisa ditarik benang merahnya, bahwa tradisi kitab kuning di Indonesia sejalan dengan mulainya berkembang dan mapannya pesantren-pesantren, surau-surau dan pondok-pondok sebagai institusi pendidikan Islam tradisional di berbagai daerah di Nusantara, yakni sejak awal abad ke-19.
Dari sekian perkembangan yang telah diterangkan di atas, jelas bahwa institusi-institusi pendidikan Islam tradisional itu sendiri didorong oleh semangat perlawanan secara diam (silent opposition) terhadap kolonialisme Eropa – setelah perlawanan bersenjata yang dilancarkan oleh masyarakat Muslim dilumpuhkan kaum kolonialis. Para ulama’ dan kaum santri kini memusatkan perhatian kepada pengembangan pendidikan Islam. Meningkatnya kebutuhan dan penyebaran surau-surau dan pondok pesantren. Pada akhir abad 19 ini, naskah-naskah kitab kuning begitu banyak dan tersimpan di berbagai mesium baik di dalam ataupun di luar ataupun dipelihara individu-individu.
Selain itu, berdasarkan periode pengarang (mushanif) sebelum atau sesudah abad ke-19 M, kitab kuning dapat dikelompokkan menjadi dua:
Pertama, al-Kutub al-Qadîmah, kitab klasik salaf. Semua kitab ini merupakan produk ulama’ pada sebelum abad ke-19 M. Ciri-ciri umumnya adalah: 1) Bahasa pengantar seutuhnya bahasa klasik, terdiri atas sastra liris (nadzam) atau prosa liris (natsar); 2) Tidak mencantumkan tanda baca, seperti koma, titik, tanda seru, tanda tanya dan sebagainya; 3) Tidak mengenal pembabakan alinea atau paragraf. Sebagai penggantinya adalah jenjang uraian seringkali disusun dengan kata kitabun, babun, fashlun, raf’un, tanbih dan tatimmatun; 4) Isi kandungan kitab banyak berbentuk duplikasi dari karya ilmiah ulama’ sebelumnya. Kitab sumber diperlukan sebagai matan, yang dikembangkan menjadi resume (mukhtashar atau khulashah), syarah, taqrirat, ta’liqat dan sebagainya; dan 5) Khusus kitab salaf yang beredar di lingkungan pesantren si pengarang harus tegas berafiliasi dengan madzhab sunni, terutama madzhab arba’ah. Sedangkan, kitab salaf yang pengarangnya tidak berafiliasi dengan madzhab sunni hanya dimiliki terbatas oleh kiyai sebagai studi banding.
Kedua, al-Kutub al-‘Ashriyyah. Kitab-kitab ini merupakan produk ilmiah pada pasca abad ke-19 M. Ciri-cirinya, adalah: 1) Bahasanya diremajakan atau berbahasa populer dan diperkaya dengan idiom-idiom keilmuan dari disiplin non-syar’i. Pada umumnya karangannya berbentuk prosa bebas; 2) Teknik penulisan dilengkapi dengan tanda baca yang sangat membantu pemahaman; 3) Sistematika dan pendekatan analisisnya terasa sekali dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan umum pada zamannya; dan 4) Isi karangan merupakan hasil studi literer yang merujuk pada banyak buku dan seringkali tidak ada keterikatan dengan paham madzhab tertentu.
Penyebaran KK secara lebih luas berkaitan dengan dua hal, yaitu: a) Lancarnya transportasi laut ke Timur Tengah dalam dekade-dekade terakhir abad 19; dan b) Percetakan besar-besaran yang di mulai terhadap kitab-kitab beraksara ’Arab pada waktu yang berbarengan. Dua hal ini yang memungkinkan kepada jama’ah haji Indonesia, yang jumlahnya terus meningkat itu untuk membawa KK ketika mereka pulang ke tanah air Indonesia. Namun juga bukan karena itu saja, tetapi juga di karenakan para pelajar Indonesia yang belajar ke negara-negara yang berkembang keilmuan Islam-nya, baik di Timur Tengah ataupun di daerah-daerah lainnya.

D. Epistemologi Pesantren – Kitab  Kuning
Secara leteral, epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme, yang berarti pengetahuan. Terdapat tiga persoalan pokok dalam bidang ini: pertama, apakah sumber-sumber pengetahuan itu?... Manakah pengetahuan yang benar itu dan bagaimana kita mengetahuinya?...; kedua, apakah sifat dasar pengetahuan itu?... Apakah ada dunia yang benar-benar berada di luar pikiran kita dan kalau ada, apakah kita dapat mengetahuinya?... Ini adalah persoalan tentang apa yang kelihatan (phenomenia/appearance) versus hakikat (noumena/essence); dan ketiga, apakah pengetahuan kita itu benar (valid)?... Bagaimanakah kita dapat membedakan yang benar dari yang salah?... Ini adalah persoalan mengkaji kebenaran atau verifikasi. Epistemologi juga berasal dari bahasa Inggris emotional yang berarti bagian dari ilmu filsafat yang membahas tentang asal usul sesuatu.
Epistemologi juga dapat diartikan sebagai ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu pngetahuan. Atau berarti penyelidikan teori tentang asal-muasal, batas-batas dan kesahihan pengetahuan. Dalam linguistik dihubungkan dengan masalah metabahasa dan status logika dan bahasa. Berdasarkan pengertian tersebut, epistemologi dapat dijadikan dua kategori, yaitu: epistemologi klasik dan epistemologi kontemporer. Epistemologi klasik adalah epistemologi yang menekankan aspek sumber dari ilmu pengetahuan. Sedangkan, epistemologi kontemporer adalah epistemologi yang menekankan pembahasan pada bagaimana proses, prosedur dan metodologi digunakan untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Definisi yang terakhir ini, yang dikemukakan oleh Azyumardi Azra lebih mendekati dari apa-apa yang akan dibahas dalam pembahasan ini.
Dengan dua pengertian tersebut epistemologi telah memberikan andil dan perspektif dalam pendidikan, yang berkenaan dengan peletakan dasar pemikiran mengenai kurikulum dan dasar-dasar keilmuan serta metodologi pembelajarannya. Karenanya, epistemologi dapat dimasukkan ke dalam wilayah analisis mengenai jaringan nalar keilmuan pada berbagai lembaga-lembaga pendidikan, termasuk dunia pendidikan Islam. Dengan demikian, apabila epistemologi dikaitkan dengan masalah pendidikan, maka epistemologi akan bersentuhan dengan masalah kurikulum, terutama dalam hal penyusunan dasar-dasar epistemologi kurikulum. Dalam struktur ini termasuk juga epistemologi buku-buku teks yang digunakan, metode pengajaran dan segala proses keilmuan terdapat dalam lembaga pendidikan.
Epistemologi pesantren – KK, telah dijelaskan sekilas pada latar belakang yang lalu, bahwa dalam konteks ini, pesantren sebagai lembaga pendidikan mempunyai watak utama, yaitu sebagai lembaga pendidikan yang memiliki ciri-ciri khas. Karena, pesantren memiliki tradisi keilmuan yang berbeda dengan tradisi keilmuan lembaga-lembaga pendidikan lainnya, seperti madrasah atau sekolah. Salah satu ciri utama pesantren sebagai pembeda dengan lembaga pendidikan lain, adalah pengajaran kitab kuning, kitab-kitab Islam klasik yang ditulis dalam bahasa ’Arab baik yang ditulis oleh para tokoh muslim ’Arab maupun para pemikir muslim Indonesia.
Namun, dalam kajiannya pesantren terkadang bukan lagi lembaga yang menganut hal-hal tradisional, yang mengkaji kitab-kitab klasik saja, tapi lebih mengkedepankan hal-hal material. Epistemologi pesantren di samping memberikan kajian-kajian ilmiah dari wahyu Allah dan as-Sunnah Shahihah, artinya memerlukan adanya sistem yang mendukung dalam hal ini. Terkadang kurikulum yang diadakan pada pesantren tidaklah mendukung adanya SDM yang bisa mengkedepankan hal-hal yang bersifat sekedar pengajian kitab-kitab klasik saja, tetapi memerlukan kurikulum yang lain dalam mendukung pengembangan ilmu pengetahuan, sejalan dengan adanya kerjasama antara satu sisi dengan yang lainnya. Lembaga yang menaungi dalam hal demikian itu juga terkadang melihat sejauh mana kemampuan setiap instasi pesantren itu sendiri. Lembaga pesantren yang notabene mengkaji hal-hal di atas, telah amat sedikit dalam penguasaannya, kemunduran dalam hal mengkaji ilmu bahasa, di karenakan kurang dari minat para pelajar (santri) itu sendiri, akibatnya SDM di setiap pesantren berkurang keilmuannya, artinya cendikia Muslim dan para pemikir Islam, kurang perhatian dalam mengembangkan keilmuan di setiap pondok, begitu juga bila pesantren itu sendiri tidak ada kaderisasi dalam pengembangan keilmuan Islam, khususnya dalam menguasai kitab kuning (nahwu dan sharafnya), ataupun kiyai-kiyai, ustadz-ustadz/ah kurang dalam penguasaannya.
Kurang perhatiannya terkadang pada pengasuh pesantren itu sendiri, kita contohkan pesantren yang tertua di Sumatera Selatan, yakni Pondok Pesantren Nurul Islam Seribandung, Palembang. Yang mana pada awal berdirinya pondok ini menganut sistem pembelajaran salafi, dengan mengkaji kitab-kitab tertentu (KK), Kitab kuning sebagai kurikulum pesantren ditempatkan pada posisi istimewa. Karena, keberadaannya menjadi unsur utama dan sekaligus ciri pembeda antara pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya.
Pada pesantren Seribandung kitab yang diajarkan meliputi beberapa bidang kajian: al-Qur’an, tafsir, hadits, ilmu hadits, bahasa ’Arab, balaghah, tarikh, falak, fiqh dan ushul fiqh, tauhid/aqidah, akhlak, nahwu dan sharaf, ’arudh, faraidh, tashawuf dan manthiq. Kitab-kitab kuning yang digunakan berdasarkan pola tingkatan. Pada tingkat dasar kitab yang digunakan masih bersifat elementer dan relatif mudah dipahami. Misalnya, Tijan ad-Darari (tauhid); Riyadh al-Badi’ah, Tanqih al-Qaul, Safinah an-Najah, Fiqh Awal wa Tsani (fiqh); Taisir Khalaq dan Adab asy-Syar’iyyah (akhlak); Hidayah al-Mustafid, Tajwid al-Wadhih (tajwid karangan pondok itu sendiri); Arbai’n an-Nawawiyah (hadits); Matan al-Bina’ (sharaf); Matan al-Ajurumiyah (nahwu). Pada tingkat menengah kitab yang digunakan, yaitu: Fath al-Qarib (fiqh); Waraqat (usul fiqh); Kifayah al-’Awwam (tauhid); Kawakib dan al-Fiyah Ibnu Malik (nahwu); Matan al-Bina’ dan Kaelani (sharaf); serta Hidâyah al-Mustafid (tajwid); Tafsir al-Jalalain (tafsir); Faidhah al-Khabir (usul tafsir); Jawhir al-Bukhari (hadits); Manzhumah al-Baiquniyyah dan Minhat al-Mughits (musthalah al-hadits); Sulam al-Munawaraq dan  Idhah al-Mubham (manthiq); Taqrib al-Maqshad (falakiyah); an-Nafatul Hasaniyah dan Matan Rahbiyah (faraidh); Mukhtashar Safiy (’arudh). Pada tingkat atas kitab yang digunakan, yaitu: Tafsir Ayat al-Ahkam (tafsir); Subulus Salam, Bulugh al-Maram dan Riyadh ash-Shalihin (hadits); Minhat al-Mughits (musthalah hadits), Hud-Hudi (tauhid); I’anah ath-Thalibin dan Fath al-Mu’in (fiqh); Waraqat dan as-Sulam (ushul fiqh), Atsmawi dan Qathru an-Nada’ (nahwu); Kaelani (sharaf); Qawaidh al-Lughah al-’Arabiyyah (Balaghah). Keistimewaan pondok ini adalah ilmu-ilmu kajian kitab kuningnya –mendalam ketika itu– dan ketika para santri ingin melanjutkan ke pondok atau sekolah-sekolah atas lainnya. Pelajaran pondok ini setingkat dengan Perguruan Tinggi pada saat itu.
Pengajaran kitab-kitab kuning pada pesantren Seribandung tampak sulit diprediksi kapan selesai diajarkan kepada para santrinya. Karena, isi kitab-kitab itu sangat banyak, tebal, beratus-ratus, meski ada pula yang tipis. Misalnya, kitab Kawakib (nahwu), diajarkan pada Madrasah Tsanawiyah kelas I hingga kelas 2. Berdasarkan pertimbangan teologis-epistemologis fenomena ini tidak dapat dilepaskan dari prinsip pesantren Seribandung yang memiliki kaitan dengan paham Ahlu as-Sunnah. pemahaman ini yang mempunyai tradisi, bahwa materi ‘aqidah, syari’ah dan ilmu bersambung dengan ulama’-ulama’ klasik, khususnya lingkaran madzhab Syafi’i. Oleh karena itu, kitab-kitab kuning yang diajarkan merupakan upaya menyambung tradisi Islam klasik, yang dianggap mata rantainya sampai Rasullullah SAW.
Namun, pada akhir tahun ini (2007 M.), terjadi kemorosatan pengkajian kitab-kitab kuning, yang mana kurangnya SDM serta hilangnya ilmu bersamaan hilangnya ulama’ atau kiyai –sebagai referensi keilmuan Islam di sana– dalam mengembangkan dan meneruskan pengkaderan pada dunia Islam/keilmuan Islam yang hampir hilang. Disamping itu juga, santri yang kurang minat dalam hal mengkaji kitab-kitab klasik, entah mengapa, epistemologi pesantren yang demikian akan kian surut, sejalan dengan pengasuhnya yang kurang perhartian terhadap keilmuan di pesantrennya dan para ilmuan Islam lainnya di Indonesia.
Artinya, epistemologi pesantren – KK,  harus ada pemerhati dalam hal ini, menjadi SDM yang mukhlish itu sangat sulit, makanya perlu sekali doktrin-doktrin yang harus didalami lagi, bagi setiap pesantren yang ada.
Dalam konteks KK, pembahasan mengenai semua hal ini sangat kompleks dan rumit. Namun dalam dan untuk kepentingan praktis, Azyumardi Azra dalam hal ini, membahas dengan cara yang umum saja. Titik esensi dan sumber pokok dari diskursus KK sebagai literatur keagamaan Islam tak bisa tidak adalah wahyu Allah SWT yang di sampaikan kepada Nabi SAW, sehingga berwujud al-Qur’an. Esensi dari sumber  pokok ini dilengkapi dengan sumber yang kedua, yaitu as-Sunnah Rasul SAW.
Wahyu yang datangnya dari Allah SWT , termasuk kedalam sumber pengetahuan yang mutlak. Sedangkan yang datangnya dari Rasul merupakan sember diskursus KK berada pada level dari segi kemutlaknnya, khususnya hadits shahih mutawatir. Jelasnya, bahwa keduanya bukan hanya satu-satunya diskursus KK. Akal kemudian memainkan peran penting dalam diskursus KK. Akal dalam batas-batas tertentu memainkan peran yang tidak bisa di kesampingkan dalam menafsirkan, mengambangkan, memperjelas dan merinci apa yang diperoleh melalui wahyu dan hadits. Akal tidak lain bukan sesuatu yang mutlak, tapi hanya sekedar ijtihad semata, yang bisa benar ataupun salah.
Dalam dunia epistemologi, sampai saat ini para filosof masih berselisih pendapat tentang cara-cara memperoleh ilmu pengetahuan. Dari polemik tersebut, lahir beberapa pendapat atau aliran di antaranya skeptisme, academic doubt (aliran keraguan), emperisme, rasionalisme dan intuisisme. Terlepas dari aliran-aliran tersebut, al-Qur’an menawarkan metode ilmiah yang realities, jauh dari perdebatan teoritis dan hipotesis yang menyebabkan perbedaan pemikiran dan pemahaman. Metode ini ditopang dengan dua faktor:
Menggunakan dan memanfa’atkan pengalaman orang lain, baik kalangan generasi dulu maupun sekarang; dan
Menggunakan akal dalam upaya mencari kebenaran agar memperoleh petunjuk atau hidayah.
Dari dua hal di atas terkait dengan epistemologi KK, bahwa akal memainkan perannya dalam upaya menjelaskan atau seterusnya dalam perkembangannya, tidak menyimpang dengan pokok sumber utama dan kedua dari ajaran Islam dan ilmu-ilmu pendukung lain.
Ulama’ atau pemikir asli Indonesia dan tulisan-tulisan KK-nya merupakan epistemologi yang berpijak pada hasil-hasil  pemikiran ulama’ yang di akui otoritasnya. Secara implicit menunjukkan metode ilmiah yang menjadi salah satu aspek penting dari pembahasan epistemology itu sendiri, sebagaimana dikemukakan di atas. Ini merupakan salah satu cara untuk menunjukkan validitas atau keshahihan dari diskursus yang dikemukakan dalam KK.
Sebagai teori pengetahuan ilmiah, epistemologi berfungsi dan bertugas menganalisis secara kritis prosedur yang ditempuh ilmu pengetahuan dalam membentuk dirinya. Tetapi ilmu pengetahuan harus ditangkap dalam pertumbuhannya. Sebab, ilmu pengetahuan yang berhenti akan kehilangan kekhasannya. Jadi, jika dikaitkan dengan KK yang berpijak kepada pengetahuan ilmiah, apa-apa yang ditulis oleh ulama’-ulama’ Timur Tengah atau ulama’-ulama’ dan pemikir Indonesia. Menunjukan bahwa KK sangat di perlukan disiplinnya dalam fungsinya yang sebenarnya.
Menyibak dalam kesahihan itu juga diungkapkan melalui penggunaan isnad atau silsilah keilmuan. Dalam silsilah ini diungkapkan mata rantai ranji-ranji antara murid dan sang guru dalam transmisi keilmuan. Bila pada silsilah isnad  tersebut terdapat figur-figur yang masyhur, maka akan semakin otoritatiflah silsilah atau isnad tersebut dan sebagai konsekuensi, semakin shahih pulahlah diskursus yang disampaikan melalui karya bersangkutan. Isnad seperti ini biasanya disebut sebagai isnad al-‘ali (superior isnad). Terdapat beberapa ulama’ Indonesia yang menggunakan metode ini, termasuk as-Sinkili, Mahfuzh at-Termasi dan terakhir sekali adalah M. ‘Isa bin Yasin al-Padangi (w. 1990).
KK dan Pengelola pesantren memiliki pandangan yang kurang “bersahabat” dengan “huruf Latin”; sementara perpustakaan secara umum lebih identik dengan buku-buku berhuruf Latin. Kita telah mafhum bahwa pesantren adalah institusi yang lebih berkonsentrasi pada pengembangan ilmu-ilmu keagamaan yang terutama berbasis kitab kuning dan menggunakan bahasa ’Arab. Di kalangan pesantren sendiri, bahasa ’Arab diposisikan secara relatif “agak suci”, karena bahasa ’Arab adalah bahasa al-Qur’an. Sementara itu, huruf Latin dipandang, meski tidak secara eksplisit, membawa pengetahuan dan sistem epistemologi yang bersifat “asing” dan pada titik tertentu dapat mengancam keutuhan warisan pengetahuan berbasis huruf ’Arab. Mungkin pula ada semacam sisa-sisa stigma negatif, bahwa huruf Latin itu dibawa oleh para penjajah Belanda yang notabene kaum kafir. Kutipan berikut, meski ditulis dengan gaya personal, menggambarkan hal tersebut:
”Aku tidak tahu persis apa yang dibaca oleh anakku itu. Apa pun yang mengalir dalam sungai huruf Latin itu, aku anggap tak begitu penting. Pengetahuan sejati ada dalam kitab-kitab berhuruf ’Arab. Itulah sungai yang jelas hulunya, dan ke mana alirannya bermuara. Aku menerima seluruh ilmu dari ayah mertua melalu jalan yang jelas dan pasti. Jalan itu disebut sanad, yang berarti sandaran. Aku jadi ingat pujian kepada Nabi itu: Ya Rasulallahi Ya Sanadi/Anta Babullahi Mu‘tamadi (Hai utusan Tuhan, Engkaulah sandaranku/Engkau pintu Tuhan; Engkaulah peganganku).”
Pasase tersebut di atas juga menggambarkan salah satu kekhasan epistemologi tradisi keilmuan pesantren, yakni sangat dihargainya mata rantai (genealogi) intelektual yang jelas dalam sistem pewarisan suatu ilmu atau riwayat; bahwa muara dari suatu ilmu yang dipelajari itu dapat dilacak hingga dapat disandarkan kepada sumber utama teks (ulama’ terkemuka di zaman dahulu), atau bahkan kepada Nabi itu sendiri. Sementara itu, hal semacam ini tidak dimiliki oleh sistem epistemologi tradisi keilmuan yang diperkenalkan lewat buku-buku berhuruf Latin itu.
Perlu dikemukakan kembali, bukanlah perkara yang mudah dalam orisinilitas diskursus suatu karya keilmuan, apalagi di lapangan keilmuan agama, yang di batasi oleh pola dan batasan-batasan yang relatif baku, seperti terlihatnya misalnya dalam setiap diskursus mengenai fiqh atau bahkan kalam. Sehingga, karya-karya keilmuan yang datang belakangan terlihat seolah-olah hanya “mengulang” apa yang pernah ditulis dan disampaikan para ulama’ penulis dahulu.
   Hampir tidak diragukan kembali KK mempunyai peran besar tidak hanya transmisi ilmu pengetahuan Islam, bukan hanya di kalangan komunitas santri ataupun pesantren, tetapi di tengah masyarakat Muslim Indonesia secara keseluruhan. KK yang ditulis oleh pemikir-pemikir Muslim yang berintelektual tinggi – merupakan refleksi perkembangan intelektualisme dan tradisi keilmuan Islam Indonesia – bahkan, dalam batas tertentu. Upaya memahami KK. Kajian-kajian secara mendalam, baik secara filologis, hermeneutik dan sistematis, baik pada tingkat lingkungan pesantren sendiri maupun ketingkat-tingkat atas, seperti IAIN dan sebagainya. 


Catatan Kaki:
1 http://abdullah-ubaid.blogspot.com/2008/08/pesantren-dan-kitab-kuning-adalah-dua.html, ‘Reinventing’ Kitab Kuning dalam Tradisi Pesantren. Baca juga: Abdurrahman Wahid, Nilai-Nilai Kaum Santri dalam M. Dawam Rahardjo, Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun dari Bawah, P3M; 1985, Jakarta.
2 Ibid.
 Aksara Jawi adalah huruf ‘Arab yang dipakai untuk menuliskan bahasa Melayu. Lihat Amir F. Hidayat dan Elis N. Rahmani AR., Ensiklopedi Bahasa-Bahasa Dunia Peristilahan dalam Bahasa, CV. Pustaka Grafika; Cet. 1, 2006, t.tp, hlm. 20.
 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, PT. Logos Wacana Ilmu; Cet. 5, 2003 M/1424 H, Jakarta, hlm. 111.
 http://www.averroes.or.id/research/struktur-keilmuan-pesantren-studi-komparatif-antara-pesantren-tebuireng-jombang-dan-mu%E2%80%99allimin-muhammadiyah-yogyakarta.html, Struktur Keilmuan Pesantren: Studi Komparatif antara Pesantren Tebuireng Jombang dan Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. Baca juga: Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren, LkiS; 2001, Yogyakarta, hlm. 157.
 Pengertian kitab kuning seperti ini sengaja penulis melakukan mengingat realitas di pesantren, bahwa kitab-kitab yang diajarakan di pesantren itu meliputi karya-karya pemikir muslim Indonesia, seperti karya Syaikh Nawawi al-Bantani.
 Dalam penelitian ini pengertian epistemologi tersebut dijadikan pijakan dasar. Karena itu, peneliti mengasumsikan epistemologi sebagai struktur keilmuan. Lihat http://www.averroes.or.id/research/struktur-keilmuan-pesantren-studi-komparatif-antara-pesantren-tebuireng-jombang-dan-mu%E2%80%99allimin-muhammadiyah-yogyakarta.html, Loc.Cit.
 http://uharsputra.wordpress.com/, Dunia Pesantren. Lihat juga: Departemen Agama RI., Pola Pembelajaran di Pesantren, Mizan; 2003, Jakarta, hlm. 10.
 H.M. Sulthon  Masyhud dkk., Manajemen Pondok Pesantren, Diva Pustaka; Cet. 1, 2003, Jakarta, hlm. 1.
 Khamami Zada, dkk., Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, Seri 1, Mastuki HS., dan M. Ishom El-Saha (ed.), Diva Pustaka; Cet. 2, 2004, Jakarta, hlm. 8.
 Baca cerita selengkapnya dalam buku Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, Seri 1.
 Martin Van Bruinessen,  Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Kalimah; 1995, Bandung, hlm. 17. Lihat http://uharsputra.wordpress.com/, Loc.Cit.
 Ibid.
 Khamami Zada, dkk., Op.Cit., Seri 1, hlm. 17.
 Khamami Zada, dkk., Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, Seri 3, Mastuki HS., dan M. Ishom El-Saha (ed.), Diva Pustaka; Cet. 2, 2004, Jakarta, hlm. 3.
 http://www.damandiri.or.id/file/ahmadsuyutiunairbab2.pdf.
 Secara generik santri di pesantren bermakna seseorang yang mengikuti pendidikan di Pesantren, dan dapat dikelompokkan pada dua kelompok besar, yaitu: 1) santri mukim; dan 2) santri kalong. Santri mukim adalah para santri yang datang dari tempat yang jauh sehingga ia tinggal dan menetap di pondok (asrama) pesantren. Sedangkan santri kalong adalah para santri yang berasal dari wilayah sekitar pesantren sehingga mereka tidak memerlukan untuk tinggal dan menetap di pondok, mereka bolak-balik dari rumahnya masing-masing pesantren ini dikenal adanya masa penerimaan santri baru serta adanya seleksi bagi para calon santri itu serta adanya kesamaan dan keseragaman (unifikasi) waktu yang ditempuh oleh santri yang satu dengan santri yang lain pada jenjang pendidikan yang sama. Lihat  http://uharsputra.wordpress.com/, Loc.Cit.
 http://www.damandiri.or.id/file/ahmadsuyutiunairbab2.pdf, Loc.Cit.
 Baca selengkapnya: Soegarda Poerbakawatja, Ensiklopedi Pendidikan, PT. Gunung Agung; 1976, Jakarta, hlm. 233 (pesantren) dan hlm. 240 (pondok).
 Hidayah: Sebuah Intisari Islam, Tahun 3-Edisi 27-Rajab/Sya’ban 1424 H/Oktober 2003, PT. Variapop Group, t.t., hlm. 82.
 Bahasa ‘Arab adalah sebuah bahasa Semitik yang muncul dari daerah yang sekarang termasuk wilayah negara ‘Arab Saudi. Bahasa ‘Arab/’Arabiyyah, status resmi merupakan bahasa resmi 24 negara termasuk ‘Arab Saudi, ‘Iraq, Israil, Libanon, Libya, Mesir, Palestina, Suriah dan lain-lain. Lihat dan baca: Amir F. Hidayat dan Elis N. Rahmani AR., Op.Cit., hlm. 29-30.
 Aksa ‘Arab adalah aksara yang mula-mula dipakai untuk menuliskan bahasa ‘Arab. Diturunkan dari aksara Aramea; peninggalan tertua beraksara’Arab berasal dari tahun 512 M.; dalam penyebarannya juga dipakai untuk menuliskan bahasa-bahasa lain, seperti bahasa Urdu, bahasa Melayu, bahasa Jawa; dituliskan dari kanan ke kiri. (Ibid., hlm. 19).
 Azyumardi Azra, Loc.Cit.
 http://www.mampir-gdien.com/.
  http://jogoboyo.wordpress.com/2007/07/01/kitab-kuning/, KitabKuning.
 Kitab Gondol lughat Palembang-Sumatera Selatan dengan menggantikan huruf atau bunyi U menjadi huruf atau bunyi O. Atau ejaan yang semisalnya/daerahnya yang sama.
 Hemat penulis, walaupun sudah diberi syakal, agar mudah memahaminya, tapi tetap saja ilmu pendukung diperlukan, yakni ilmu bahasa, terdiri dari ilmu Lughah, Nahwu, Sharaf, Balaghah, Ma’ani, Bayan, Badi’, Manthiq dan ‘Arudh.
 Turats secara harfiah berarti sesuatu yang ditinggalkan/diwariskan. Di dunia pemikiran Islam, turats digunakan untuk kekayaan khazanah intelektual Islam klasik yang diwariskan oleh para pemikir tradisional. Istilah turats yang berarti khazanah tradisional Islam merupakan asli ciptaan bahasa ‘Arab kontemporer. Lihat Yusuf Fatawie, http://www.kediamankedamaian.co.cc/2008/09/metode-baru-memahami-kitab-kuning-oleh.html, Metode Baru Memahami Kitab Kuning.
 Fariz al-Nizar, http://farizalnizar.blogspot.com/2008/11/kitab-kuning-buku-dan-fanatisme.html, kitab kuning, buku dan fanatisme.
 H.M. Sulthon  Masyhud dkk., Op.Cit., hlm. 90. Lihat dalam catatan kakinya H. Horikoshi, Kiai dan Perubahan Sosial, Umar Basalim dkk. (terjemahan), P3M; 1987, Jakarta, hlm. 232. 
 H.M. Sulthon  Masyhud dkk., Loc.Cit. Lihat juga dalam catatan kakinya sebagai rujukan Abudin Nata (ed.), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, PT. Grasindo; 2001, Jakarta, hlm. 112.
 Dalam sejarah Islam, ilmu terus berkembang dari waktu ke waktu. Ia berkembang semakin dinamis, silmutan dan kompleks. Pada zaman keemasan Islam, ilmu digolongkan ke dalam empat konsorsium: 1) bahasa ‘Arab, lengkap dengan perkembangannya, seperti nahwu, sharaf, balaghah dan ilmu bahasa; 2) ilmu syari’ah, meliputi tafsir, hadits dan musthalah al-hadits, fiqh dan ushul fiqh, ilmu kalam yang kemudian berkembang menjadi aliran Ahli Sunnah wa al-Jama’ah, khawarij, mu’tazilah, jabariyah, murji’ah, maturidiyah dan asy’ariyah; 3) sejarah, yang semula berisi peristiwa-peristiwa peperangan dan kejadian-kejadian keagamaan yang bernilai monumental, terutama sejarah Nabi. Kemudian berkembang menjadi sejarah bangsa-bangsa; dan 4) al-hikmah dan falsafat, meliputi manthiq (logika), alam (kedokteran, ilmu hewan dan pertanian), ilmu pasti (matematika, ilmu ukur, mekanika, falak dan geografi) dan ilmu ketuhanan (teologi).
Setiap sub-disiplin ilmu tersebut ada “bibitnya” dalam al-Qur’an. Namun, kebutuhan terus berkembang dan pemikiran manusia semakin maju pula. Akibatnya, perkembangan ilmu pada zaman modern tidak berjalan secara linear dan konvensional, melainkan multi linear, sulit diprediksi, kompleks, serentak atau simultan, maka, keempat bidang tersebut kini terasa tidak mencukupi lagi. Lihat Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam: Strategi Budaya Menuju Masyarakat Akademik, Logos Wacana Ilmu; Cet. 2, 1999 M/1420 H, Jakarta, hlm. 220-221.
 Khamami Zada, dkk., Op.Cit., Seri 1, hlm. 2.
 Baca selengkapnya: Hasbi Indra, Pesantren dan Transformasi Sosial: Studi atas Pemikiran KH. Abdullah Syafi’ie dalam Bidang Pendidikan Islam, Penamadani; Cet. 1, 2003, Jakarta, 148-151.
 Muhammad M. Basyuni, Revitalisasi Spirit pesantren: Gagasan, Kiprah dan Refleksi, Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesanten Dirjen Pendis Depag RI; 2006, Jakarta, hlm. 123.
 Penyebutan ilmu pengetahuan umum oleh penulis di sini semata-mata hanya untuk mempermudah pemahaman, dan tidak sama sekali bermaksud terjebak pada perdebatan dikotomi ilmu agama dan ilmu umum dalam pendidikan Islam.
 Azyumardi Azra, Op.Cit., hlm. 111-112.
 http://taufik79.wordpress.com/2008/11/27/mengkaji-kitab-kuning-di-zaman-serba-instan-1/, Mengkaji Kitab Kuning di Zaman Serba Instan (1).
 Ibid.
 Azyumardi Azra, Op.Cit., hlm. 112.
 Ibid.
 Haramain (Makkah dan Madinah) dalam sejarah Islam adalah pusat intelektual dunia Islam. John O. Voll (1980) pernah menyebut kegiatan intelektual yang terjadi di Makkah dan Madinah sebagai jaringan ulama’ (networks of the ulama). Di situlah terjadi proses transmisi keilmuan Islam secara lebih intens dalam bentuk halaqah-halaqah, madrasah-madrasah, kuttab dan zawiyah yang diselenggarakan oleh sejumlah ulama’ terkemuka di Haramain. Karena itu Haramain sebagai tempat lahirnya Islam tidak dapat dipisahkan dari transmisi keilmuan Islam yang disebarkan ke kawasan-kawasan lain, termasuk Nusantara. Khamami Zada, dkk., Op.Cit., Seri 1, hlm. 2. 
 Ibid.,  Seri 1, hlm. ix.
 http://www.mampir-gdien.com/, Loc.Cit.
 Azyumardi Azra, Loc.Cit.
 Dia bernama lengkap Nur ad-Din Muhammad bin Ali bin Hasanji al-Hamid (atau al-Humaid) asy-Syafi’I al-Asy’ari al-Aydarusi ar-Raniri. Ia dilahirkan di Ranir (Randir), sebuah kota pelabuhan tua di Pantai Gujarat, sekitar pertengahan ke-2 abad XVI M. Baca selengkapnya, Khamami Zada, dkk., Seri 1, Op.Cit., hlm. 53.
 Sejumlah karyanya, P. Voorhoeve mencatat terdapat 29 kitab, salah satu di antaranya yakni kitab ash-Shirath al-Mustaqim. Kitab ini berbahasa Melayu. (Ibid., Seri 1, hlm. 65).
 Kitab ini ditulis atas permintaan Sultanah Shafiyat ad-Din dan diselesaikan pada tahun 1074 H/1663 M. Merupakan karya pertama ulama’ Melayu Nusantara di bidang fiqh mu’amalah, tidak kurang dari 22 kitab karyanya. (Ibid., Seri 1, hlm. 90 dan 91).
 Azyumardi Azra, Op.Cit., hlm. 113.
 Ibid., dan lihat juga Khamami Zada, dkk., Seri 1, Op.Cit., hlm. 91.
 Kitab ini sangat populer hingga sekarang (edisi tulisan latinnya juga belum lama diterbitkan), juga menggunakan kitab-kitab standar madzhab asy-Syafi’I yang telah disebutkan sebelumnya pada pembahasan tentang ar-Raniri.
 Azyumardi Azra, Loc.Cit.
 Telah dijelaskan sebelumnya, secara umum, kitab kuning dipahami oleh beberapa kalangan sebagai kitab referensi keagamaan yang merupakan produk pemikiran para ulama pada masa lampau (as-salaf) yang ditulis dengan format khas pra-modern, sebelum abad ke-17-an M. Lebih rinci lagi, kitab kuning didefinisikan dengan tiga pengertian. Pertama, kitab yang ditulis oleh ulama’-ulama’ asing, tetapi secara turun-temurun menjadi referensi yang dipedomani oleh para ulama’ Indonesia; Kedua, ditulis oleh ulama’ Indonesia sebagai karya tulis yang independen; dan Ketiga, ditulis ulama’ Indonesia sebagai komentar atau terjemahan atas kitab karya ulama’ asing. Lihat Masdar F. Masudi, Pandangan Hidup Ulama’ Indonesia dalam Literatur Kitab Kuning (Makalah Pada Seminar Nasional Tentang Pandangan dan Sikap Hidup Ulama’ Indonesia), LIPI; 1998, Jakarta, hlm. 1.
Dalam tradisi intelektual Islam, khususnya di Timur Tengah, dikenal dua istilah untuk menyebut kategori karya-karya ilmiah berdasarkan kurun atau format penulisannya. Kategori pertama disebut kitab-kitab klasik (al-kutub al-qadimah), sedangkan kategori kedua disebut kitab-kitab Modern (al-kutub al-`ashriyah). Perbedaan yang pertama dari yang kedua dicirikan, antara lain, oleh cara penulisannya yang tidak mengenal pemberhentian, tanda baca (punctuation), dan kesan bahasanya yang berat, klasik dan tanpa syakal (harakat). Apa yang disebut kitab kuning pada dasarnya mengacu pada kategori yang pertama, yakni kitab-kitab klasik (al-kutub al-qadimah).
Spesifikasi kitab kuning secara umum lerletak dalam formatnya (layout), yang terdiri dari dua bagian: matan (teks asal) dan syarah (komentar, teks penjelas atas matan). Dalam pembagian semacam ini, matn selalu diletakkan di bagian pinggir (margin) sebelah kanan maupun kiri, sementara sharih, karena penuturannya jauh lebih banyak dan panjang dibandingkan matan, diletakkan di bagian tengah setiap halaman kitab kuning. Ciri khas lainnya terletak dalam penjilidannya yang tidak total, yakni tidak dijilid scperti buku. Ia hanya dilipat berdasarkan kelompok halaman (misalnya, setiap 20 halaman) yang secara teknis dikenal dengan istilah korasan. Jadi, dalam satu kitab kuning terdiri dari beberapa korasan yang memungkinkan salah satu atau beberapa korasan itu dibawa secara terpisah. Biasanya, ketika berangkat ke majelis pengkajian (pengajian), santri hanya membawa korasan tertentu yang akan di pelajarinya bersama sang kiyai. Lihat http://abdullah-ubaid.blogspot.com/2008/08/pesantren-dan-kitab-kuning-adalah-dua.html, Loc.Cit.
Selain itu, yang membedakan kitab kuning dari yang lainnya adalah metode mempelajarinya. Sudah dikenal bahwa ada dua metode yang berkembang di lingkungan pesantren untuk mempelajari kitab kuning: metode sorogan dan metode bandongan. Pada cara pertama, santri membacakan kitab kuning di hadapan kiyai yang langsung menyaksikan keabsahan bacaan santri, baik dalam konteks makna maupun bahasa (nahwu dan sharf). Sementara itu, pada cara kedua, santri secara kolektif mendengarkan bacaan dan penjelasan sang kiyai sambil masing-masing memberikan catatan pada kitabnya. Catatan itu bisa berupa syakal atau makna mufradat atau penjelasan (keterangan tambahan). Penting ditegaskan bahwa kalangan pesantren, terutama yang klasik (salafi), memiliki cara membaca tersendiri, yang dikenal dengan cara utawi iki iku, sebuah cara membaca dengan pendekatan grammar (nahwu dan sharf) yang ketat.
 Azyumardi Azra, Op.Cit.,  hlm. 114.
 Team BPS Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, 1992, hlm. 17.
 Azyumardi Azra, Loc.Cit.
 Epistemologi (Filsafat Pengetahuan) Islam sebagai wilayah diskursus filsafat mencakup dua pendekatan genetivus subyectivus (menempatkan Islam sebagai subyek) bagi titik tolak berpikir (starting point) dan genetivus obyectivus (menempatkan filsafat pengetahuan sebagai subyek yang membicarakan Islam sebagai obyek kajian). Epistemologi Islam menelaah bagaimana pengetahuan itu menurut pandangan Islam, bagaimana metodologinya, serta bagaimana kebenaran dapat diperoleh dalam pandangan Islam atau proposisi yang telah terbukti keabsahannya. Lihat Wahib Wahab, http://bahrudinonline.netne.net/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=137, Rekonstruksi Epistemologi Burhani Penyelarasan Metodologi Dalam Perspektif Al-Jabiri.
 Wahib Wahab, Loc.Cit.
 H. Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, PT. RajaGrafindo Persada – Rajawali Press; Edisi Revisi ke-13, 2009, Jakarta, hlm. 444.
 Azyumardi Azra, Op.Cit., hlm. 114.
 Lihat Amir F. Hidayat dan Elis N. Rahmani AR., Op.Cit., hlm. 88.
 Amin Abdullah, “Epistemologi Pendidikan Islam: Mempertegas Arah Pendidikan Nilai dalam Visi dan Misi Pendidikan Islam dalam Era Pluralitas Budaya dan Agama,” dalam Makalah pada Seminar dan Lokakarya Ilmu Pendidikan Islam, Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 21 Februari 2000, hlm. 1.
 http://www.averroes.or.id/research/struktur-keilmuan-pesantren-studi-komparatif-antara-pesantren-tebuireng-jombang-dan-mu%E2%80%99allimin-muhammadiyah-yogyakarta.html, Loc.Cit.
 Bersumber dari KH. Kailani (adek ipar KH. Anwar bin H. Kumpul), awal cikal-bakal pondok ini sudah ada pada tahun 1929 M., dalam bentuk pengajian kitab-kitab kuning dan awalnya pondok pesantren  ini bernama Sa’adah ad-Darain, lalu berganti nama Sekolah Nurul Islam dan terakhir barulah diresmikan dengan nama Pondok Pesantren Nurul Islam LilBanin Wal-Banat. Cerita ini penulis terima melalui beliau bersama al-Ustadz Zali Rahman.
 Pesantren ini dicetus dan didirikan oleh dua orang Syaikh, yakni asy-Syaikh Allah Yarham KH. Anwar bin H. Kumpul (alm.) dan asy-Syaikh Allah Yarham KH. Mulkan bin Thohir (alm.), pada tahun 1932 M. (Resmi dalam sebuah lembaga Pondok yang berbasis Ahlusunnah wal-Jama’ah).
 Zulkarnain Abto dkk., Laporan Hasil Penelitian Studi Orientasi Pada Pondok Pesantren Nurul Islam Putra Putri Seribandung (Disusun Dalam Rangka Perkuliahan Pembinaan Keimanan), Fakultas Ilmu Pendidikan UNSRI Palembang, 1983, hlm. 20.
 Data didapat langsung penulis berdialog kepada Kiayi Habibullah Hamdan, bulan April 2009, pukul 14.00 di kediaman beliau, tepatnya di Kompleks Maskanussalam Desa Seribandung. Beliau merupakan wakil Mudir pertama PPNI tahun 2007-hingga sekarang.
 Baca kisahnya dalam Majalah Pesan: Media Informasi dan Komunikasi antar Pesantren dan Masyarakat, LP3ES; Terbit 5 Sept-Okt 1983, Jakarta, hlm. 6.
 Azyumardi Azra, Op.Cit., hlm. 115
 Ibid.
 Ali Anwar Yusuf, Wawasan Islam, CV. Pustaka Setia; Cet. 2, 2003, Bandung, hlm. 18-19.
 Alfons Taryadi, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl R. Popper, PT. Gramedia Pustaka Utama; Cet. 2, 1991, Jakarta, hlm. 114.
 Azyumardi Azra, Op.Cit., hlm. 116.
 http://rindupulang.blogspot.com/2005/08/tradisi-membaca-di-kalangan-masyarakat.html, Tradisi Membaca di Kalangan Masyarakat Madura.
 Ulil Abshar-Abdalla, “Kitab Kawin-Mawin”, Jurnal Kalam, No. 19/2002, hlm. 122. Esai menarik ini adalah semacam refleksi pribadi Ulil atas perjalanan hidupnya baik sebagai santri maupun sebagai putra dari seorang kiai dalam bergaul dengan berbagai elemen produk kebudayaan urban
 Penghargaan terhadap kejelasan genealogi intelektual di pesantren misalnya terlihat dalam praktik penuturan mata rantai guru yang menjadi rujukan dari sebuah kitab yang sedang dipelajari, yang biasa disampaikan oleh seorang kiai setelah tamat mengajarkan suatu kitab tertentu. Biasanya perujukan bisa sampai tiba pada ulama yang menulis kitab tersebut. Praktik semacam ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh proses pengujian autentisitas hadis yang memegang teguh prinsip kejelasan sanad sehingga perujukan betul-betul dapat terbukti berujung kepada Nabi. Secara normatif, dalam Ushul Fiqh terdapat sebuah kaidah yang menyatakan bahwa sebuah teks yang perawinya, saat meriwayatkan sebuah teks, lebih mengandalkan hafalan yang disampaikan gurunya dipandang lebih kuat daripada teks yang perawinya dikenal lebih mengandalkan catatan tertulis yang diperoleh tanpa adanya seorang guru. Lihat, Sayf al-Din Abu al-Hasan ‘Ali ibn Abi ‘Ali ibn Muhammad al-Amidi, al-Ihkam fî Ushul al-Ahkam, Beirut: Dar al-Fikr, 1981, jilid ketiga, hlm. 260. Kaidah yang berkaitan dengan proses tarjih (memilah dalil-dalil yang akan digunakan dalam proses penentuan suatu hukum) ini penulis duga kemudian memengaruhi dan dipergunakan dalam tradisi pewarisan keilmuan di kalangan muslim tradisional. Syekh Muhammad Yasin ibn Muhammad ‘Isa al-Fadani al-Makki misalnya sampai menulis risalah khusus yang memuat genealogi intelektual dari setiap kitab yang dipelajarinya. Penulis menemukan dua risalah beliau, yang berjudul Asanid al-Fiqhiyyah (t.tp., t.th., t.t.) dan al-‘Aqd al-Farid min Jawahir al-Asanid, Dar al-Saqaf, Cet. 2, Surabaya t.th. Dalam dua kitab ini ditulis secara lengkap mata rantai guru yang menjadi rujukan dalam proses belajar suatu kitab, yang meliputi tidak hanya kitab hadis saja, tapi juga fikih, tafsir, tawhid, tasawuf, sejarah, nahwu, balaghah, dan sebagainya.
 Azyumardi Azra, Loc.Cit.
 Filologi adalah studi tentang naskah lama untuk menetapkan bentuk aslinya, keasliannya serta makna isinya; ilmu yang menyelidiki kebudayaan berdasarkan bahasa dan sastranya.  Lihat Amir F. Hidayat dan Elis N. Rahmani AR., Op.Cit., hlm. 93.
 Hermeneutik secara harfiah berarti menerangkan; cabang filologi untuk menerangkan isi dan makna sebuah teks. Mulanya terbatas pada teks injil; dalam sastra mengacu pada pemahaman sebuah karya sastra secara semantic tidak hanya memiliki satu arti saja sehingga si penafsir memiliki semacam kewajiban untuk menemukan arti-arti tersebut di mana sebuah teks diibaratkan sebagai kain tenunan yang merupakan jalinan benang-benang. (Ibid., hlm. 106).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar