Selasa, 23 November 2010

Imam at-Tirmidzi dan Kitab Sunannya (209-279 H/824-892 M)

A. Pendahuluan
Upaya umat Islam dalam melestarikan karya-karya monumental Islam, tentu didasari dan di sadari betapa pentingnya, dengan kesungguhan yang amat sangat arif/bijaksana. Dengan demikian lahirlah para imam, ulama’ dan cendikia yang rela menuangkan pikirannya dan waktunya dalam mengkaji cakrawala dunia Islam lebih kaffah, disamping itu juga para peneliti ini tidak menutup kemungkinan seorang Muslim atau non-Muslim yang kemudian tertarik mengkaji sejarah Islam atau yang berkaitan dengan keilmuaanya itu sendiri.
Kesungguhan dan penuh ketelitian dalam menilai, mencari manuskrip-manuskrip yang kemudian dijadikan sebuah bahan penelitian. Tak heran orang yang dulunya bodoh menjadi cerdik dan mempunyai karismatik tersendiri dan dari hal demikian timbullah karya-karya yang sampai sekarang bisa dinikmati umat Islam atau di luar Islam banyak tokoh-tokoh yang terkenal akibat karyanya yang monumental. Dari sekian banyak tokoh-tokoh yang sangat berpengaruh dalam dunia Islam khususnya bidang ilmu hadits, ialah Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi, Imam Nasa’I dan Imam Ibnu Majah. Makalah ini akan membahas “Imam at-Tirmidzi dan Kitab Sunannya.”
Setelah Imam Bukhari, Imam Muslim dan Imam Abu Dawud, kini giliran Imam Tirmidzi, juga merupakan tokoh ahli hadits dan penghimpun hadits yang terkenal. Karyanya yang masyhur yaitu Kitab al-Jami’ (Jami’ at-Tirmidzi). Ia juga tergolong salah satu ﺍﻠﺴﺘﺔ ﻜﺘﺐ (Enam Kitab Pokok Bidang Hadits) dan Ensiklopedia Hadits terkenal.
Abu Sa’ad al-Idrisiy berkata: “Beliau salah seorang imam yang dijadikan rujukan manusia dalam bidang ilmu hadits, beliau menyusun kitab al-Jami’, at-Tarikh dan al-‘Ilal dengan susunan seorang alim yang tekun, beliau sering dijadikan contoh dalam masalah hafalan”.
Tak heran Imam Bukhari memberi pengakuan terhadap muridnya Tirmidzi, dengan mengatakan: ﻤﺎ ﺍﻨﺘﻔﻌﺖ ﺒﻚ ﺍﻜﺜﺭ ﻤﻤﺎ ﺍﻨﺘﻔﻌﺖ ﺒﻰ “Yang bisa dimanfaatkan pada dirimu, lebih banyak dari yang bisa dimanfaatkan dari diriku.”

B. Biografi Imam at-Tirmidzi
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin ‘Isa bin Saurah bin Musa bin adh-Dhahhak. Kunyah-nya adalah Abu ‘Isa. Dalam penjelasan yang lain disebut Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah bin Musa bin adh-Dhahhak as-Sulamiy al-Bughiy at-Tirmidziy adh-Dharir.
Nasabnya ada dua, pertama, as-Sulamiy, dinisbatkan pada kabilahnya, ini merupakan nisbat Arab dan kedua, at-Tirmidziy, dinisbatkan pada negerinya (Tirmidz), sebuah kota yang terletak di sebelah utara Sungai Jihun di utara Iran.
Disebutkan juga oleh banyak riwayat yaitu pendapat yang kuat dalam hal ini, disetujui oleh para imam dan ulama’ dan dikisahkan pada penisbahan ini ada dua perkataan yang lain, menyebutkan: Muhammad bin ‘Isa bin Saurah bin Syiddad dan Muhammad bin Yazid bin Saurah bin as-Sakan.
Kelahiran beliau, ada beberapa pendapat yang menerangkan tahun kelahiran Imam at-Tirmidzi dan hal yang berkenaan dengan hal itu, di antaranya, ialah:
a. Para ahli sejarah tidak menyebutkan tahun kelahiran Imam Tirmidzi secara pasti, tetapi sebagian dari mereka memperkirakan kelahirannya tahun 209 H. Artinya kelahiran beliau tidak ada yang menyebutkan dengan jelas melainkan sesuatu itu ditulis/dikitabkannya oleh al-‘Alamah asy-Syekh Muhammad ‘Abid as-Sindiy dengan tulisannya atas penyalinan dari kitab at-Tirmidzi yang kami susun sebelumnya.
b. Adz-Dzahabi berkata:”Dia lahir akhir tahun 210 H.”
c. Disebutkan oleh Ibnu ad-Dabii’ asy-Syaibaniy dalam “Muqaddimah Taisir al-Wushul” bahwa ia lahir tahun 255 H. Ibnu ad-Dabii’ asy-Syaibaniy mengambil argument/keterangan dari banyak hadits, sebagianya ialah hadits dari Qutaibah bin Sa’id, Ishaq bin Musa, Sufyan bin Waqi’, Muhammad bin Isma’il al-Bukhariy dan selain dari mereka tersebut.
d. Ada yang mengatakan (ﻘﻴﻝ) beliau dilahirkan dalan keaadaan buta sejak lahir , yang benar adalah beliau mengalami kebutaan ketika sudah tua, setelah masa perjalanan dan setelah beliau menulis berbagai ilmu yang dimilikinya.
e. Dalam kutipan Muhammad Musthafa A’zhami dan Musthafa as-Siba’I dalam as-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri’ al-Islamiy, ditulis kelahiran beliau pada tahun 209 H.
f. Penjelasan yang ditulis oleh Munzier Supatra beliau dilahirkan di kota Tirmidz, sebuah kota kecil dipinggir utara sungai Amuderia, sebelah utara Iran pada bulan Dzulhijjah 200 H (824 M). Imam Bukhari dan Imam Tirmidzi, keduanya sedaerah, sebab Bukhara dan Tirmidzi itu adalah satu daerah Ma Wara’ an-Nahr ( ﺍﻟﻨﻬﺭ ﻮﺭﺍﺀ ﻤﺎ ). Dalam penjelasan biografinya tidak di kenal dimana dilahirkan, apakah dilahirkan di sebuah desa yang bernama ﺒﻮﻍ (Bugh) atau di negeri yang bernama ﺘﺭﻤﺫ (Tirmidz) ?... Maka sungguh telah berkata as-Sam’aniy dalam justifikasi/penafsiran yang menghubungkan ke desa yang bernama ﺒﻮﻍ (Bugh): “Jikalau bahwa yang di maksud di desa ini, atau telah berdiam akan ini desa, dimaksudkan beliau telah tiada.” Artinya beliau wafat di desa ﺒﻮﻍ (Bugh), bukan dilahirkan. Dan dinukil akan Mullah (ahli fiqih) menghubungankan dengan benua dari Imam Tirmidzi, bahwa berkata ia: “Adalah ku dapati Laits bin Sayyar yang menganalisa hari-hari, kemudian ku berpendapat dari analisanya bahwa desa Tirmidzlah tempat kelahiran beliau.”
Perjalanan mencari ilmu, Kakek Abu ‘Isa at-Tirmidzi berkebangsaan Mirwaz, kemudian pindah ke Tirmidz dan menetap di sana. Di kota inilah cucunya bernama Abu ‘Isa dilahirkan. Semenjak kecilnya Abu ‘Isa sudah gemar mempelajari ilmu dan mencari hadits. Untuk keperluan inilah ia mengembara ke berbagai negeri: Hijaz, Iraq, Khurasan dan lain-lain. Dalam perlawatannya itu ia banyak mengunjungi ulama’-ulama’ besar dan guru-guru hadits untuk mendengar hadits yang kemudian dihafal dan dicatatnya dengan baik di perjalanan atau ketika tiba di suatu tempat. Ia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan tanpa menggunakannya dengan seorang guru di perjalanan menuju Makkah. Tetapi ia tidak sempat mengunjungi Syam dan Mesir, sehingga berbagai hadits dari Syam dan Mesir diperoleh melalui sanad nazil dari beberapa perawi. Seandainya beliau berkunjung ke daerah itu, niscaya bisa mendengar langsung dari mereka, seperti Hisyam bin Amar dan semisalnya. Beliau telah meriwayatkan hadits dari mereka dengan perantara.
Sebagian ahli hadits berpendapat, terhadap kunjungannya ke Baghdad dan berkata: “Seandainya beliau berkunjung ke Baghdad, niscaya beliau mendengar hadits dari Ahmad bin Hanbal.” Namun, al-Khathib tidak menyebut nama beliau dalam kitab Tarikh-nya, sedangkan al-Hafizh Ibnu Nuqthah dan selainnya menyebutkan bahwa beliau berkunjung ke Baghdad. Imam at-Tirmidzi mendapat hadits di Baghdad dari sejumlah orang di antaranya, al-Hasan bin as-Shabah, Ahmad bin Muni dan Muhammad bin Ishaq ash-Shaghaniy. Yang jelas, setelah Ahmad bin Hanbal wafat beliau mengunjungi Baghdad, hal ini penjelasan dari al-Hafizh Ibnu Nuqthah. Menurutnya (al-Hafizh Ibnu Nuqthah) pula, orang-orang yang disebutkan tadi meninggal setelah Ahmad bin Hanbal. Terkait dengan pernyataan al-Khathib di atas.
Setelah menjalani perjalanan panjang untuk belajar, mencatat, berdiskusi dan tukar pikiran serta mengarang, beliau mampir di Bukhara dan Naisabur dan selama beberapa waktu, disanalah beliau berguru dan berdiskusi dengan Imam Bukhari, banyak manfa’at yang didapatinya.
Bidang keilmuan, ilmu-ilmu Islam yang menonjol pada diri Imam at-Tirmidzi, di antaranya:
a. Ilmu Hadits
Beliau dianugerahkan hafalan sanad dan matan hadits, mengetahui perbedaan aspek-aspeknya, menghimpun bab-babnya, membedakan yang shahih dari yang dha’if, sehingga ia men-shahih-kan, meng-hasan-kan atau men-dha’if-kan hadits.
b. Ilmu ‘Ilat-‘ilat Hadits
Pengetahuan mengenai ‘ilat-‘ilat hadits ini merupakan target terjauh. Maka jika seorang ahli hadits mendapatkannya ia telah berada di puncak tertinggi. Karya beliau mengenai hal ini cukup baik, rujukan beliau dalam masalah ini adalah gurunya sendiri Imam Bukhari.
c. Ilmu Jarah dan Ta’dil serta Rijal al-Hadits
Telah dijelaskan bahwa beliau seorang pemuka hadits dalm hal pengetahuan hadits serta ‘ilat-‘ilat-nya dan kemampuan membedakan hadits antara yang shahih dan dha’if. Tidak diragukan lagi hal ini tidak akan sempurna beliau lakukan tanpa mengetahui keadaan para perawi, waktu wafatnya, kuniyahnya dan nasabnya serta pengetahuan tentang para perawi yang tsiqah dan dha’if.
d. Ilmu Fiqih
Didalam al-Jami’-nya beliau telah menghimpun pendapat-pendapat ahli fiqih dengan tiada bandingnya. Beliau menyebut fiqih ahli ra’yi, seperti Abu Hanifah dan para sahabatnya, fiqih Imam Malik, Tsauri, Imam asy-Syafi’I dan fiqih ahli hadits, seperti Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih dan sebagainya.
Al-Mubarak bin Atsir berkata: “Dalam bidang fiqih, beliau memiliki penguasaan yang baik.”
Negeri-negeri yang beliau kunjungi, ialah Khurasan, Bashrah, Kufah, Wasith, Baghdad, Makkah Madinah dan Rayy. Ia pada akhir kehidupannya mendapat musibah kebutaan dan beberapa tahun lamanya ia hidup sebagai tuna netra, dalam keadaan seperti inilah akhirnya at-Tirmidzi meninggal dunia. Ia wafat di Tirmidz, tepatnya di desa Bugh. Pada malam Senin 13 Rajab tahun 279 H dalam usia 70 tahun.
Murid-muridnya, ialah Abu Bakar Ahmad bin Isma’il as-Samarqandiy, Abu Hamid Ahmad bin ‘Abdullah bin Dawud al-Muruziy, Ahmad bin ‘Ali bin Hasanwaih al-Muqri’I, Ahmad bin Yusuf an-Nasafiy, Asad bin Hamdawaih an-Nasafiy, al-Hasan bin Yusuf al-Farbariy, Hammad bin Syakir al-Warraq, Dawud bin Nashr bin Suhail al-Bazdawiy, ar-Rabi bin Hayyan al-Bahiliy, ‘Abdullah bin Nashr (saudara al-Bazdawiy), ‘Abdun bin Muhammad bin Mahmud an-Nasafiy, ‘Ali bin ‘Umar bin Kultsum as-Samarqandiy, al-Fadhl bin ‘Ammar bin Mahbub (perawi jami’), Abu Ja’far Muhammad bin Ahmad an-Nasafiy, Abu Ja’far Muhammad bin Sufyan bin an-Nadhr an-Nasafiy al-Amin, Muhammad bin Muhammad bin Yahya al-Harawi al-Qarrab, Muhammad bin Mahmud bin Anbar an-Nasafiy, Muhammad bin Makiy bin Nuh an-Nasafiy, Masbah bin Abu Musa al-Kajiriy, Makhul bin al-Fadhl an-Nasafiy, Makiy bin Nuh, Nashr bin Muhammad bin Sibrah dan al-Haitsam bin Kulaib.
Guru-gurunya, ia belajar dan meriwayatkan hadits dari ulama’-ulama’ kenamaan. Di antaranya adalah Imam Bukhari, Imam Muslim dan Abu Dawud, kepadanya ia mempelajari hadits dan fiqh. Bahkan Tirmidzi belajar pula hadits dari sebagian guru mereka. Guru lainnya ialah Qutaibah bin Sa’id, Ishaq bin Rahawaih, Muhammad bin Amar as-Sawaq al-Balakhiy, Mahmud bin Ghailan, Isma’il bin Musa al-Fazariy, Ahmad bin Muni, Abu Mush’ab azh-Zhuhriy, Bisyr bin Mu’adz al-Uqadiy, al-Hasan bin Ahmad bin Abu Syu’aib, Abu Ammar al-Husain bin Harits, al-Ma’mar ‘Abdullah bin Mu’awiyah al-Jumahiy, ‘Abdul Jabbar bin al-‘Alaiy, Abu Kuraib, Ali bin Hajar, ‘Ali bin Said bin Masruq al-Kindiy, Amar bin ‘Ali al-Fallas, Imran bin Musa al-Qazzaz, Muhammad bin Aban al-Mustamliy, Muhammad bin Hamid ar-Raziy, Muhammad bin ‘Abdul A’la, Muhammad bin Rafi’, Muhammad bin ‘Abdul ‘Aziz bin Abu Ruzmah, Muhammad bin ‘Abdul Malik bin Abu asy-Syawarib, Muhammad bin Yahya al-Adaniy, Nash bin ‘Ali, Harun al-Hammal, Hannad bin as-Siriy, Abu Hammam al-Walid bin Syujai, Yahya bin Aktsam, Yahya bin Hubaib bin ‘Arabi, Yahya bin Drust al-Bisriy, Yahya bin Thalhah al-Yarbu’I, Yusuf bin Hammad al-Mu’niy, Ishaq bin Musa al-Khathamiy, Ibrahim bin ‘Abdullah al-Harawiy dan Suwaid bin Nashr al-Muruziy. Yang paling qadim yang dimilikinya ialah hadits Malik, al-Hammadin, al-Laits dan Qais bin Rabi, para sahabat Hisyam bin Amar dan sebagainya.
Karya-karya, Imam at-Tirmidzi banyak menulis/menyusun kitab-kitab. Di antaranya ialah:
1. Kitab al-Jami’, terkenal dengan sebutan ﺴﻧﻦ ﺍﻟﺘﺭﻤﺫﻯ , merupakan kitab beliau yang paling masyhur dan paling menunjukan kedalaman ilmunya. Kitab ini termasuk kitab yang agung dalam Islam dan salah satu dari ﺍﻷﺻﻮﻞ ﺍﻠﺴﺘﺔ yang menjadi rujukan. Kitab ini yang paling besar dan terkenal serta beredar luas. .
2. Kitab al-‘Illal, merupakan kitab tersendiri yang di beri judul ﺍﻟﻜﺒﻴﺮ ﺍﻟﻌﻟﻞ dan ini bukanlah al-‘Illal yang di lampirkan di bagian akhir kitabnya (al-Jami’). Kitab ini sampai kepada umat Islam menurut susunan al-Qadhi Abu Thalib.
3. Kitab asy-Syama’il an-Nabawiyyah, ﺍﻠﺸﻤﺎﺋﻝ ﺍﻠﻨﺒﻮﻴﺔ di dalamnya membahas sifat-sifat Nabi SAW, kitab ini telah disyarah banyak orang.
4. Kitab Tasmiyah Ashhab Rasulillah SAW ﺍﷲ ﺻﻟﻰ ﺍﷲ ﻋﻟﻴﻪ ﻮﺴﻠﻡ ﺭﺴﻭﻝ ﺃﺼﺣﺎﺏ ﺘﺴﻤﻴﺔ atau disebut juga dengan Asma’ ash-Shahabah, ﺍﻠﺼﺣﺎﺒﺔ ﺃﺴﻤﺎﺀ
5. Kitab at-Tarikh, ﺍﻠﺘﺎﺮﻴﺦ
6. Kitab az-Zuhd, ﺍﻠﺰﻫﺪ
7. Kitab al-Asma’ wa al-Kuna ﺍﻷﺴﻤﺎﺀ ﻮﺍﻟﻜﻧﻰ .
8. Para ulama’ menyebutkan bahwa ia juga menyusun kitab dalam bidang fiqih.
C. Latar Belakang Imam at-Tirmidzi Menulis Hadits
Imam Tirmidzi adalah murid dan alumni Imam Bukhari. Beliau ingin mengikuti jalan yang ditempuh gurunya dalam menyusun ilmu hadits setelah memiliki kompetensi dan memiliki bekal ilmu yang cukup dalam bidang ini. Beliau menyusun kitab himpunan hadits yang di pandang sebagai salah satu dari al-Ushul as-Sittah. Dalam menyusun kitab tersebut beliau mencantumkan hadits-hadits tersendiri terlebih dahulu, kemudian mengimbuhkan beberapa tambahan berupa pendapat para ahli fiqih, ‘illat-‘illat hadits dan sebagainya, yang sesuai dengan topik yang di bahasnya. Hal ini beliau tunjukan dalam kitab al-‘Illal yang di sisipkan pada bagian akhir kitab Jami’-nya ini, dimana beliau berkata: “Kami sengaja mengimbuhkan beberapa penjelasan untuk kitab ini berupa pendapat para ahli fiqih dan’ illat’-‘illat hadits, karena kami telah di minta untuk itu. Penambahan tersebut tidak segera kami lakukan, tetapi kemudian kami tunaikan juga dengan harapan bisa memberikan manfa’at bagi manusia.” Penyusunan kitab ini selesai pada hari ‘Idul Adha tahun 270 H.
Sumber-sumber rujukan kitab ini sangat banyak, di antaranya: al-Muwaththa’, Mushanaf Waqi’ Sufyan, ‘Abdul Razaq, Ibnu al-Mubarak, asy-Syafi’I, Tawarikh Bukhari dan sebagainya. Untuk menyebut nama kitabnya beliau memberi nama al-Jami’.

Jadi, jelas bisa diambil benang merahnya ada beberapa sebab, kenapa Tirmidzi menulis kitab al-Jami’nya di antaranya, ialah:
a) Selaku murid dan alumni dari Imam Bukhari, Tirmidzi ingin tampil dengan kesamaannya seperti gurunya, karena wajar seorang murid ingin lebih atau paling tidak sama, seperti apa yang dilakukan gurunya. Bisa dikatakan berawal dari cita-cita.
b) Setelah beliau memeiliki bekal dan kompetensi yang cukup dalam bidang ilmu-ilmu hadits dan hal-hal yang berkenaan dengan itu, barulah beliau menulis atau mengarang atau menyusun kitab.
c) Dalam pandangan beliau secara tidak langsung, kitab tersebut termasuk dalam al-Ushul as-Sittah, yang juga disamping sebagai kitab yang dapat peringakat ke-4 dan sebagai rujukan umat yang ingin meneliti dan mempelajari hadits beserta ilmu-ilmunya.
Dari ketiga sebab dan berawal dari keinginan atau cita-cita inilah tidak heran beliau mengatakan kitabnya termasuk kedalam al-Ushul as-Sittah beserta komentar para ulama’ mengenai kitab yang ia tulis. Di karenakan kitab Tirmidzi mengambil beberapa rujukan untuk di bubuhkannya kedalam sebuah tulisan yang sampai sekarang masih karya tersebut menjadi karya yang monumental dan standar para cendikia, apakah itu namanya.
D. Sistematika Penulisan Kitab at-Tirmidzi
Ada dua table yang akan ditampilkan, yang mana table tersebut mengklasifikasikan daftar nama kitab berdasarkan komposisi bab dan berdasarkan urutan abjad, yang terdapat di dalam kitab Jami’-nya. Berikut penjelasan yang akan diterangkan.
Dalam penulisan kitabnya Imam at-Tirmidzi mengklasifikasikan kitab Jami’-nya ke dalam beberapa bab. Beliau menyebutkan tarjamah yang bersifat menyeluruh, seperti bab-bab seputar thaharah, kemudian di bagi lagi kedalam beberapa bab, seperti bersuci dan seterusnya.disisi lain juga Tirmidzi menjadikan bab-babnya mencakup bab ilmu dan tidak membatasinya hanya pada bab hukum saja. Disebut juga bab yang terkait dengan zuhud, fadhail dan seterusnya. Beliau tidak menfokuskan hanya pada masalah fiqih di dalam tarjamah bab-babnya. Disamping itu juga beliau menyebutkan sebuah bab dengan ungkapan yang paling dekat dengan hadits yang di sebutkannya di bawahnya, lalu satu atau dua hadits cukup ia sebutkan dalam bab tersebut. Riwayat lain beliau sebutkan dengan menyebutkan sahabat, contoh dalam hal ini, “Dan dalam hal ini (ada hadits) dari si fulan dan si fulan.” Demikian yang di katakannya. Kemudian beliau menuturkan apa yang ia ketahui. Bisa jadi beliau tidak mengetahui riwayat lain dalam bab tersebut. Sehingga demikian di sederhanakannya pembahasan bab itu dengan uslub yang bisa di pahami oleh orang yang mengkajinya, dengan lafazh yang mudah dan ungkapan yang lebih menyeluruh. Inilah keistimewaan kitab beliau dari yang selainnya.
























Objek pembahasan ﺴﻧﻦ ﺍﻟﺘﺭﻤﺫﻯ adalah hadits marfu’ yang digunakan oleh para ahli fiqih, baik yang disepakati, dipertentangkan ataupun yang menyendiri jalurnya. Kitab ini diklasifikasikan menjadi beberapa bab ilmu yang dimulai dengan masalah ibadah, mu’amalah dan seterusnya. Dan juga tidak bertele-tele dengan menyebutkan berbagai jalur sanad, menyebutkan juga ‘ilat-‘ilat hadits dan perbedaan derajatnya, dari sisi diterimanya dan tidaknya, sejarah mereka, memisahkan yang shahih dari selainnya, yang penting diketahui dan dipahami oleh setiap mukallaf. Disamping itu juga beliau menyebutkan jarah wa at-ta’dil yang dinukil dari para imam atau menurut ijtihadnya sendiri, disertai penjelasan nama-nama perawi, kunyah, wafayat (meninggal dunia) dan thabaqatnya, sehingga beliau bisa memverifikasi berbagai kesamaan dan kesamaran yang ada seputar itu. Terkadang juga beliau sebutkan biografi para syeikh dan muridnya, pendapat ahli fiqih beserta penjelasan yang disepakati dan dipertentangkan oleh mereka, beliau juga menerangkan nasakh mansukh, kata asing (al-gharib) perbedaan hadits disertai tarjihnya dalam berbagai penjelasan yang sering sekali diperdebatkan.
Pengulangan Hadits, cara Imam Muslim dan Imam at-Tirmidz terdapat kesamaan dalam menyusun sebuah kitab hadits. Dilihat dari beberapa jalur dari satu hadits yang sama, beliau kumpulkan dan menyebutkan beberapa orang syeikh dengan redaksi hadits yang sama tanpa adanya pemisah, dengan tetap mengingatkan adanya perbedaan dan kesamaan di antara para perawi. Beliau memandang bolehnya periwayatan hadits dengan maknanya dan tidak membedakan penggunaan ﺣﺪﺛﻨﺎ (telah bertutur kepada kami) dengan ﺃﺧﺑﺭﻨﺎ (telah mengabarkan kepada kami), karena sama kedua lafazh tersebut menurutnya. Beliau tidak merasa cukup dengan mempersamakan satu kata yang lain, beliau tetap menunjukan perbedaan antara keduanya.
Beliau menghimpun hadits-hadits terkait satu masalah di satu tempat. Beliau tidak terlalu sering menyebutkan beberapa sanad yang ada dari sebuah hadits. Karenanya beliau suka mentakhrij sebuah hadits yang memiliki makna yang paling dekat dengan bab yang dibahasnya dan penunjukan yang paling jelas dengan bab tersebut. Jika terdapat hadits yang lain beliau perlihatkan dengan mengatakan: “Dan dalam bab ini (ada hadits) dari si fulan,” sehingga pengulangan yang seringkali ditemukan pada selainnya beliau jauhi.
Ada hadits yang diulang olehnya, namun di beberapa tempat saja. Beliau melakukan pengulangan hadits paling banyak di tiga tempat saja, dikira perlu ia lakukan di bab lain dan juga pengulangan yang dilakukan beliau, tidak memperhatikan faidah isnadiyahnya, seringkali hadits yang diulangnya sama dengan hadits yang ada pada tempat pertama.
Pemotongan, untuk hal ini jarang sekali dilakukannya, mungkin dengan alasan longgarnya syarat yang beliau buat, sehingga menurutnya dalam setiap bab tidak harus melakukan pemotongan hadits, kecuali jika diperlukan. Kadangkala beliau ringkas hadits yang panjang dalam bab tersebut dan beliau katakan, ada pemotongan dalam hadits ini.
Dalam kitab ini selain memuat khabar marfu’, beliau menghimpun juga atsar mauquf dan maqthu’, sebagian besar atsar tersebut dalam bentuk mu’allaq, kadang dengan sanadnya secara lengkap.
Tarjamah yang samar dalam setiap bab bukanlah termasuk metode yang digunaknnya. Sehingga kesesuaian hadits yang ingin di bahas sulit untuk dipahami. Dalam sistematika babnya di temukan hadits mursal tanpa memiliki tarjamah, seperti beliau katakan, “Ini adalah sebuah bab atau ini adalah bab darinya,” tidak lebih dari itu. Dan ini lebih mirip dengan sub-sub dari bab sebelumnya.
E. Sekilas tentang al-Jami
Kitab ini adalah salah satu kitab karya Imam at-Tirmidzi terbesar dan paling banyak manfaatnya. Ia tergolong salah satu ﺍﻠﺴﺘﺔ ﻜﺘﺐ (Enam Kitab Pokok Bidang Hadits) dan ensiklopedia hadits terkenal. al-Jami’ ini terkenal dengan nama Jami’ at-Tirmidzi, dinisbatkan kepada penulisnya, yang juga terkenal dengan nama ﺴﻧﻦ ﺍﻟﺘﺭﻤﺫﻯ (Sunan Tirmidzi). Namun nama pertamalah yang populer. Judul lengkap kitab hadits susunan at-Tirmidzi itu ialah,
ﺍﻠﺠﺎﻤﻊ ﺍﻠﻤﺨﺘﺻﺭ ﻤﻦ ﺍﻠﺴﻧﻦ ﻋﻦ ﺭﺴﻮﻞ ﺍﷲ ﺼﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻟﻴﻪ ﻮﺴﻠﻢ
Sebagian ulama’ tidak berkeberatan menyandangkan gelar ash-Shahih kepadanya, sehingga mereka menamakannya denganﺍﻟﺘﺭﻤﺫﻯ ﺼﺤﻴﺢ (Shahih at-Tirmidzi). Sebenarnya pemberian nama ini tidak tepat dan terlalu gegabah.
Setelah selesai menyusun kitab ini, Tirmidzi memperlihatkan kitabnya kepada para ulama’ dan mereka senang dan menerimanya dengan baik. Ia menerangkan:
ﻘﺎﻞ ﺃﺒﻭ ﻋﻴﺴﻰ ﺍﻟﺘﺭﻤﺬﻯ : ﺼﻨﻔﺖ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻮﻋﺭﻀﺘﻪ ﻋﻟﻰ ﻋﻟﻤﺎﺀ, ﺍﻟﺤﺠﺎﺯ ﻮﺍﻟﻌﺮﺍﻖ ﻮﺧﺭﺍﺴﺎﻥ ﻔﺮﺿﻮﺍ ﺑﻪ, ﻮﻤﻥ ﻛﺎﻦ ﻔﻰ ﺑﻴﺘﻪ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ, ﻔﻜﺄﻧﻤﺎ ﻔﻰ ﺑﻴﺘﻪ ﻨﺑﻲ ﻴﺘﻛﻟﻡ
Telah berkata Abu ‘Isa at-Tirmidziy: “Setelah selesai menyusun kitab ini, aku perlihatkan kitab tersebut kepada ulama’-ulama’ Hijaz, Irak dan Khurasan dan mereka semuanya meridhainya, seolah-olah di rumah tersebut ada Nabi SAW yang selalu berbicara.”
ﺴﻧﻦ ﺍﻟﺘﺭﻤﺫﻯ adalah kitab pokok untuk mengenal hadits hasan. Imam at-Tirmidzi-lah yang mula-mula mempopulerkan istilah hadits hasan.
Imam Tirmidzi di dalam al-Jami’-nya tidak hanya meriwayatkan hadits shahih semata, tetapi juga meriwayatkan hadits-hadits hasan, dha’if, gharib dan mu’allal dengan menerangkan kelemahannya. Beliau memasukkan hampir 50 kitab dan haditsnya berjumlah 3956 hadits.
Dalam perkataannya yang sama pula, ia berkata: “Aku tidak memasukan ke dalam kitab ini melainkan hadits yang sekurang-kurangnya telah di amalkan oleh sebagian fuqaha’.”
Dalam pada itu, ia tidak meriwayatkan dalam kitabnya itu, kecuali hadits-hadits yang diamalkan atau dijadikan pegangan oleh ahli fiqh. Metode demikian ini merupakan cara atau syarat yang longgar. Oleh karenanya, ia meriwayatkan semua hadits yang memiliki nilai demikian, baik jalan periwayatannya itu shahih ataupun tidak shahih. Hanya saja ia selalu memberikan penjelasan yang sesuai dengan keadaan setiap hadits.
Diriwayatkan, bahwa ia (Imam at-Tirmidzi) pernah berkata: “Semua hadits yang terdapat dalam kitab ini adalah dapat diamalkan.” Oleh karena itu, sebagian besar ahli ilmu menggunakannya (sebagai pegangan), kecuali dua buah hadits yaitu:
Hadits pertama,
ﺃﻧﻪ ﺻﻟﻰ ﺍﷲ ﻋﻟﻴﻪ ﻮﺴﻠﻡ ﺠﻤﻊ ﺒﻴﻥ ﺍﻟﻈﻬﺮ ﻮﺍﻟﻌﺻﺭ ﻮﺍﻟﻤﻐﺭﺐ ﻮﺍﻟﻌﺷﺎﺀ ﻤﻥ ﻏﻴﺭ ﺨﻮﻒ ﻮﻻ ﺴﻔﺭ
“Sesungguhnya Rasulullah SAW menjama’ shalat Zhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan ‘Isya’, tanpa adanya sebab takut dan bukan dalam perjalanan.”
Hadits kedua,
ﻔﺈﻥ ﻋﺎﺪ ﺃﻱ ﺷﺎﺭﺐ ﺍﻠﺨﻤﺭ ﻔﻰ ﺍﻠﺭﺍﺒﻌﺔ ﻔﺎﻗﺘﻠﻮﻩ
“Jika ia peminum khamar, minum lagi pada yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia.”
Hadits ini adalah mansukh dan ijma’ ulama’ menunjukan demikian. Sedangkan mengenai shalat jama’ dalam hadits di atas, para ulama’ berbeda pendapat atau tidak sepakat untuk meninggalkannya. Sebahagian besar ulama’ berpendapat boleh (jawaz) hukumnya melakukan shalat jama’ di rumah selama tidak dijadikan kebiasaan. Pendapat ini adalah pendapat Ibnu Sirin dan Asyab serta sebagian besar ahli fiqh dan ahli hadits juga Ibnu Munzir.
Hadits-hadits dha’if dan munkar yang terdapat dalam kitab ini, pada umumnya hanya menyangkut fadha’il al-a’mal (anjuran melakukan perbuatan-perbuatan kebajikan). Hal itu dapat di mengerti kerana persyaratan-persyaratan bagi (meriwayatkan dan mengamalkan) hadits semacam ini lebih longgar dibandingkan dengan persyaratan bagi hadits-hadits tentang halal dan haram.
Kritik dan bantahan terhadap al-Jami’, Imam at-Tirmidzi telah di kritik dalam beberapa hal dan berikut juga bantahan terhadap kitabnya:
1. -Kritikan, beliau telah mentakhrij berbagai hadits dha’if dan sangat lemah.
-Bantahan, beliau tidak mensyaratkan shahihnya berbagai hadits yang di muatnya dalam kitabnya. Syarat yang beliau sebutkan ialah menyebutkan setiap hadits yang bisa digunakan sebagai hujjah dan di amalkan oleh ahli fiqih, walaupun haditsnya tidak shahih. Meski demikian beliau selalu menjelaskan derajat setiap hadits setelahnya.
2. -Kritikan, beliau telah terlalu longgar dalam menetapkan shahih dan hasannya sebuah hadits.
-Bantahan, menurut penelitian adz-Dzahabiy, bahwa hadits yang beliau shahihkan dan hasankan memiliki derajat dha’if. Karenanya adz-Dzahabiy menyebutkan Tirmidzi terlalu lemah untuk mendha’ifkan sebuah hadits, maka dari itu ulama’ tidak berpegang pada hadits yang di shahihkannya. Tuduhan ini bisa di maklumi karena sebelumnya pernah ada sebagian orang yang tidak berpegang pada pendapat Tirmidzi. Namun ulama’ setelahnya memegang hadits darinya dan menyebutkan pendapatnya dengan tanpa komentar. Tambahannya dalam kitab ini bisa di manfa’atkan, begitu penuturan dari Ibnu Shalah. Al-Hafizh al-‘Iraqiy telah membantah tuduhan adz-Dzahabiy ini dengan mengatakan: “Apa yang ia kutip tentang para ulama’, bahwa mereka tidak berpegang pada hadits yang dishahihkan oleh Tirmidzi adalah tidak benar, karena orang-orang masih tetap merujuk pada hadits yang dishahihkannya.”
Selain itu, Imam Tirmidzi menjelaskan pula beliau telah memanfa’atkan ‘ilal, rijal dan tarikh yang berasal dari Bukhari dan dari syeikhnya, yakni Abu Zar’ah ar-Razi dan ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman ad-Darimi dan sebagian besarnya berasal dari Bukhari. Ketiga orang ini merupakan kritikus hadits yang terkemuka dan imam hadits ternama, bahkan mereka menjadi rujukan utama dalam ilmu hadits di zamannya. Tirmidzi sangat terkesan dengan mereka, terutama Bukhari. Dengan demikian pernyataan “beliau telah terlalu longgar dalam menetapkan shahih dan hasannya sebuah hadits” tidak selaras dengan status beliau sebagai murid dan alumni dari tiga orang ahli hadits tadi.
Selain itu juga tidak bisa di pungkiri bahwa Imam Tirmidzi seorang manusia biasa yang tak luput dari salah dan khilaf dalam menetapkan ijtihadnya.
Adapun sikap longgar yang beliau berikan dalam meneliti rijal al-Hadits, maksudnya ialah bahwa beliau mentakhrij berbagai hadits orang-orang dha’if dengan menshahihkan atau menghasankan. Maka ini kembali pada penjelasan diatas.
3. -Kritikan, beliau terlalu longgar dalam mengkritisi rijal al-Hadits,
4. -Kritikan, beliau memulai dengan hadits gharib bukan dengan yang kuat dalam sebuah bab, lalu diiringi dengan hadits yang lebih kuat darinya.
Hal ini bukanlah aib baginya atau bagi kitabnya, karena disebutkan hadits gharib yang dha’if, pertama kali kemudian menyebutkan ‘ilatnya dengan menjelaskan yang shahihnya, maka beliau telah menta’lil hadits pertama dengan berikutnya.
Semua kritik ini kembali pada tiga sebab:
1. Perbedaan penyalinan al-Jami’ dalam tambahan kata tashhih atau tahsin,
2. Kelalaian dalam memahami maksud Tirmidzi dengan berbagai istilahnya,
3. Perbedaan ijtihad di antara para ulama’ terkait tingkatan seorang rawi atau derajat sebuah hadits.
Kedudukan Sunan Tirmidzi, sebagian ulama’ menempatkannya pada posisi ke-3 setelah ﻤﺴﻟﻡ ﺼﺤﻴﺢ sebagai pengganti ﺩﺍﻭﺩ ﺃﺒﻭ (kitab ketiga dari ﺍﻠﺴﺘﺔ ﻜﺘﺐ) dan Abu Dawud berada dibawahnya. Sedangkan jumhur ulama’ hadits sepakat menempatkan kitab at-Tirmidzi, ﺴﻧﻦ ﺍﻟﺘﺭﻤﺫﻯ yaitu sebagai kitab hadits yang berstatus standar pada peringkat ke-4, setelah Abu Dawud dan sebelum an-Nasa-i.
Sanad Sunan Tirmidzi, secara mutawatir susunan kitab al-Jami’ ini dari Imam Tirmidzi sendiri. Banyak orang yang meriwayatkannya dari beliau, di antara mereka ialah al-Hafizh Abu Sa’id al-Haitsamiy bin Kalib asy-Syasyi (w. 335 H) dan yang paling menonjol adalah beliau sehingga riwayat al-Jami’ ini tersebar dari jalurnya di segal penjuru. Ada juga seorang tsiqoh bernama Abu al-‘Abbas Muhammad bin Ahmad bin Mahbub al-Mahbubiy at-Tajir al-Muruziy (w. 346 H), beliau telah melancong menemui Tirmidzi di negerinya, Tirmidz dan mendengar al-Jami’ darinya pada tahun 265 H. Semua yang didengarnya adalah akurat dan cocok dengan tulisan pamannya, Abu Bakar al-Ahwal. Ketika mendengar al-jami’, beliau berumur 16 tahun, kemudian beliau melakukan perjalanan untuk mendengar langsung al-Jami’ dari Tirmidzi.
Diantara para ulama’ yang men-syarah Jami’ at-Tirmidzi adalah al-Hafizh Abu Bakar Muhammad bin ’Abdillah al-Isybiliy yang lebih dikenal dengan Ibnu al-’Arabi al-Malikiy (w. 543 di kota Fez) yang berjudul Aridatul Ahwadzi fi Syarhi Sunan at-Tirmidzi. Al-Hafizh Jalaludin as-Suyuthiy (w. 911 H) juga mensyarah dengan judul Qutul Mughtazi ’ala Jami’ at-Tirmidzi. Kitab syarah terbaik adalah yang ditulis oleh al-’Allamah al-’Abdurrahman al-Mabarakpuriy (w. 1353) yang berjudul Tuhfat al-Ahwadziy. Sebagian mukhtasharnya, yaitu karangan Najmuddin Ibnu ’Aqil yang berjudul Mukhtashar al-Jami’.
F. Syarat Sunan dan Hadits Mu’allaq Yang Terdapat Didalamnya
Syarat sunan, beliau mensyaratkan untuk mencantumkan hadits-hadits yang bertema hukum dan banyak digunakan oleh ahli fiqih. Beliau telah menampilkan dalam kitab al-‘Illal yang dilampirkan dalam kitab al-Jami’. Beliau berkata: “Semua hadits yang terdapat dalam kitab ini adalah dapat diamalkan, kecuali dua hadits saja.”
Beliau juga tidak mensyaratkan keshahihan dalam hadits-haditsnya, sehingga banyak ditemukan berbagai hadits dengan ragam derajat yang biasa digunakan dalam ‘ulum al-hadits. Didalamnya ada hadits shahih, hasan, dha’if, gharib, munqathi’ dan sebagainya. Hal demikian juga semua derajat dalam hadits yang disebutkannya, dijelaskan dan tidak mendiamkan saja. Walaupun syarat yang longgar, tapi beliau lakukan penyeleksian dan memilih yang paling baik dari berbagai hadits yang ada pada bab yang akan ia bahas.
Adapun syarat beliau seputar rijal al-hadits, maka perawi hadits dalam kitabnya terbagi dalam beberapa thabaqat:
1. Para perawi yang tsiqah dan hafizh. Hadits-hadits mereka banyak ditemukan dalam kitabnya. Sebagian besar darinya sama dengan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim atau salah satu dari keduanya.
2. Perawi yang memiliki kualitas hafalan sedikit kurang dibandingkan yang pertama. Maka hadits-hadits mereka biasanya dishahihkan atau dihasankan oleh beliau.
3. Perawi yang tersembunyi tetapi jujur, yang tidak termasuk penghafal atau ahli dalam hafalan. Beliau meriwayatkan hadits semisalnya dengan jalur yang berbeda yang bisa menguatkannya, sehingga beliau bisa menghasankan hadits tersebut.
4. Perawi dha’if yang menyendiri dalam hadits tersebut dan tidak ada hadits lain yang bisa mnguatkannya. Dalam kitab beliau hadits dari perawi seperti ini sangat sedikit jumlahnya.
5. Perawi yang sangat lemah dan matruk (dituduh berdusta). Beliau tidak menggunakan hadits dari orang-orang seperti ini, terkadang beliau mentakhrij hadits jenis ini dalam kitabnya, serta pemberitahuan akan statusnya, dijelaskannya dalam kitabnya al-‘Illal.
Istilah yang digunakannya selain istilah sanandnya dha’if atau di dalamnya ada idhthirab dan sebagainya. Ada selain dari istilah tersebut diatas, yaitu:
- Pertama, istilah mufrad (dalam bentuk kata tunggal). Dalam hal ini, (1) hadits shahih, mencakup shahih lidzatihi dan shahih lighairihi; (2) hadits hasan, dengan syarat: didalam sanadnya tidak ada perawi yang dituduh berdusta, tidak syadz, hadits semisal diriwayatkan juga dengan jalur yang lain; dan (3) hadits gharib.
- Kedua, istilah murakab (dalam bentuk susunan kata). Dalam hal ini, (1) hadits shahih gharib, dengan kata lain hadits shahih lidzatihi; (2) hadits hasan gharib, dengan kata lain hadits hasan lidzatihi; (3) hadits hasan shahih; dan (4) hadits hasan shahih gharib.
Hadits-hadits mu’allaq, dalam sunannya ditemukan juga ta’liq (penggantungan) atas beberapa sanad yang marfu’, atsar mauquf dan maqthu, tetapi beliau tidak melakukannya dalam tarjamah-tarjamah babnya. Penggantungan ini dilakukan langsung di belakang hadits-hadits yang beliau sebutkan sanadnya. Hal itu dilakukan semata untuk meringkas dan berusaha untuk tidak bertele-tele dengan menyebutkan berbagai jalur dan sanad dan merasa cukup dengan hadits yang telah beliau sebutkan sanadnya dalam bab tersebut.
Adapun penggantungan sanad atas pendapat para imam yang masyhur yang ada dalam beberapa bab kitabnya itu, maka beliau telah menyebutkan sanad-sanadnya secara lengkap seluruhnya dalam kitab al-‘Illal yang dilampirkan di akhir kitab al-Jami’. Cukup bagi beliau menyebutkan sanad-sanad tersebut dalam satu tempat secara terpisah. Walaupun dengan tujuan untuk membatasi (hashr), tetap beliau perhatikan keringkasannya, kadangkala beliau menunjukan hadits-hadits mutabi’, maka beliau menta’liqnya untuk menghindari kesamaran. Beliau berkata : “Tidak hanya diriwayatkan oleh satu jalur.” Dan sebagainnya.



G. Pengakuan Para Ulama’
Abu ‘Isa at-Tirmidzi diakui oleh para ulama’ keahliannya dalam hadits, keshalehan dan ketaqwaannya. Ia terkenal pula sebagai seorang yang dapat dipercayai, amanah dan sangat teliti. Salah satu bukti kekuatan dan cepat hafalannya ialah kisah berikut yang dikemukakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Tahdzib at-Tahdzib -nya, dari Ahmad bin ‘Abdullah bin Abu Dawud, yang berkata: “Saya mendengar Abu ‘Isa at-Tirmidzi berkata: “Pada suatu waktu dalam perjalanan menuju Makkah, dan ketika itu saya telah menulis dua jilid berisi hadits-hadits yang berasal dari seorang guru. Guru tersebut berpapasan dengan kami. Lalu saya bertanya-tanya mengenai dia, mereka menjawab bahwa dialah orang yang ku maksudkan itu. Kemudian saya menemuinya. Saya mengira bahwa ‘dua jilid kitab’ itu ada padaku. Ternyata yang ku bawa bukanlah dua jilid tersebut, melainkan dua jilid lain yang mirip dengannya. Ketika saya telah bertemu dengan dia, saya memohon kepadanya untuk mendengar hadits, dan ia mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia membacakan hadits yang dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu ia mencuri pandang dan melihat bahawa kertas yang ku pegang masih putih bersih tanpa ada tulisan sesuatu apa pun. Demi melihat kenyataan ini, ia berkata: “Tidakkah engkau malu kepadaku?.” Lalu aku bercerita dan menjelaskan kepadanya bahawa apa yang ia bacakan itu telah ku hafal semuanya. ‘Coba bacakan!’ suruhnya. Lalu aku pun membacakan seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi: “Apakah telah engkau hafalkan sebelum datang kepadaku?.” ‘Tidak,’ jawabku. Kemudian saya meminta lagi agar dia meriwayatkan hadits yang lain. Ia pun kemudian membacakan 40 buah hadits yang tergolong hadits-hadits yang sulit atau gharib, lalu berkata:“Coba ulangi apa yang ku bacakan tadi,” Lalu aku membacakannya dari pertama sampai selesai; dan ia berkomentar: “Aku belum pernah melihat orang seperti engkau.”
Berikut ini sejumlah pengakuan dari sebagian besar hafizh dan ulama’ sesudahnya:
a) ‘Umar bin Allak al-Hafizh berkata: “Imam Bukhari meninggal dunia dan beliau tidak meninggalkan seorang pun di Khurasan yang sebanding dengan Abu ‘Isa dalam ilmu, hafalan, kewaraan dan kezuhudan.”
b) Ibnu Hibban berkata: “Abu ‘Isa termasuk orang yang suka menghimpun, menyusun dan memudzakarahkan hadits.”
c) Abu Ya’la al-Khaliliy berkata: “Ketsiqahan beliau telah di sepakati, terkenal dengan amanah dan ilmunya.”
d) Abu Sa’ad al-Idrisiy berkata: “Beliau salah seorang imam yang dijadikan rujukan manusia dalam bidang hadits, beliau menyusun kitab Jami’, at-Tawarikh dan al-‘Illal dengan susunan seorang alim yang tekun, beliau sering dijadikan contoh dalam masalah hafalan.”
e) Al-Mubarak bin al-Astir berkata: “Beliau salah satu ulama’, hafizh dan orang yang luas pengetahuan.”
f) Al-Hafizh al-Mazziy berkata: “Salah seorang imam yang menonjol, salah seorang yang dengannya Allah SWT tebarkan manfa’at pada kaum Muslim.”
g) Adz-Dzahabiy berkata: “Beliau seorang hafizh yang alim dan imam yang cakap.” Adz-Dzahabiy berkata: “Ketsiqahan beliau telah di sepakati.”
h) Ibnu Katsir berkata: “Beliau salah seorang imam di bidang ini di zamannya.”
Di samping itu juga dari sekian pengakuan ulama’ mengenai dirinya yakni Imam Tirmidzi, ternyata terdapat keganjialan yang dikemukakan oleh Ibnu Hazm mengenainya. Ibnu Hazm al-Andalusi telah melakukan sesuatu yang ganjil. Beliau menyangka bahwa at-Tirmidzi itu seorang yang majhul. Pernyataan ini sepakat para ulama’ untuk membantahnya. Mereka berkata: “Ibnu Hazm menetapkan bahwa Tirmidzi kurang teliti dan hal itu tidaklah merugikan bagi Tirmidzi, namun merugikan bagi Ibnu Hazm sendiri, dimana ia tidak tahu bahwa beliau adalah seseorang imam yang reputasinya telah tersebar luas.”
Hal Ini bukan kesalahan Ibnu Hazm, karena dia juga memajhul kan para hafizh dan orang-orang tsiqah selain Tirmidzi. Hal ini semata-mata menjadi tanggungan Ibnu Hazm, dengan tetap mengakui keutamaan ilmunya, supaya tidak ada yang terpedaya dengan ucapannya.











Daftar Pustaka
Abdullah bin Abdullah, Sembilan Pendekar Hadits, Terj. Kuttab Kutubu at-Tis’ah, Penerjemah: Uwais al-Qarni, Pustaka Thariqul Izzah; Cet.1, 2007, Bogor.
Al-Baiquni, Muhammad, al-Manzhumah al-Baiquniyah, Maktabah Muhammad bin Ahmad Nabhan; tt, Surabaya.
Al-Malikiy, Sayyid alwiy bin Sayyid ‘Abbas, Faidha al-Khabir wa Khalashah at-Taqrin ‘ala Nahju at-Taisir: Syarah Manzhumah at-Tafsir, Maktabah Hidayah; Cet. 2, 1960, Surabaya.
Al-Qaththan, Syekh Manna’, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, Maktabah Wahbah; Cet. 13, 2004 M/1425 H, Kairo, Penerjemah: H. Aunur Rafiq El-Mazni, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, Pustaka al-Kautsar; Cet. 3, 2008, Jakarta.
__________, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, Mansyurat al-‘Ashr al-Hadits; Cet. 3, 1973, ar-Riyadh.
As-Siba’I, Musthafa, as-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri’ al-Islamiy,Dar as-Salam; 1998, Kairo.
_________, as-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri’ al-Islamiy, Penerjemah: Dja’far Abd. Muchith, al-Hadits Sebagai Sumber Hukum; Kedudukan as-Sunnah Dalam Pembinaan Hukum Islam, CV. Diponegoro; Cet. 3, 1990, Bandung.
Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits I, Bulan Bintang, Cet. 5; 1981, Jakarta.
_____________, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, PT. Bulan Bintang; Cet. 11, 1993, Jakarta.
Atabik Ali dan A. Zuhdi Mudhdlor, Kamus Kontemporer Arab – Indonesia, Multi Karya Grafik; Ponpes Krapyak, Cet. 8, t.th., Yogyakarta.
Bustami dan M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadits, PT. Rajagrafindo Persada; Cet. 1, 2004, Jakarta.
Depag RI Dirjen Kelembagaan Agama Islam, Ulum al-Hadits 3, al-Idaroh al-‘Ammah lil Muasasa-ti al-Islamiyah li Wazarati asy-Syu-uni ad-Diniyati al-Indunisiyah; Cet. 2, 2002, Jakarta.
Hasan al-Mas’udi, Hafizh., Minhat al-Mughits fi ’Ilmi Musthalah al-Hadits, Maktabah al-Hikmah; 1338 H, Surabaya.
http://adiko.multiply.com/journal/item/4.
http://mediaislam.fisikateknik.org, Mengenal Ilmu Hadits.
http://www.indoforum.org/showthread.php?t=74908, Sejarah Hidup Enam Tokoh Penghimpun Hadits.
Ismail, M. Syuhudi, Cara Praktis Mencari Hadits, PT. Bulan Bintang; Cet. 3, 2008, Jakarta.
‘Itr, Nuruddin, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits, Dar al-Fikr; Damaskus, Penerjemah: Mujiyo, Ulum al-Hadits 1, PT. Remaja Rosdakarya; Cet. 1, 1994, Bandung.
Majid Khon, H. Abdul, Ulumul Hadits, Amzah; Cet. 2, Ed. 1, 2009, Jakarta.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka; 2001, Jakarta.
Suparta, Munzier, Ilmu Hadits, PT. Raja Grafindo Persada; 2001, Jakarta.
Syuhbah, M.M. Abu, Fi Rihabi as-Sunnah al-Kutubi ash-Shihahi as-Sittah, Majma’ al-Buhus al-Islamiyah; 1981, Kairo, Penerjemah: Ahmad Ustman, Kutubus Sittah (Mengenal Enam Pokok Hadits Shahih dan Biografi Para Penulisnya), Pustaka Progressif; Cet. 3, 2006, Surabaya.
Thahhan, Mahmud, Taisir Mushthalah Hadits, Dar ats-Tsaqafah Islamiyah; Cet. 7, Beirut, Penerjemah: Zainul Muttaqin, Ulumul Hadits: Studi Kompleksitas Hadits Nabi, Titian Ilahi Press; Cet. 1, 1997, Yogyakarta.
Tirmidzi, Imam, Sunan at-Tirmidzi, Juz I, Muraja’ah, meneliti dan tashhih: Shidqiy Muhammad Jamil al-‘Athar, Dar al-Fikr liththaba’ah wa an-Nasyr wa at-Tauri’; 1994, Beirut-Lebanon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar