Sabtu, 13 November 2010

Hadis Sohih Yang Tidak Diamalkan: Hadis Menyusui Laki-laki Dewasa[1] oleh Agus Gunawan

Memahami makna dari suatu matan hadis relatif tidak mudah. Sehingga membutuhkan keseriusan untuk menganalisanya, hadis yang merupakan redaksi berita dari empat belas abad yang silam kemudian dibawa oleh rangkaian orang pembawa berita (rawî) yang sangat panjang dari satu generasi ke generasi sangat memungkinkan adanya kesalahan, ini disebabkan ditolelirnya meriwayatkan hadis asal mempertahankan inti konsep (riwâyah bi al-ma’na) telah menjadikan keragaman teks matan hadis.[2] Oleh sebab itu para ulama melakukan kritik keotentikan hadis. Selain kritik sanad, para ulama menggunakan juga kritik matan. Pelaksanaan kritik matan hadis pada tataran teori mudah tercapai persamaan pendapat, akan tetapi pada praktek penerapan secara parsial, hadis demi hadis, hampir pasti terjadi perbedaan hasil penilaian. Kesenjangan hasil verifikasi itu semakin mencolok apabila menimpa matan hadis yang telah ditetapkan kesahîhannya.[3] Sehingga hadis sahîh yang seharusnya ma’mulun bih di-tawaquf-kan (tidak diamalkan). Sebagai contoh dalam kitab Sunan al-Tirmidzî, seperti yang dijelaskan oleh penulisnya Abû ‘Isa al-Tirmidzî, hadis-hadis dalam kitabnya ini telah diamalkan oleh fuqahâ, yaitu ulama Hijâz, ‘Irâq, Khurasân, dan daerah lain, kecuali dua hadis mengenai Nabi Saw. menjama shalat zuhur dan ‘Ashar, Maghrîb dan ‘Isyâ tanpa ada sebab, serta hadis mengenai peminum khamar, bagi yang mengulangi perbuatan yang keempat, dihukum dengan hukuman mati.[4] Salah satu di antara hadis yang mengalami polemik dari segi matan adalah hadis mengenai menyusui laki-laki dewasa. ‘Aisyah berpendapat bahwa hadis ini dijadikan ketetapan ke-mahram-an seorang laki-laki dewasa terhadap wanita susunya seperti halnya pada bayi, namun mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi’in menolak pendapat itu karena ke-mahram-an hanya terjadi pada anak yang berumur dibawah dua tahun.[5] Hadis ini diriwayatkan ‘Aisah ra. dikatakan bahwa Sahlah binti Suhail atas perintah Nabi Saw. menyusui Salim (laki-laki dewasa) supaya menjadi mahram-nya. Hadis ini dijadikan dalil keluarnya fatwa kontroversial di Mesir, tentang kebolehan menyusui laki-laki dewasa untuk menghindari khalwat (berdua-duaan) diruangan kantor. Fatwa ini keluar dari Izzat Atiyah ketua Bidang Hadis dan ‘Ulum al- Qur’an di fakultas Usuluddin di Universitas al-Azhar, ia berfatwa bahwa dengan memberikan susunya, seorang wanita dan pria dapat menjadi mahram dengan syarat di tempat yang hanya mereka yang memiliki kuncinya. Tentunya fatwa di atas mendapat reaksi keras dari ulama-ulama di Mesir, sehingga Sayyid Thantawi Syeikh al-Azhar sekaligus sebagai ketua Dewan Tinggi al-Azhar mengeluarkan sebuah keputusan penting terhadap Izzat Atiyah dengan menonaktifkannya dalam aktivitas mengajar selaku Ketua Bidang Hadis di Fakultas Usuluddin. Selanjutnya Universitas al-Azhar membentuk sebuah tim khusus yang dipimpin oleh Ahmad ‘Umar Hasyim mantan Ketua Bidang Hadis Fakultas Usuluddin. Dalam tim khusus ini terdiri dari unsur dosen Hadis al-Azhar menjadi anggotanya. Tujuan pembentukan tim ini untuk melihat kembali fatwa Izzat Atiyah.[6] Hadis yang telah ditetapkan kesahîhannya seharusnya ma’mulun bih (bisa diamalkan), namun pada kasus ini Ibn Abdul Bar, al-Dârimî[7], serta mayoritas ulama men-tawaquf-kan hadis ini (tidak diamalkan selamanya).[8] Perlu diketahui pula, memang ada juga hadis-hadis sahîh yang tidak amalkan sebagai penguat bahwa pen-tawaquf-an hadis sahîh bukan hanya satu kasus saja. Bagaimanakah dengan pendapat anda sendiri?

[1] Ditulis oleh Agus Gunawan, ketua Komunitas Tafsir Hadis Indonesia (MUNTAHA Indonesia) pada kajian saung “GUCI”, Ciputat.
[2] Al-Jawâbî, Juhûd al-Muhadditsîn fî Naqd Matn al-Hadîts al-Nabawî al-Syarîf, (tk. Muassasât al-Karî bin ‘Abdillah, tt.),  hal. 19, Umma Farida, “Metode Komparasi antara Hadis dan al-Qur’an: Telaah atas  Pemikiran Jamâl al-Bana tentang Kritik Matan” (Tesis  S2 Program Pasca Sarjana,UIN Syarif Hidayatullah  Jakarta, 2005), h. 13. [3]Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2004), cet. I, h. 4. [4] Muhammad bin ‘Isa Abû ‘Isa al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, (Beirut: Dâr al-Fikr, 2003), cet. I, j. 1, h. 55. Abû Zakariya Yahya Al-Nawawî, Sahîh Muslim bisyarh al-Nawawî, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 2001),cet. IV, j. 3, h. 235 [5] Abû Zakariya Yahya Al-Nawawî, Sahîh Muslim bisyarh al-Nawawî, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 2001),cet. IV, j. 5, h. 289 [6]http://zahrulaneukaceh.multiply.com/journal/item/83/Fatwa_Fatwa_Aneh_di_Negeri_Para_Nabi, dimbil 14 Maret 2009 pukul 15.38 WIB [7] Al-Dârimî dalam sunannya berkomentar hadis ini khusus bagi Salim. ‘Abdullah bin ‘Abd al-Rahman Abû Muhammad al-Dârimi, Sunan al-Dârimi, (Beirut: Dâr al-Kutub, 1407 H), j. 2, hal. 210 [8] Muhammad bin ‘Abd al-Bâqi bin Yusuf al-Zurqânî, Syarh al-Zurqânî ‘ala Muwatha’ Mâlik, (Kaira: Dar al-Hadits, 2006),  j. 3, h. 293

Tidak ada komentar:

Posting Komentar