Hadis Sohih Yang Tidak Diamalkan: Hadis Menyusui Laki-laki Dewasa[1] oleh Agus Gunawan
Memahami makna dari suatu matan hadis relatif tidak mudah. Sehingga
membutuhkan keseriusan untuk menganalisanya, hadis yang merupakan redaksi
berita dari empat belas abad yang silam kemudian dibawa oleh rangkaian orang
pembawa berita (rawî) yang sangat panjang dari satu generasi ke
generasi sangat memungkinkan adanya kesalahan, ini disebabkan ditolelirnya meriwayatkan
hadis asal mempertahankan inti konsep (riwâyah bi al-ma’na) telah
menjadikan keragaman teks matan hadis.[2]
Oleh sebab itu para ulama melakukan kritik keotentikan hadis. Selain kritik
sanad, para ulama menggunakan juga kritik matan. Pelaksanaan kritik matan hadis
pada tataran teori mudah tercapai persamaan pendapat, akan tetapi pada praktek
penerapan secara parsial, hadis demi hadis, hampir pasti terjadi perbedaan
hasil penilaian. Kesenjangan hasil verifikasi itu semakin mencolok apabila
menimpa matan hadis yang telah ditetapkan kesahîhannya.[3]
Sehingga hadis sahîh yang seharusnya ma’mulun bih di-tawaquf-kan
(tidak diamalkan).
Sebagai contoh dalam kitab Sunan al-Tirmidzî, seperti yang
dijelaskan oleh penulisnya Abû ‘Isa al-Tirmidzî, hadis-hadis dalam kitabnya ini
telah diamalkan oleh fuqahâ, yaitu ulama Hijâz, ‘Irâq,
Khurasân, dan daerah lain, kecuali dua hadis mengenai Nabi Saw. menjama shalat zuhurdan ‘Ashar, Maghrîb dan ‘Isyâ tanpa ada sebab, serta hadis mengenai
peminum khamar, bagi yang mengulangi perbuatan yang keempat, dihukum
dengan hukuman mati.[4]
Salah satu di antara hadis yang mengalami polemik dari segi matan adalah
hadis mengenai menyusui laki-laki dewasa. ‘Aisyah berpendapat bahwa hadis ini
dijadikan ketetapan ke-mahram-an seorang laki-laki dewasa
terhadap wanita susunya seperti halnya pada bayi, namun mayoritas ulama dari
kalangan sahabat, tabi’in menolak pendapat itu karena ke-mahram-an
hanya terjadi pada anak yang berumur dibawah dua tahun.[5]
Hadis ini diriwayatkan ‘Aisah ra. dikatakan bahwa Sahlah binti Suhail
atas perintah Nabi Saw. menyusui Salim (laki-laki dewasa) supaya menjadi mahram-nya.
Hadis ini dijadikan dalil keluarnya fatwa kontroversial di Mesir, tentang
kebolehan menyusui laki-laki dewasa untuk menghindari khalwat (berdua-duaan)
diruangan kantor. Fatwa ini keluar dari Izzat Atiyah ketua Bidang Hadis
dan ‘Ulum al- Qur’an di fakultas Usuluddin di Universitas al-Azhar, ia berfatwa
bahwa dengan memberikan susunya, seorang wanita dan pria dapat menjadi mahram
dengan syarat di tempat yang hanya mereka yang memiliki kuncinya.
Tentunya fatwa di atas mendapat reaksi keras dari ulama-ulama di Mesir,
sehingga Sayyid Thantawi Syeikh al-Azhar sekaligus sebagai ketua Dewan Tinggi
al-Azhar mengeluarkan sebuah keputusan penting terhadap Izzat Atiyah
dengan menonaktifkannya dalam aktivitas mengajar selaku Ketua Bidang Hadis di
Fakultas Usuluddin. Selanjutnya Universitas al-Azhar membentuk sebuah
tim khusus yang dipimpin oleh Ahmad ‘Umar Hasyim mantan Ketua
Bidang Hadis Fakultas Usuluddin. Dalam tim khusus ini terdiri dari unsur
dosen Hadis al-Azhar menjadi anggotanya. Tujuan pembentukan tim ini untuk
melihat kembali fatwa Izzat Atiyah.[6]
Hadis yang telah ditetapkan kesahîhannya seharusnya ma’mulun
bih (bisa diamalkan), namun pada kasus ini Ibn Abdul Bar, al-Dârimî[7],
serta mayoritas ulama men-tawaquf-kan hadis ini (tidak diamalkan
selamanya).[8]
Perlu diketahui pula, memang ada juga hadis-hadis sahîh
yang tidak amalkan sebagai penguat bahwa pen-tawaquf-an hadis sahîh
bukan hanya satu kasus saja. Bagaimanakah dengan pendapat anda sendiri?
[1]
Ditulis oleh Agus Gunawan, ketua Komunitas Tafsir Hadis Indonesia
(MUNTAHA Indonesia) pada kajian saung “GUCI”, Ciputat.
[2]
Al-Jawâbî, Juhûd al-Muhadditsîn fî Naqd Matn al-Hadîts al-Nabawî
al-Syarîf, (tk. Muassasât al-Karî bin ‘Abdillah, tt.), hal. 19, Umma
Farida, “Metode Komparasi antara Hadis dan al-Qur’an: Telaah atas
Pemikiran Jamâl al-Bana tentang Kritik Matan” (Tesis S2 Program Pasca
Sarjana,UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), h. 13.
[3]Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis, (Yogyakarta:
Teras, 2004), cet. I, h. 4.[4] Muhammad bin ‘Isa Abû ‘Isa al-Tirmidzî, Sunan
al-Tirmidzî, (Beirut: Dâr al-Fikr, 2003), cet. I, j. 1, h. 55. Abû
Zakariya Yahya Al-Nawawî, Sahîh Muslim bisyarh al-Nawawî, (Kairo: Dâr
al-Hadîts, 2001),cet. IV, j. 3, h. 235[5] Abû Zakariya Yahya Al-Nawawî, Sahîh Muslim
bisyarh al-Nawawî, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 2001),cet. IV, j. 5, h. 289[6]http://zahrulaneukaceh.multiply.com/journal/item/83/Fatwa_Fatwa_Aneh_di_Negeri_Para_Nabi,
dimbil 14 Maret 2009 pukul 15.38 WIB[7] Al-Dârimî dalam sunannya berkomentar hadis ini
khusus bagi Salim. ‘Abdullah bin ‘Abd al-Rahman Abû Muhammad
al-Dârimi, Sunan al-Dârimi, (Beirut: Dâr al-Kutub, 1407 H), j. 2, hal.
210[8] Muhammad bin ‘Abd al-Bâqi bin Yusuf
al-Zurqânî, Syarh al-Zurqânî ‘ala Muwatha’ Mâlik, (Kaira: Dar
al-Hadits, 2006), j. 3, h. 293
Tidak ada komentar:
Posting Komentar